Celia dan Evan bertemu kembali malam harinya, seperti janji keduanya tadi pagi pada saat penyerahan koper masing-masing.
“Gue sebentar lagi sampai, Lo dimana?” Pesan singkat Celia kepada Evan yang baru saja duduk di tempat yang sudah ia reservasi.
“Jadi tahu, ini ucil gak sabaran banget dari mana. Biangnya aja kayak gitu. Astaga, apes tenan aku ini,” ucap Evan sambil memfoto minumannya. Menandakan, ia sudah berada id restoran.
Celia ditemani oleh Lala menemui Evan di restoran hotel, setelah mereka menyelesaikan pertemuan dengan Nena dan Asih tentunya. “Dia udah datang, Mbak Lala? Kemana lagi itu orang,” ucap Celia celingukan mencari keberadaan Evan dan Roy.
"Itu, mereka di pojokan." Lala menunjukkan dimana keberadaan Evan dengan jari telunjuknya. Celia bergegas menghampiri Evan yang sudah duduk menikmati secangkir kopi di tangannya.
"Jadi gimana?" Celia duduk di depan Evan, tanpa basa-basi langsung bertanya mengenai kelanjutan perjanjian keduanya.
"Duduk dulu lah cantik, pesan minum. Barulah kau tanya macam-macam padaku," kata Evan geleng-geleng kepala dengan tingkah Celia yang tidak sabaran.
"Huft, Mbak Lala tolong pesankan minuman dingin yah. Biar si bawel ini diem!" Lala yang hanya menahan tawanya, ia tahu, keduanya sama-sama tertarik namun gengsi untuk mengakui.
"Udah cocok, Pak Evan. Tinggal sabar-sabar aja sama Nona Celia." Ucapan Lala memang tidak begitu didengar Celia. Pasalnya, gadis itu sedang menemani telepon dari Tara.
"Jangan macam-macam, Bu. Majikan anda itu galak dan tidak sabaran," jawab Evan terkekeh sambil menyerahkan buku menu kepada Lala.
"Lalu, seperti apa ini baiknya? Aku benar-benar tidak tahu jika Celia adalah anak Pak Tara. Terakhir aku bertemu dengannya, masih memakai seragam sekolah dasar. Kuakui, dia gadis pemberani dan tidak bisa diintimidasi semena-mena."
"Kita tunggu saja, Pak. Sebentar lagi juga selesai itu," jawab Lala mengerti maksud ucapan Evan.
Celia kembali duduk di kursinya, ia meletakkan ponselnya di meja lalu bertanya kembali kepada Evan mengenai perjanjian yang mereka buat tadi pagi.
"Intinya saya tidak mau mempermainkan status pernikahan, bukan berarti saya menyukai kamu, tidak! Kau sudah seperti adikku," ucap Evan memulai pembicaraan.
"Terus, mau Lo apa?" Celia berkacak pinggang, berdiri seolah akan mengajak duel Evan.
"Astaga, sabar dulu Nona. Pelankan suaramu, katanya mau diskusi? Kita disini bukan mau adu urat kale," kata Evan tertawa kecil.
"Ketawa aja, Lo! Ini pernikahan bukan judi online!" Celia bersungut-sungut menjawab ucapan Evan.
"Oke, kita kan mau menikah. Bisakah kau duduk di kursimu dan kita bicara baik-baik," ucap Evan dengan tenang.
Celia mau tidak mau mengikuti permintaan Evan karena tidak mau menjadi pusat perhatian di resto tersebut. "Udah neh, terus gimana?"
"Aku tidak akan membuat aturan aneh-aneh, asal kau tidak menuduhku macam-macam. Lagian, siapa yang tadi pagi mau memberiku lima ratus juta hanya untuk mengelabui orang tua?" Evan mengingatkan Celia akan tawarannya tadi pagi.
"Gue cuma bercanda!" Celia berkilah karena gengsi, ia tidak menyangka jika Evan adalah pria yang akan dijodohkan oleh Tara kepadanya.
"Oh, bercanda. Syukurlah, jadi kedepannya lebih baik kita bekerjasama. Untuk kebaikanmu juga. Tenang saja, aku bukan pemaksa sepertimu, semua bisa kita bicarakan baik-baik. Besok kau kembali ke Jakarta dengan pesawat pagi, bukan? Aku sarankan segeralah tidur, tidak baik tidur larut malam untukmu. Keriput dan cepat tua!" Evan setengah mengejek Celia karena paham jika gadis di depannya itu mudah sekali marah.
“Banyak sekali bicaramu! Aku hanya bertanya satu kalimat, tapi kau menjawabnya ribuan kata!”
“Cobalah pelankan suaranya, duduk yang tenang dan minum dulu kayaknya. Oh, tidak. Beri dia minuman dingin, itu lebih cepat menurunkan tensinya dibandingkan minuman panas,” kata Evan kepada Lala yang hendak menyodorkan coklat panas kepada Celia.
Celia hanya diam saja, ia memberi isyarat kepada Lala agar mengikuti saran Evan, bagaimanapun juga apa yang diucapkan pria itu ada benarnya. Sejak pagi tadi, tensinya naik turun karena banyak hal yang terjadi di luar keinginannya.
“Sepertinya aku tidak asing dengan ini orang, tapi kapan dan dimana aku bertemu. Astaga, buruk sekali ingatanku," gumam Celia mengingat-ingat sesuatu.
"Ucil, sinilah deketan. Jangan seperti orang terpaksa begitulah, gak enak dilihat." Evan meminta dirinya mendekat, Lala sejujurnya khawatir dengan reaksi Celia, namun diluar dugaan, gadis itu menurut. Celia menggeser kursinya mendekati Evan, bersiap untuk mendengarkan apa yang diucapkan Evan kepadanya.
"Udeh, terus gimana? Jangan muter-muter ah, pusing gue! Lo kalau memang gak bisa nolak perjodohan itu, ya kita sama. Gue gak ada pilihan lain, bukan karena demen sama Lo. Gue lakukan ini, karena gue sayang sama Bunda dan Papa. Jadi, gue harap Lo bisa kerjasama yang baik untuk kebahagiaan mereka." Untuk pertama kalinya, Evan melihat raut wajah serius dari Celia.
Evan menghela nafasnya perlahan lalu menjawab ucapan Celia. "Oke, saya paham maksud kamu. Jadi, lebih baik kita buat kesepakatan untuk bersama?"
"Oke, kita bahas setelah ketemu di rumah gue. Gue jamin, Lo gak bakal nyesel nikah sama gue. Walaupun, kita dijodohkan. Gue tetap mau mewujudkan pernikahan impian gue, Lo gak boleh nolak!"
"Memang mau pernikahan yang seperti apa sih?" Pertanyaan Evan yang mengusik imajinasi Celia membuat gadis itu kembali uring-uringan.
"Gak usah banyak nanya juga, nanti Mbak Lala yang bakal kirim ke Lo. Konsep pernikahan yang bagaimana yang gue mau. Sekarang gue ngantuk dan mau bobo cantik," kata Celia memberi isyarat kepada pegawai restoran untuk mendekat.
Evan yang mengerti apa yang akan dilakukan oleh Celia langsung menyambar pembicaraan. "Saya udah open card, gak usah sungkan. Kedepannya kalau kita di tempat umum, biarkan laki-laki yang membayar, Nona. Setidaknya, selamatkan harga diriku," ucap Evan terkekeh kecil.
"Oke, makasih. Kalau gak ada lagi, gue naik yah. Bye, calon suami." Celia melambaikan tangannya ke arah Evan lalu menarik Lala segera pergi dari restoran tersebut.
Roy yang sejak tadi hanya diam dan menjadi penonton pertemuan itu otomatis terbahak-bahak melihat reaksi Evan yang hanya mampu melongo dengan tindakan Celia. "Dapat lawannya, selamat berjuang untuk mendapat hati Celia Destyana Zahra."
"Berisik!" Evan melenggang ke meja kasir untuk mengambil kartunya lalu mengajak Roy pulang ke rumah.
Sedangkan Celia, ia sudah berada di kamarnya, gadis itu sedang menghubungi Rara untuk menuntaskan rindunya.
"Bunda gak sayang lagi sama Celia? Padahal anaknya kangen lho," kata Celia mendramatisir keadaan.
"Sayanglah, masa gak sih. Tapi bunda kan memang baru balik dari kantor. Papa kan ada di sana sama Celia. Gimana, ganteng kan?" Rara terkekeh menggoda anak sambungnya itu.
"Lumayan, selera Papa sama Bunda okelah. Semoga saja, tidak mengecewakan."
"Semoga juga kamu suka sama Evan, atau mungkin udah saling suka?" Pertanyaan Rara menggelitik hati Celia. Gadis itu memang terkenal susah menerima orang baru dalam kehidupannya.