Ada Apa Dengan Selva?

1599 Kata
Tidak seperti kemarin yang terlihat sangat lesu dan lebih banyak diam. Pagi ini Selva bangun dalam keadaan yang lebih segar dan juga ceria setelah semalam ia memonopoli sang mama. Meminta wanita itu untuk menemaninya tidur. Hangatnya dekapan Kirana selalu mampu mengurangi sedikit kegundahan Selva. Membuat sulung Satya itu tidur dengan nyenyak setelah lima bulan ini ia sulit terlelap. Tidak ada sesi cerita seperti dulu, mereka hanya saling mendekap satu sama lain. Selva begitu menikmati gerakan teratur tangan sang mama yang membelai rambutnya serta, irama detak jantung wanita itu yang terdengar seperti nyanyian penghantar tidur. "Pagi, Ma, Pa." Selva menyapa riang, memberikan kecupan pada kedua orang tuanya yang duduk berdampingan. "Pagi, Bel." "Pagi, Oma." Gadis itu melingkarkan kedua tangannya pada pundak Astika dari belakang. Menempelkan pipinya gemas sebelum mengecupnya berkali-kali. "Kangen." "Oma juga kangen, Sayang," balas Astika yang sudah menangkup wajah gadis itu lalu menggesekkan ujung hidung mereka. "Pagi, Opa." Kali ini sapaan itu disertai dengan mencium punggung tangan. "Pagi, Sel. Sudah sehat?" "Sudah, dong. Kan, Selva punya dokter-dokter pribadi." Setelahnya, Selva menyapa sepasang suami istri yang duduk berhadapan dengan Astika dan juga orang tuanya. "Pagi, Tante, Om." "Pagi, Mas Attar." Semua yang berada di meja makan, bahkan dua orangnya asisten rumah tangga yang berdiri di area dapur tersenyum bahagia melihat Selva yang sudah kembali ceria. Namun, diantara orang-orang tersebut, ada seseorang yang sudah mengubah sorot matanya menjadi penuh selidik. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu. "Galen mana?" "Di depan. Liat ikan sama Pak Min," jawab Kirana yang sudah berdiri. "Mbak mau sarapan apa?" Selva yang sedang mengamati hidangan di meja terhenyak. Jantungnya seperti berhenti bekerja untuk beberapa. Ia pun menoleh, menatap wanita yang sejak kemarin memanggilnya dengan menyebut nama. Netranya sudah dilapisi cairan bening yang siap menetes saat kelopaknya berkedip. Bibirnya yang sedikit terbuka mulai bergetar. Sungguh, ia tak percaya dengan apa yang baru saya ditangkap rungunya. "Sel! Ditanyain Mama itu, lho," tegur sang kembaran sambil menyenggol lengan Selva. "Em … Selva mau makan nasi goreng pakai ayam." Ia tergugu dan suaranya bergetar. Kirana lantas mengambil piring yang diulurkan Selva, lalu mengisinya dengan nasi goreng. "Segini cukup?" Selva mengangguk. "Makasih, Ma." Sarapan pagi ini terasa berbeda untuk keluarga Satya. Selain karena lebih ramai, suasananya juga lebih hangat. Tidak seperti kemarin saat mereka sarapan di rumah yang diselimuti keheningan. Setelah sarapan, mereka bersiap-siap untuk pergi ke Eco Green Park—wisata edukasi yang ada di Jatim Park II. Sesuai permintaan Attarazka yang ingin melihat berbagai macam satwa dan Bird Show. Mobil yang dikendarai Satya menjadi hening karena si Balita menggemaskan berada di mobil Bima bersama Omanya. Hanya suara Belva dan Selva yang sesekali membicarakan kejadian di sekolah dua hari lalu, sebelum kembali fokus ke ponsel masing-masing. Terdengar embusan napas besar dari si pengemudi mobil saat ia menyadari jika wanita di yang duduk sebelah kirinya juga sedang sibuk dengan benda canggih itu. Ia kesal karena sejak meninggalkan halaman rumah Kamandanu Nugraha hingga saat ini, tidak ada satu orangpun yang berniat mengajaknya berbicaranya. "Tarifnya sesuai jarak, ya, Mbak. 10.000 per meter per orang." ocehnya memecah keheningan. Sontak saja tiga wanita itu langsung mengangkat pandangan dan menatap si pria heran. "Sesuai peraturan CV kami, biaya makan supir juga ditanggung penumpang," lanjutnya sembari melirik sekilas wanita di sampingnya. "Papa kenapa, sih. Nggak jelas," omel Belva heran dengan tingkah sang papa. "Lagi training jadi sopir travel, ya?" "Bukannya sekarang Papa menang jadi sopir? Dari tadi nggak ada yang ngajak ngobrol, sibuk sama hp masing-masing," protesnya. "Kamu juga." Ia melirik sang istri kesal "Kenapa sama aku?" tanya Kirana tanpa rasa bersalah. Wanita itu mengubah posisi duduknya menghadap Satya dengan punggung yang ia sandarkan pada pintu. "Ck, masih tanya. Harusnya kamu nemenin aku ngobrol, bukan main tetris," tuturnya yang dilanjutkan dengan gerutuan tidak jelas. "Ya mau gimana lagi. Soalnya tetris lebih menarik daripada kamu." Satya semakin kesal setelah mendengar jawaban sang istri. Sementara, dua gadis remaja yang duduk di belakang terkikik melihat sang papa yang tidak lagi menyahut. Kirana menggeser duduknya. Ia mencolek dagu Satya, menggoda dengan berkata, "Cie … ada yang ngambek." Satya menepis tangan Kirana. "Utuk … Utuk … taaayang." Kali ini ia menggerakkan jari-jarinya untuk menggelitik dagu Satya yang sedikit kasar. "Utuk … utuk … taayang. Cep … cep … cep … Papa baik nggak boleh ngambek." Belva dan Selva ikut menggoda. Setelah itu, mereka bertepuk tangan sambil bernyanyi dan menggerakkan badan ke kiri dan kanan. Seperti saat mereka mengajak Gelen bermain. "Pok ame ame belalang kupu-kupu. Papa jangan ngambek nanti nggak dikasih susu." Belva, menahan tangan Selva. Menghentikan kembarannya yang ingin mengulang nyanyian. "Tunggu, tunggu. Papa kan nggak minum s**u. Berarti liriknya kita ganti jadi …," Belva kembali bertepuk tangan sambil bernyanyi dengan riang. "pok ame ame, belalang kura-kura. Papa jangan ngambek nanti papa cepat tua." Selanjutnya, Selva dan Kirana ikut bernyanyi dengan lirik yang diciptakan Belva. Terang saja, itu membuat Satya semakin kesal hingga dia berujar dengan sedikit keras, "Berisik!" Ketiga wanita itu seketika menghentikan nyanyiannya. "Lah, dia ngamuk," ujar Kirana sembari menarik tubuhnya ke belakang. "Tau, nih, Papa. Tadi kita main hp dia protes. Sekarang kita ajak nyanyi dia marah. Gimana, sih, maunya," timpal Belva. "Ingat, Pah! Umur sudah tua. Jangan keseringan ngambek. Keriput di sudut mata Papa nanti bertambah.” "Serah!" Satya menginjak pedal gas semakin dalam agar segera sampai ke tempat tujuan. Terjebak dengan tiga wanita tercintanya di situasi seperti ini sangat tidak mengenakkan. Jelas, dia tidak akan sanggup menghadapi mulut cabe mereka. Tiga lawan satu, bukankah ini sangat tidak adil? Suasana semakin riuh. Kali ini bukan karena perdebatan, tetapi karena Kirana dan kedua putrinya sibuk berfoto dan membuat video story di i********:. Mereka bernyanyi mengikuti alunan lagu yang keluar dari audio mobil. Seperti biasa, Belva yang memiliki hobi di bidang digital art mengabadikan momen perjalanan mereka. Biasanya gadis itu akan mengedit dan mengunggahnya di situs berbagi video. Katanya untuk kenang-kenangan. Satya tang melihat keseruan istri dan anak-anaknya tersenyum bahagia. Ia tidak menyangka akan berada di titik ini. Memiliki istri yang menurutnya sempurna, keluarga yang harmonis dan yang terpenting adalah kedekatannya dengan si kembar. Dan, orang yang paling berperan dalam semua perubahan dalam hidupnya adalah Kirana Zia Nugraha, gadis belia yang dulu sempat ia remehkan. Andai saja waktu itu orang tuanya tidak memaksa, mungkin ia tidak akan pernah merasakan dicintai anak-anak. Ia tidak akan tahu bagaimana bahagianya ketika dilayani istri dan tidak tahu bagaimana hangatnya sebuah keluarga. Mungkin saat ini ia masih terjebak dengan hubungan terlarang dengan almarhumah sahabatnya atau yang lebih parah ia sudah berada di rumah sakit karena tertular penyakit berbahaya dari wanita tersebut. “Mamma! Mamma!” panggil Galen menunjuk ke arah Kirana yang baru keluar dari mobil. Kirana yang mendengar suara anaknya tersenyum dan berjalan menghampiri. Melihat sang mama datang mendekat, bocah laki-laki yang berada dalam gendongan sang opa, melonjak-lonjak sambil bertepuk tangan. “Mamma,” serunya riang saat Kirana semakin dekat. Namun, beberapa detik kemudian Galen berteriak sambil menggerakkan jari telunjuknya saat Belva memeluk manja wanita berkaus putih tersebut. “No! Mamma Gayen!” “No! Mamma Mbak!” balas Belva yang menyandarkan kepada di pudak Kirana. “Mamma Gayen!” Bocah itu mengangkat tangan dan memukul pahanya sendiri sebagai bentuk ancaman untuk Belva. “Sebelum jadi mama kamu, dia itu mama aku, tau!” “Sebelum jadi mama kalian, dia itu pacar Papa tau.” Satya ikut menimpali. “Kapan kita pacaran?” tanya Kirana dengan tatapan mengejek. “Bukannya dulu kamu nggak mau dijodohin sama bocah kayak aku, yang katamu belum pantas untuk di—” “Sayang!” potong Satya cepat sebelum sang istri meneruskan kata terakhir yang akan menodai telinga anak-anak. Wina yang paham maksud dari kalimat adik iparnya itu langsung mencibir, “Punya bocah bikin ketagihan, ya Sat?” Sontak saja Kirana dan Satya langsung menoleh ke arah wanita itu dengan mata terbelalak. Wajah keduanya berubah merah saat istri dari Bimantara itu melanjutkan kalimatnya. “Jelas, dong. Kan yang muda lebih sempit dan menggigit. Apalagi Kirana sering squat, pasti otot-ototnya lebih mencengkram.” “Omongan dijaga! Ada Mama, Papa sama anak-anak,” tegur Bima yang ikut malu. “Sudah, sudah! Ayo kita masuk.” Danu turun tangan menghentikan perdebatan konyol itu. Bima dan Wina berjalan paling depan dengan menggandeng putra mereka. Di belakangnya, ada Astika dan Danu yang mendorong stroller Gelen. Sementara, Satya berjalan seorang diri karena kedua putrinya sudah menggandeng Kirana. Setelah Bima menyerahkan tiket yang dibeli, mereka mengantri di pintu masuk. Selva yang berdiri di depan Kirana memutar badan dan memerhatikan sekitar sambil menunggu giliran. Tiba-tiba saja tubuhnya menegang saat menangkap presensi seseorang yang juga saat ini sedang menatapnya dengan senyum yang menakutkan. Lekas ia memutus kontak mata dengan orang tersebut. Memposisikan tubuh ke arah depan dengan kepala menunduk. Tangannya meremas kuat tali tas selempang yang ia kenakan. Kirana yang menyadari perubahan sikap Selva maju satu langkah mendekati gadis yang tubuhnya terlihat bergetar. “Kenapa, Mbak?” bisiknya khawatir. Ia mencondongkan kepalanya ke depan sejajar dengan bahu dan menyentuh lembut lengan putri sambungnya itu. Selva yang sedang ketakutan sontak berjingkat. Dia menoleh dengan gerakan kepala yang kaku. “Ng—nggak papa, Ma. Cuma gugup aja,” kilahnya. Kirana tersenyum dan ber-oh ria Sementara, Satya yang berdiri di belakang Kirana menaruh curiga terhadap sang anak. Ia yakin ada sesuatu yang membuat putri sulungnya ketakutan. Ia pu mengedarkan pandangan, mengamati sekitar. Sayangnya, dia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan selain pengunjung yang berlalu-lalang, beberapa kelompok anak muda yang sedang berfoto dan juga antrian di tempat pembelian tiket. “Apa yang baru saja dilihat Selva?” batinnya bertanya. Matanya belum berhenti untuk mencari tahu penyebab dari perubahan sikap putriya. Sementara, diantara banyaknya pengunjung, seseorang tersebut terus memandang ke arah keluarga Kamandanu sambil menyeringai. “Santapan besar.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN