“Lo harus punya pacar, biar pacar lo yang mendepak Brian jauh-jauh.”
Jessi baru saja berkeluh kesah tentang Brian yang semakin menjadi-jadi mendekatinya, lalu Abel langsung memberi saran pada detik pertama setelah Jessi selesai berbicara.
“Kenapa nggak kamu terima aja?” Kate bertanya, “Brian itu lelaki baik kelihatannya.”
“Baik?” Jessi menatap Kate aneh, “Dia nyium gue di awal pertemuan, lelaki baik macam apa itu?”
“Tapi lo juga suka dia bukannya. Lo, kan, sampai melongo kayak orang dungu waktu ngeliat Brian berdiri di atas podium waktu itu.” Abel kembali bersuara.
“Enggak.” Jessi menatap Abel sengit, “Gue masih normal buat nggak suka pada cowok yang hanya menatap d**a gue saat kita berhadapan.”
“Ngapain Brian geliatin ukuran kayak telor ceplok begitu?” Abel terang-terangan menatap d**a Jessi. Tak lama setelah itu, kepalanya terpental ke belakangan karena Jessi memukulkan bantal di sofa ke kepala Abel.
“Sialan.” Abel mengumpat, mengusap-usap kepalanya, “Otak lo yang akan gue ambil kalau sampai gue geger otak.”
“Otak gue nggak akan muat di kepala lo. Terlalu besar, karena selama ini gue manfaatkan dengan baik untuk berpikir, bukan kayak lo. Otak lo terlalu keriput makanya bisa muat di kepala kecil lo ini, pikiran pasti hanya makan, makan, makan, dan makan.”
“Gue bisa ngelakuin pembedahan dengan pisau ini, ya.” Abel mengacungkan pisau buah yang sedang dipegangnya ke arah Jessi. “Jangan salahin gue kalau lo berakhir di liat lahat.”
“Demi Tuhan.” Kate berkata lelah, “Keajaiban apa yang membuat kalian bisa tinggal satu atap?” Kate berteriak frustasi. “Umur aku bertambah tua lima kali lipat setiap menitnya gara-gara kalian.” Matanya terlihat memperingatkan sebelum meninggalkan Abel dan Jessi di ruang tamu, sementara dia sendiri lebih memilih ke kamarnya daripada harus bertambah gila menyaksikan bagaimana dua manusia sinting itu berniat untuk saling membunuh.
*
Brian tersenyum, tangannya cekatan ketika menambahkan foto Jessi ke dalam sebuah album yang khusus dipersiapkannya hanya untuk mengoleksi foto Jessi. Masih dengan menyunggingkan bibirnya, Brian menatap foto Jessi yang kali ini sedang memakai dress berwarna kuning cerah. Perempuan memegang tas kerjanya elegan, senyum hangat terukir di wajahnya kala seorang perawat melihat ke arahnya. Brian ingat, ia mengambil foto ini ketika Jessi menayapa perawat itu sebelum berjalan lurus menuju parkiran.
Jessi, wanita yang sejak awal melihatnya membuat Brian kehilangan akal. Karena dengan kurang ajarnya, Jessi selalu menjadi objek fantasinya setiap malam. Mengacaukan sistem kerja otak Brian, tapi juga menginginkan Jessi lebih dari sekedar tubuh yang ingin ia nikmati. Brian rasa, ia sungguh telah jatuh cinta untuk pertama kalinya pada seorang wanita.
Kesan pertama pada pertemuan mereka sangat buruk. Karena tidak tahan melihat bibir merah muda merekah milik Jessi, maka Brian tidak memikirkan apa pun ketika memagut bibir itu lembut. Kemudian matanya yang sudah terbiasa menilai aset wanita, secara otomatis juga langsung menilik milik Jessi. Sekarang, karena dua hal tersebut, Brian harus mati-matian berjuang untuk mendapatkan hati wanita keras kepala itu.
Brian meletakkan ambumnya ke atas nakas, di samping king size tempat tidurnya.Hari sudah larut dan ia harus mengistirahatkan tubuhnya. Karena esok, ia akan memulai lagi perjuangan untuk menjadikan Jessi sebagai isterinya.
Sebelum benar-benar dibuai di dunia mimpi, Brian menyempatkan mengirimkan pesan singkat untuk Jessi. Pesan singkat yang ia yakin akan membuat Jessi berteriak tidak karuang di kamar gadis itu. Memikirkannya saja membuat Brian tersenyum lebar sebelum kantuk merenggut cahaya dari matanya.
*
Jessi mendengus, nyaris melemparkan ponselnya setelah membaca pesan Brian. Pesan yang setiap malam membuat Jessi ingin memutilasi Brian, lalu memotong kecil-kecil bagian otak Brian, setelah itu potongan otak tersebut akan ia lemparkan ke kolam piranha.
Setelah menghapus pesan dari kontak yang ia berikan nama ‘Satan m***m’ itu, Jessi memejamkan matanya. Melaksanakan perintah Tuhan untuk menjadikan malam sebagai istirahat.
Deringan handphone-nya membuat Jessi terjaga, rasanya ia baru saja terlelap lima menit yang lalu, tapi panggilan darurat sudah membangunkannya. Jessi memang menyetel nada khusus pada ponselnya untuk rumah emergency Brian’s Hospital. Jadi, ketika Brian’s Hospital menghubunginya, Jessi bisa langsung menuju ke sana dan meninggalkan urusannya. Karena memang seperti itulah tugas seorang dokter. Mementingkan pasien dari urusan pribadi.
Setelah mendapat laporan mengenai kondisi pasien, Jessi mengambil jaketnya asal, beruntungnya sejak Brian lancang masuk ke kamarnya hari itu, Jessi selalu menggunakan piyama lengan panjang setiap kali itu tidur. Dan ternyata hal itu sangat berguna untuk saat-saat seperti ini.
Jessi baru menutup pintu kamarnya ketika Abel juga keluar dari kamarnya. Perempuan itu juga terlihat ingin pergi karena Jessi melihat Abel masih memegang handphone-nya, jaket juga masih tersampir di bahunya, belum sempat dipasang dengan benar.
“Blue Code,” ucap Abel setelah mereka saling meneliti penampilan beberapa saat.
“Lo yang nyetir, pakai mobil gue aja.” Jessi melemparkan kunci mobilnya kepada Abel. Disaat-saat seperti ini, kemampuan Abel dalam berkendara sangat dibutuhkan kalau mereka ingin sampai di rumah sakit tanpa membuang banyak waktu.
“Kencengin sabuk pengaman, Lo.” Begitu balas Abel setelah menangkap kunci mobil Jessi dan mendahului Jessi keluar dari apartemen mereka.
*
Jam sudah menunjukkan angka empat, Jessi masih belum menyelesaikan operasinya. Pasien dengan yang telah dinyatakan stadium akhir cendrung membuat dokter enggan melakukan operasi. Karena rata-rata, mereka hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga. Tidak terhitug lagi penderita kanker yang sudah stadium akhir akhirnya meninggal setelah selesai dioperasi, bahkan ada yang meninggal tidak lama setelah operasi dikatakan sukses. Ada juga yang tidak bisa bertahan sampai waktu operasi selesai dilakukan. Namun, Jessi selalu berpegang pada kemungkinan terkecil, sebagai pelaku medis, Jessi sudah biasa melakukannya. Yakin terhadap kemungkinan terkecil yang bisa terjadi, lagi pula dia punya Tuhan. Jessi yakin, meskipun didiagnosa memiliki umur pendek, seseorang belum akan mati jika Tuhan masih belum menjemputnya.
“Tekanan darahnya menurun drastis.” Suara perawat menghentikan tangan Jessi yang sedang memutuskan sel-sel kanker itu.
“Siapkan darahnya.” Perintah Jessi setelah kembali menfokuskan dirinya untuk mengambil sel-sel kanker itu dari otak pasien.
Perawat yang lain segera melakukan tranfusi darah kepada pasien. “Tekanan darahnya masih rendah, apa yang harus kita lakukan, Dok?”
“Kita bisa kehilangan pasien.” Yang lain menyahuti.
“Ini tidak akan berhasil, Dok. Kita kehabisan waktu.” Secara silih berganti, perawat yang bertugas membantu Jessi melakukan operasi itu menyuarakan ketakutannya.
“Fokus pada operasi dan lakukan apa yang dikatakan dr. Jessi.” Abel yang saat ini membantu Jessi di ruang operasi, menengahi kekalutan mereka.
Semuanya kembali fokus pada tugasnya masing-masing. Diatas sana, dr. Haikal, mengamati dengan melihat komputer. Sesekali dia memberikan intruksi kepada Jessi, sebagai dokter baru dan juniornya.
Situasi yang menegangkan itu akhirnya selesai, Jessi mendesah lega. Meskipun ingin tersenyum, tapi Jessi bertahan untuk tetap tenang ketika mengucapkan, “Selnya sudah terangkat. Kita akan melakukan tahap akhir. Siapkan jadwal kemoterapi yang ketat setelah ini.”
“Lakukan jahitan terkahirnya.” Dia kembali bersuara setelah menyelesaikan tahapan akhir operasinya. Tugasnya sekarang adalah membiarkan bawahannya dan Abel menutup operasinya, sementara dia akan keluar untuk memberitahukan hasil operasi kepada keluarga pasien.
*
Jessi pergi ke ruangannya, menolak untuk ikut Abel ke lounge khusus Brian’s Operation. Dengan tubuh yang sudah lelah luar biasa, Jessi merebahkan kepalanya ke atas meja. Selama beberapa bulan sejak ia bergabung di Brian’s Hospital, yang tadi adalah operasi paling berat untuknya. Apalagi sejak kemarin, ia belum absen dari ruangan operasi.
Karena begitu kelelahan, Jessi tidak menyadari ketika Brian masuk ke dalam ruangannya. Pria itu berjalan pelan, enggan menimbulkan suara karena takut hal tersebut menganggu Jessi yang sedang tidur.
Brian berdiri di samping Jessi yang sedang menelungkupkan wajahnya di atas meja. Kedua tangan Jessi membingkai wajah gadis itu. Brian tersenyum, wajah Jessi terlihat sangat letih, tetapi masih memancarkan aura kecantikannya.
Brian mengamati sebentar, menyingkirkan anak rambut Jessi dari wajahnya, lalu berbisik pelan sambil membungkus tubuh Jessi dengan jasnya. “Tidur yang nyenyak, Sayang.”
*
Jessi terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka, setelah mengerjapkan matanya beberapa kali, Jessi melihat Kate masuk membawa sebuah papper bag.
“Kenapa nggak tidur di lounge?” Kate bertanya setelah perempuan itu berdiri di depan Jessi.
“Dengan Abel yang juga tidur di sana?” Jessi menegakkan tubuhnya, “No, thanks. Gue butuh istirahat, Kate. Abel sangat berisik kalau tidur dalam keadaan lapar.”
“Ini baju ganti kamu.”
Jessi menerimanya, kemudian dia mengernyitkan dahi saat sebuah jas jatuh dari tubuhnya. “Punya siapa ini?”
“Nggak tahu.” Kate menggeleng. “Aku, kan, baru masuk.”
Jessi mengambilnya, lalu terhenyak saat wangi farfum itu terasa familiar di hidungnya.
“Kenapa? Punya Brian, ya?”
“Nggak.” Jessi membalas cepat, menyampirkan jas itu ke kursinya dan berlalu menuju lounge untuk membersihkan dirinya. Namun, harum farfum itu menghantui Jessi sepanjang hari, membuat ia bertanya-tanya, kenapa rasanya kali ini ia tidak kesal?