Rintik hujan di luar jendela masih bercucuran membasahi bumi.
"Kamu ngapain bengong, Ji?" sergah Diana yang dari tadi memerhatikan Jihane.
"Ah, nggak kok."
Diana tersenyum. Gadis berkacamata itu merapikan buku-bukunya, lalu menepuk pundak Jihane pelan. "By the way udah hampir jam lima sore nih, aku balik dulu, ya."
"Kamu yakin? Masih hujan, loh." Jihane menunjuk keluar jendela kamarnya yang terletak di lantai dua.
Diana meletakkan ranselnya kembali. "Sekarang udah masuk musim penghujan kan, yah."
Jihane mengangguk. "Sepertinya begitu."
"Eh... Kamu tau nggak, katanya nih, ya... Musim hujan itu adalah musimnya mahluk-mahluk dari dunia lain mulai berkeliaran," ucap Diana.
"Yaelah, kita itu udah hampir 20 tahun, Diana. Masa masih percaya sama yang begituan, sih."
Diana menggeleng. "Aku serius, Ji. Kamu pernah nggak denger cerita lelaki hujan?" tanya Diana.
"Lelaki hujan?"
"Iya. Jadi menurut cerita ada sosok lelaki yang hanya muncul ketika hujan dan hilang ketika hujan reda."
Deg.
Entah kenapa sosok lelaki itu langsung terlintas di ingatan Jihane. Dia tidak lagi mendengar cerita Diana dan termangu mengingat setiap kejadian dia bersama lelaki itu.
"Apa jangan-jangan dia itu lelaki hujan?"
Jihane lekas menggeleng. Bagaimana bisa dia percaya dengan mitos yang receh seperti itu.
"Kabarnya nih, ya... Setiap hujan dia bakalan berkeliaran mencari wanita untuk dijadikan mangsanya."
Jihane terkejut. "M-mangsa?"
Diana meletakkan telapak tangannya di samping bibir, kemudian berbisik. "Kabarnya... lelaki hujan itu memakan manusia."
"Udah ah, kamu cerita apaan, sih. Nggak jelas banget." Jihane lekas menghentikan Diana.
"Ya maap. Kan, cuma cerita. Kok kamu malah jadi sensi gitu," dengkus Diana.
Jihane tidak menjawab dan beranjak menuju jendela kamarnya. Tubuhnya mendadak terasa gerah, jadi dia ingin mencari udara segar. Tapi, di saat menatap ke bawah sana, Jihane tercekat.
"D-dia....
Jihane terkejut melihat lelaki itu berdiri di sudut gang rumahnya yang terlihat jelas dari atas sini. Ia berdiri di bawah hujan menatap Jihane dan lagi-lagi tersenyum.
Krak.
Jihane segera menutup tirai jendela kamarnya dengan jantung berdegup kencang. Apa ini? Apa lelaki itu mengikutinya hingga ke rumah?
"Kenapa tirainya di tutup?" tanya Diana.
Jihane tergagap. "Nggak apa-apa, kok."
"Aku cabut dulu, ya, Ji. Kayaknya hujannya nggak bakalan reda, deh."
"Oh, hati-hati di Jalan, ya." Jihane melambaikan tangannya.
"Sampai ketemu di kampus," ucap Diana.
"Okey, see you."
Sepeninggal Diana, Jihane kembali mendekati jendela kamarnya. Ia mengintip perlahan, kemudian bernapas lega karena lelaki itu tidak ada lagi di sana. Tatapannya pun beralih ke arah langit yang sudah teduh. Jihane menelan ludah. Ia teringat dengan cerita Diana tentang lelaki hujan.
"Apa mungkin dia benar-benar lelaki hujan?"
Jihane termenung sesaat, lalu menertawai dirinya sendiri karena hampir saja percaya akan hal konyol dan tidak logis seperti itu.
"Astaga... Aku lupa kalau aku kehabisan kertas HVS." Jihane menepuk jidatnya sendiri.
Gadis itu pun menyambar jaket denimnya, lalu segera berlari keluar.
_
Jihane berjalan santai sambil bersenandung ria. Ia sibuk menjilati es krim vanilla latte kesukaannya. Sedangkan satu tangannya yang lain menenteng kantong plastik yang berisi kertas HVS.
"Miki...!"
Langkah Jihane terhenti sebelum berbelok masuk ke gang rumahnya. Ia terlihat terkejut dan segera berlari menghampiri Miki.
"Kamu ke mana aja? Kenapa nggak pulang-pulang udah tiga hari ini."
"Meoow..."
Kucing hitam itu mengeong pelan, lalu bertingkah manja pada Jihane.
"Kenapa? Kamu mau es krim?"
Jihane menyodorkan es krim di tangannya dan Miki pun langsung menjilatinya sambil terus mengeong.
"Nah, sekarang kita pulang, ya!"
Jihane langsung menggendong kucing itu dengan wajah gemas. Miki pun terlihat nyaman dalam pelukan gadis itu.
Kucing hitam itu dipungut Jihane kurang lebih satu bulan yang lalu. Saat itu kondisinya begitu memprihatinkan. Kaki kucing itu terluka dan tidak bisa berjalan. Karena kasihan, akhirnya Jihane membawanya pulang ke rumah, lalu merawatnya. Ia pun memberi nama kucing itu Miki. Kucing itu selalu berada di sisi Jihane. Ia bahkan tidur di pelukan Jihane setiap malam. Hingga tiga hari yang lalu kucing itu menghilang dan membuat Jihane menjadi sedih.
"Lah, kamu nemuin Miki di mana?" tanya Virgo, kakaknya Jihane.
"Di deket gang," jawab Jihane.
Virgo menggeleng tidak percaya. "Nggak, itu nggak mungkin. Bagaimana bisa kucing ini kembali ke sini?"
Jihane mengernyitkan dahinya. "Emangnya kenapa?"
"S-soalnya aku udah buang kucing ini waktu ke puncak. Abis dia berak di kamar aku terus." jawab Virgo.
"Jadi Kakak yang udah buang Miki?" Jihane melotot.
Virgo tertawa risih, takut adiknya itu akan marah padanya. "Habis kucing ini aneh banget tau nggak. Kayaknya dia marah mulu kalo lihat aku."
"Eenggggeoooow ngeooow...."
"Nah, tuh kan!" Virgo terkejut karena kucing hitam di pangkuan Jihane meradang.
"Miki... kamu nggak boleh jahat sama Kak Virgo. Karena yang kasih uang jajan buat beli es krim dan makan kamu itu, Kak Virgo," ucap Jihane sambil mengelus kepala Miki.
"Meeow...."
Tiba-tiba Miki melompat turun dan langsung mengelus-eluskan wajahnya ke kaki Virgo dengan suara dengkuran khasnya.
Jihane dan Virgo saling pandang, kemudian kembali menatap kucing itu.
"Sumpah kucing ini tu freak banget, tau nggak. Aku jadi merinding. Huss... hus...." Virgo menjauhkan kucing itu dari kakinya.
Jihane merengut, lalu mengambil Miki dari lantai. "Kakak yang aneh tau! Mikinya udah baik malah dibilang aneh."
Jihane beranjak ke kamarnya. Dia meletakkan Miki di atas kasur, lalu menatap lembut.
"Aku bikin tugas kuliah dulu, ya! Jadi kamu nggak boleh ke mana-mana. Tetep diem di sini. Oke?"
"Meeoow...."
_
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 malam. Jihane baru saja menyelesaikan tugas kuliahnya. Gadis itu meregangkan tubuhnya sebentar dan juga jemarinya yang terasa kaku. Di luar jendela sesekali petir menyambar menyambar pelan. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.
Jihane berbalik menengok ke arah kasurnya dan seketika tersenyum, lalu bergegas ke sana.
"Miki, kenapa kamu nggak tidur?"
"Meeoow...."
Jihane berpikir sebentar. Kucing itu tidak beranjak sama sekali. Dia duduk tenang di sana sejak sore hari tadi.
"Apa mungkin dia bener-bener ngerti sama omongan aku?"
Jihane menguap lebar, lalu segera membaringkan tubuhnya. Dia memejamkan mata sembari memeluk Miki yang mendengkur pelan. Lama kelamaan matanya mulai sayu, kemudian terlelap dengan cepat.
Sementara, si kucing hitam Miki masih terjaga. Dia menatap Jihane sambil mengendus-endus wajah gadis itu. Kemudian, kucing itu melompat ke arah jendela. Ia mengeong pelan, lalu menengadahkan kepalanya menatap langit di luar jendela.
_
Pagi ini hujan masih turun dengan derasnya. Jihane terbangun dengan mata yang belum terbuka sempurna. Ia melirik jam di layar handphone-nya, kemudian memejamkan matanya kembali. Hawa dingin pagi ini membuat ia bergidik. Jihane pun berbalik dan menarik selimutnya kembali.
Hangat.
Jihane merasa hangat. Tapi, kenapa badannya kini terasa berat? Jihane menggerakkan kakinya di dalam selimut. Jihane mengernyitkan dahinya. Apa ini? Terasa seperti jari kaki manusia.
"Apa aku sedang bermimpi?"
Jihane terkejut ketika sebuah lengan merangkulnya erat. Gadis itu menelan ludah, kemudian membuka matanya perlahan.
"AAA...!!!"
Jihane berteriak histeris dan langsung menjauh dari tempat tidur. Matanya menatap liar ke sekitarnya mencari sebuah benda yang bisa digunakan untuk memukul lelaki itu.
"K-kenapa kamu bisa ada di sini, ha?" bentak Jihane dengan napas memburu.
Lelaki itu bangun dari tidurnya. Meregangkan tangannya sebentar, lalu tersenyum.
Jihane menggeleng tidak percaya. Dia melirik ke arah pintu kamarnya yang masih terkunci rapat. Dia juga lekas memeriksa jendela di belakang punggungnya. Semua tertutup rapat dan terkunci. Lalu dari mana lelaki ini masuk?
"K-kamu penguntit, ya? Kamu stalker ya? Sekarang juga aku bakalan laporin kamu ke polisi," ancam Jihane.
Lelaki itu malah menguap lebar dan sesekali matanya terpejam kembali.
"Ya ampun... Ini bener-bener gila!" Jihane mendadak panik dan melangkah bolak balik di tempatnya.
Langkah Jihane terhenti. Tatapannya terpaku pada lelaki itu. Saat ini dia sedang asyik menjilati lengannya sendiri. Jihane menatap jijik dan bergidik ngeri.
"S-sedang apa dia?" Jihane menatap tak percaya.
"Aku mau minum s**u," ucap lelaki iti tiba-tiba.
Jihane terperanjat. "A-apa kamu bilang?"
Lelaki itu malah memanyunkan bibirnya dengan ekspresi menggemaskan.
"Kamu masuk dari mana, ha?"
Lelaki itu mengernyit. "kan, kamu sendiri yang ngebawa aku ke sini," jawabnya.
"Kamu bener-bener nggak waras!" hardik Jihane.
Lelaki itu merengut sedih.
"Pertama-tama kamu harus turun dari ranjang itu!"
Lelaki itu patuh dan segera menyibak selimutnya.
"AAAA...!!!" Jihane memekik histeris.
Gadis itu terkejut dan langsung menutup matanya. "Apa-apaan kamu, ha? Kenapa kamu melepas pakaian kamu? Dasar m***m!"
Lelaki itu hanya duduk tenang dengan raut wajah datar.
"Tutup kembali! Tutup badan kamu dengan selimut itu!"
Lelaki itu pun patuh. Barulah Jihane membuka matanya kembali. Setelah itu ia segera berlari ke bawah menemui kakaknya Virgo yang sedang bersantai meminum segelas kopi.
"Kak, ayo buruan ada orang aneh yang masuk ke kamar aku!" Jihane menarik kakaknya.
"Orang aneh?"
"Pokoknya ayo cepetan!" Jihane menarik Virgo lebih kuat lagi.
Mereka pun segera naik ke lantai atas. Dengan napas memburu Jihane pun kembali membuka pintu kamarnya.
Puff.
Kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana
_
Mata kuliah yang diajarkan oleh bu Iriani sudah berakhir. Semua mahasiswa sudah beranjak keluar dari kelas. Namun, Jihane masih duduk bermenung di kursinya. Pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian-kejadian aneh yang menimpanya dua hari belakangan ini.
Gadis berbadan mungil itu mendesah pelan. Penampilannya hari ini terlihat berantakan. Rambutnya yang panjang tidak disisir rapi. Wajahnya terlihat pucat karena tidak ada polesan bedak ataupun make up yang melekat. Yang paling menyebalkan adalah Jihane memakai sepatu yang berbeda antara kiri dan kanannya.
Setelah kakaknya Virgo berangkat bekerja, Jihane mendadak parno dan takut jika lelaki super aneh itu muncul kembali. Alhasil ia pergi terburu-buru karena takut sendirian berada di rumah itu.
"Eh, Ji! Kantin yuk!" Diana bersorak di ambang pintu.
Jihane menggeleng lemas. "Aku nggak laper,"jawabnya.
Diana mengernyit, lalu melangkah masuk. "Kenapa? O my god penampilan kamu hari ini kacau banget. Di mana sosok Jihane yang biasanya anggun cantik jelita manja memesona hingga alam barzah itu?" ledek Diana.
Jihane mencibir. "Udah mati di mangsa sama lelaki hujan," jawabnya asal.
"Huss... Kalo ngomong jangan sembarangan. Nanti takabur lo!" Diana lekas mengingatkan
"Iye iye," jawab Jihane.
Diana terdiam sebentar, kemudian menjentikkan jarinya. "Oh iya, aku padahal mau bilang... Kalo ada anak transferan kampus lain di jurusan aku," ucapnya.
"Ganteng nggak?" tanya Jihane.
"Endos gandos pokoknya," jawab Diana.
Jihane tertawa pelan. "Siapa namanya?"
"Axel."
"Dia bule?"
"Bukan, tapi sipit-sipit gitu... kayak oppa korea."
"Aku jadi penasaran pengen liat dia," ucap Jihane.
Diana langsung menggandeng tangannya. "Ayo kita tahlukkan dia my Queen!"
_
Setiba di kantin, Jihane dan Diana melihat kerumunan mahasiswi yang berteriak-teriak histeris. Mereka berdua pun mendekat dan menerobos kerumunan manusia itu dengan bersusah payah.
"Wooy kasih jalan, woi," bentak Diana yang kini terjepit.
Sementara, Jihane yang berbadan mungil kini tenggelam di antara padatnya kerumunan itu. Dia oleng ke sana kemari terdorong oleh tubuh-tubuh yang lebih besar darinya.
Jihane berbalik dan mencoba mundur, tapi yang ada dia malah terdorong ke depan. Jihane terkesiap saat melihat seorang mahasiswi berbadan bongsor yang bersiap mendorongnya. Jihane menggeleng dengan mata melotot. Tapi sosok itu segera mendorong Jihane sekuat tenaganya.
Bagai sebuah adegan film dengan efek slow motion, Jihane pun melayang ke depan dengan kedua tangan melambai-lambai di udara. Semua mata kini tertuju padanya. Tubuh Jihane bersiap menghantam lantai, tapi seketika sebuah lengan menybut tubuhnya.
Jihane terhenyak menatap wajah itu. Semua orang yang tadi ricuh pun terdiam menyaksikan adegan aduhai yang sedang terjadi.
Jihane menelan ludah dan hendak bersuara. Tapi, sosok itu menatap dingin. Sedetik kemudian ia melepaskan Jihane hingga gadis itu jatuh ke lantai.
Jihane menatap kesal. Sementara, sosok itu menepis debu di tangannya, kemudian melangkah pergi dari sana.
_