Sampai detik ini, gue masih ga ngerti, kenapa nyawa ini masih bertahan di tubuh gue. Bahkan disaat gue ditimpa dengan penyakit langka dan tingkat kematian tinggi ini, tubuh gue seolah masih mampu menanggungnya. Lelah. Sungguh rasanya begitu lelah.
Gue terkekeh, menertawakan nasib gue sendiri di tengah rasa sakit yang mendera.
“A? Aya naon, Nak?” tanya Ayah yang masih menggenggam tangan gue. Suaranya tercekat karena tangis yang ditahannya.
Seharusnya gue belum boleh keluar dari rumah sakit. Gue pun tahu, jika gue memaksa, bisa aja gue mati di jalan. Ditambah resiko penerbangan yang bisa saja memicu otak gue rusak. Namun seperti yang gue bilang, gue lelah. Gue kepingin pulang. Mengadukan semua duka gue ke Bunda.
Sirine ambulans terus berbunyi. Suntikan pereda nyeri yang diberikan tadi pun tak mampu meredam sakit yang gue rasa.
‘Ambil saja nyawa Edo ya Allah…'
“Edo?” Om Indra, Papinya Hasan menegur gue kembali. Memastikan gue ga kehilangan kesadaran. Sementara Ayah terus memijiti kaki gue yang ga henti bergerak, efek dari rasa sakit yang rasanya menjalar ke seluruh tubuh.
“Sakit…”
“Sebentar lagi kita sampai, Nak. Kita lumbal pungsi dulu, baru kita terus ke Bandung.”
“Sakiiit…”
“Bisa lebih cepat, Pak?” tanya Papi, entah pada siapa, mungkin supir di depan sana.
Gue ga tahu pasti berapa lama kami menempuh perjalan hingga tiba di sebuah rumah sakit. Rumah Sakit yang mana pun gue ga lagi paham. Yang pasti, saat ambulans ini berhenti, beberapa orang dengan bau desinfektan di tubuh mereka menangani gue. Gue ga mampu mengenali wajah mereka. Penglihatan gue mengabur, ga ada yang bisa gue lihat dengan jelas. Lucu kan? Lucu sekali hidup gue ini.
Mereka membawa gue ke sebuah ruangan, lalu membuka pakaian gue, mengganti dengan jubah medis. Setelahnya brankar kembali bergerak, gue dipindahkan ke ruangan dengan suhu yang lebih rendah. Ruang tindakan. Di sini, posisi gue diubah. Gue dibaringkan miring, dagu didekatkan ke d**a, lutut didekatkan ke perut. Kata Dokter yang menangani gue di Singapura, posisi ini dimaksudkan supaya jarak antara ruas tulang belakang menjadi lebih luas.
“Selamat sore, Pak Edo. Saya Alfian, Dokter yang akan menangani Anda. Sebentar lagi, kami akan memulai prosedur lumbal pungsi untuk mengurangi tekanan di kepala dan tulang belakang. Siap ya?”
“Sakiiit…” ringis gue, lemah.
Gue masih mendengar Dokter itu mendengus. Ia lalu menepuk-nepuk lengan gue lembut.
Saat rasa dingin terasa di bagian punggung bawah, di situ gue tahu, sebentar lagi gue akan mati rasa. Prosedur menyebalkan untuk mengambil cairan serebrospinal yang berlebih ini berlangsung sekitar 30 menit. Katanya sih begitu, gue sendiri ga pernah ngitungin. Yang jelas, setelah tekanan di kepala dan tulang belakang gue dikurangi, nyeri hebat yang tadi gue rasakan pun jauh berkurang. Dan kali ini, penglihatan gue pun kembali normal.
“A?”
“Apa Yah?”
Setelah tindakan, gue masih harus berbaring selama sekitar satu jam dalam pengawasan Dokter. Ayah dan Hasan yang sedari tadi bolak balik menemani gue.
“Aa’ mau ga dirawat dulu di sini? Seenggaknya sampai besok, sampai hasil lab keluar.”
“Aa’ mau pulang!” ketus gue.
“Oh, ya udah, iya. Ayah bilang Papina Hasan dulu nyak?”
Ayah urung melawan kekeras kepalaan gue. Ya, salah satu efek dari sakit yang gue derita adalah emosi gue jadi ga stabil. Gue bukan lagi Edo yang sabar, bahkan gue pun bingung kemana sosok gue yang dulu itu. Pantes sih Hana ninggalin gue. Cewek mana yang mau bertahan dengan cowok yang sebentar-sebentar marah? Kata Hasan, nanti jika gue sudah dinyatakan sembuh total, emosi gue pun pasti bisa setenang dulu. Sembuh total? Kenapa gue ga mati aja biar derita ini segera berakhir?
***
Sudah satu minggu gue di Bandung. Pulang ke rumah yang gue bangun dengan tetes keringat gue sendiri. Rumah ini terdiri dari dua bangunan utama, dihubungkan sebuah kolam renang. Gue membangun rumah ini satu atap untuk Ayah, Bunda dan ketiga adik gue. Satu atap lainnya untuk gue dan Hana.
Sebegitu cintanya gue sama dia. Gue yang awalnya hanya orang miskin yang kerap kali dihina, ga pernah merasa lelah melakukan upaya apapun untuk mensejajarkan diri dengannya. Tapi ternyata usaha gue ga membuahkan hasil. Hana ninggalin gue dua bulan lalu, dan ga pernah menghubungi gue lagi. Atau pernah? Entahlah. Ponsel gue hari itu gue lempar hingga menghantam keras cermin di kamar dan pecah berkeping-keping. Setelahnya, kepala gue sakit tak terperi, sampai akhirnya gue kehilangan kesadaran. Begitu gue sadar, gue udah di ICU.
“Do? Eleuh, ngelamun wae maneh mah!”
Gue mencengir, memberi respon seadanya pada sahabat gue yang mendekat.
“Udah siap?” tanyanya lagi.
“Iya, udah.”
“Pusing teu?”
“Henteu. Udah baikan kok.”
“Ya udah, hayuk atuh. Tadi Geya nginpo kalau Hana udah di rumah.”
“Hayuk.”
Rumah gue dan rumah orang tua Hana jaraknya ga terlalu jauh. Tapi karena ini malam minggu, seperti biasa jalanan kota Bandung padat merayap.
“Maneh kapan terakhir ketemu Hana, Cal?” tanya gue, memecah kesunyian di city car yang dikendarai Ical.
“Seminggu yang lalu. Ketemu di pasar bunga.”
“Oh. Hana sehat kan?”
Ical diam saja. Seolah menyembunyikan sesuatu dari gue.
“Cal?”
“Naon?”
“Hana sehat kan?”
“Maneh lihat aja sendiri nanti.”
“Jangan main-main, Cal!” ketus gue, nyaris memekik.
“Hana sekarang gemuk, Do.”
“Gemuk?”
Ical mengangguk.
“Terus kenapa?” sulut gue lagi.
“Eta, gemukna teu wajar kitu!”
“Maneh ngehina fisik Hana?” ketus gue lagi, ga terima.
“Ya Allah, bukan itu maksud urang. Makanya tadi urang diem wae. Bingung jelasinna.”
Gue mendengus keras, masih menatap Ical dengan tatapan menuntut.
“Kan maneh pernah cerita, Hana kalau stress larinya ke makan. Nah urang tuh sering ketemu Mama dan Hana kalau weekend, Do. Tiap minggu kayaknya berat badannya nambah terus. Urang bukan ngehina, justru urang khawatir, kasian. Maneh berdua kenapa sih? Masih saling sayang kenapa pisah?”
Gue tertegun. Kedua mata gue panas kembali. Gue memalingkan wajah, menatap jalanan seraya menghapus air mata yang akhirnya mengalir lagi.
“Terus, maneh udah yakin kan Do? Maneh yakin kan yang mau maneh lakuin sekarang?”
Gue mengangguk. Tentu saja gue yakin. Sedari awal, Hana pilihan gue.
Gue mengelus cincin yang melingkar di kelingking gue. Hari ini gue akan melamarnya. Menautkan cincin ini di jari manisnya. Gue akan bilang, gue udah siap meminang dia. Tahun akan berganti dalam hitungan hari. Tepat tiga tahun dari saat gue mengatakan pada dia untuk meminta waktu, gue akan menjabat tangan Ayahnya, menjadikan Hana pendamping hidup gue.
Empat puluh tiga menit waktu yang dibutuhkan dari rumah gue ke sini, dan Ical sudah memarkirkan city car-nya tepat di depan rumah Hana. Ada sebuah mobil juga yang terparkir di depan kami, mungkin ada tamu yang sedang berkunjung.
“Wish me luck, Cal.”
“Pasti, brother.”
“Lo ga apa-apa nunggu di sini?”
“Santai. Nanti urang nyusul ke dalam. Maneh ngomong aja dulu sama Mama, Papa dan Hana. Kalau ada urang nanti malah ga pas nyampeinnya.”
Gue mengangguk, menarik napas dalam sebelum menguatkan diri keluar dari mobil berwarna putih ini. Gue menggenggam erat buket bunga yang berisi sebelas kuntum mawar merah. Juga sebuah paper bag berisi sedikit oleh-oleh buat Mama dan Papa.
Pagar rumah itu tak terkunci, gue hanya perlu mendorong agar terbuka dan masuk ke halaman muka. Pintu utamanya pun tak tertutup. Beberapa pasang alas kaki di pinggir teras jelas menandakan jika ada yang sedang bertamu.
Gue mengangkat tangan gue yang bebas, hendak mengetuk daun pintu berwarna putih itu. Namun…
“Emang kalian belum tukar cincin, Van?” tanya Papanya Hana.
“Belum Pa, baru ngajak nikah secara lisan. Nanti aja sekalian pas lamaran resmi.”
“Oh gitu. Konsepnya udah manteb?”
“Udah dong, Pa. Kan Hana yang nyiapin. Biarinlah cewek aja yang repot. Kalau Ivan ikut-ikutan yang ada nanti Hana manyun, kata dia Ivan resek!”
Sakit kepala gue kembali menyerang. Lutut gue lemas. Pendengaran gue perlahan melemah, ga lagi bisa menangkap pembicaraan di balik pintu ini. Buah tangan yang gue bawa gue letakkan di meja teras, berbalik, lalu memaksakan langkah menjauh dari kediaman orang tua Hana.
Gue… Terlambat!
Kini, Hana pun akhirnya benar-benar menyerah.
“Do?” tegur Ical.
“Do, naon euy?” cecarnya lagi, mungkin bingung dengan keadaan gue yang tiba-tiba kembali kacau.
“Woy Do!” Kali ini ia nyaris memekik.
“Pulang!” pinta gue. Sesak.
“Maneh kenapa? Ditolak?”
“Pulang!” pinta gue lagi.
“Bilang atuh ih, aya naon Do?”
“PULANG! GUE BILANG PULANG! PULAAANG!”