Mau tidak mau Sinta dan Selva berbelanja ke supermarket karena di kulkas Satya hanya ada daging dan iga. Jadi, mereka harus membeli bahan lainnya seperti sosis, sayap ayam, ikan dan sayuran untuk melengkapi menu pesta mereka.
Selva yang sedang mendorong troli tiba-tiba berhenti. Bulir-bulir keringat mulai memenuhi dahi saat ibunya memilih beberapa hewan air yang memiliki tubuh beruas dengan beberapa pasang kaki dan antena di bagian kepala.
Tubuhnya tiba-tiba bergetar dan napasnya tercekat saat kilasan peristiwa dua tahun lalu kembali memenuhi otaknya. Peristiwa di mana ia nyaris kehilangan nyawa dan juga Kirana karena perbuatan Belva dan Melisa.
"Bu …," panggilnya takut.
"Iya," jawabnya tanpa menoleh.
"Ja–jangan ambil itu." Suara Selva terdengar lemah dan bergetar.
Gerakan tangan wanita yang sedang memilih udang itu pun terhenti. Ia menoleh dan mendapati kulit wajah gadis yang masih mengenakan seragam dan dilapisi jaket denim itu sudah memucat.
"Maaf, Sel. Ibu lupa kalau kamu nggak makan udang."
Dengan terpaksa wanita itu mengembalikan salah satu makanan favoritnya. Ia mendengkus kecewa. Padahal, ia berniat mengajak Satya untuk mengenang masa-masa pacaran mereka dulu.
Melihat raut wajah sang ibu, Selva merasa bersalah. "Maaf, ya, Bu," ujarnya menyesal.
"Nggak papa." Sinta tersenyum meskipun hatinya sedikit dongkol karena rencana yang sudah ia susun gagal.
Sementara di tempat lain, Kirana yang sedang duduk bersila di lantai beralaskan karpet rasfur, fokus menatap laptop dan tumpukan kertas yang ada di pangkuan secara bergantian.
Sesekali terdengar helaan nafas dan decakan frustrasi. Terkadang ia menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan kala merasa otot-otot lehernya mulai tegang. Matanya sibuk memindai deretan angka yang tercetak di kertas lalu menyamakan dengan yang terpampang di layar laptop.
Jari-jari tangan kanannya bergerak lincah memutar sebuah pulpen, pertanda jika saat ini ia sedang serius.
"Diunjuk, Mbak. Kata orang teh bisa meredakan stres" Suara seseorang membuat Kirana berjingkat. Ia mendongak lalu tersenyum pada wanita yang baru saja meletakkan secangkir teh hijau.
"Ngapunten, Mbak Ki. Tadi saya sudah ketuk pintu. Tapi sepertinya njenengan ndak dengar," ujarnya tak enak hati karena langsung masuk sebelum si empunya kamar mempersilakan.
"Nggak papa Mbak. Saya kalau lagi fokus emang gitu." Kirana menanggapi ramah pada wanita yang hampir dua tahun membantunya menjaga Galen.
"Oh, ya, makasih tehnya," lanjutnya saat mengangkat cangkir keramik berwarna putih dengan motif bunga sakura. Kemudian, menyesap isinya.
"Sama-sama. Kalau begitu saya permisi mau bantu Mbok Yah nyiapin makan malam."
Ini yang Kirana sukai dari Mbak Eni. Wanita yang ia ambil dari salah satu yayasan. Ia begitu ringan tangan. Tak segan membantu pekerjaan Mbok Yah jika sedang lengang.
Di depan pintu, wanita itu berpapasan dengan Belva yang sudah mengganti seragam dengan pakaian rumahan.
"Hai, Mbak," sapanya riang, mengajak pengasuh Galen melakukan tos tangan.
Kirana yang sudah kembali fokus pada pekerjaannya, menaikkan pandangan sejenak lalu menggeleng sambil tersenyum geli melihat tingkah putrinya.
Bukan hanya mengajarkan tos tangan, gadis itu juga kerap mengajak Eni ke lapangan kompleks perumahan untuk menemaninya bermain basket. Tentu saja saat Galen sedang berada dalam penjagaan Kirana.
"Sibuk, Ma?" Gadis itu melangkah mendekati tempat tidur berukuran king.
"Lumayan. Mbak sudah makan?"
"Sudah."
Belva langsung merebahkan diri di sofa yang disandari Kirana setelah mencium sang adik yang terlelap di tempat tidur.
"Naik ojek atau ikut Adam? Alasan apalagi yang kamu pakai kali ini?"
Adam adalah kakak kelas si kembar. Rumahnya hanya berjarak dua rumah dari rumah mereka. Pemuda itu menjadi salah satu orang yang sering dimintai bantuan oleh Belva untuk menghindari Sinta.
"Hari ini nggak pakai alasan, Ma …. Pulang sekolah tadi memang ada meeting sama anggota basket. Kan, bentar lagi ada kejuaraan antar SMA," papar gadis itu.
Kirana memutar sedikit tubuhnya hingga bisa melihat ekspresi sang anak. Ia meragukan pemaparan gadis yang kini menoleh ke arahnya. "Ah, yang bener?" tanyanya dengan nada menggoda.
"Iya, Ma. Sumpah." Kirana memicingkan mata, membuat Belva berdecak.
"Ih, Mama nggak percaya banget sama anaknya. Tanya aja sama Kak Adam. Dia juga ada di sana, kok," ujarnya dengan wajah cemberut.
"Oke. Mama percaya."
Keduanya tak lagi bicara. Kirana kembali bekerja, sedangkan Belva mengeluarkan ponsel dari saku celana dan membuka aplikasi berbagi foto dan video sambil bergumam, menyenandungkan sebuah lagu dari salah satu penyanyi jebolan ajang pencarian bakat.
Ia menyentuh fotonya yang berada di urutan pertama pada barisan paling atas. Lalu membuka kamera dan mulai merekam suasana di kamar secara singkat dengan menggunakan salah satu fitur yang disediakan aplikasi tersebut.
Setelahnya ia menambahkan tulisan 'Stt …! Jangan ribut. Mama sedang berburu dollar.' dan tak lupa menyematkan nama akun Kirana.
Rasa bangganya bertambah saat mengetahui jika teman-teman di sekolah barunya juga banyak yang mengidolakan sang mama.
Setelah mengunggahnya, ia melihat satu per satu story yang dibuat oleh akun-akun yang diikutinya. Sesaat kemudian ia berdesis mengejek setelah melihat sebuah foto yang diunggah sang kembaran.
"Ish, sok akrab," cibirnya lalu menutup aplikasi dan meletakkan benda canggih tersebut di sebelahnya.
Diam sejenak. Ia mulai memikirkan sesuatu. Mengingat-ingat dan merangkai beberapa kejadian yang satu tahun ini terjadi di rumahnya. Tentu saja kejadian tersebut melibatkan saudara dan ibu kandungnya.
"Ma …," panggil Belva tanpa mengalihkan tatapan dari langit-langit kamar.
Kirana menggumam sebagai respon.
"Mama ngerasa ada yang aneh, nggak, sama ibu?"
"Aneh kenapa?"
Gadis itu merubah posisi, memiringkan tubuhnya menghadap Mama. Sebelah tangannya ditekuk dan digunakan sebagai bantal.
"Kayaknya dia punya niat nggak baik, deh."
"Hust! Jangan suudzon!" Kirana menegur tanpa mengalihkan pandangan dari tumpukan kertas yang kini ia letakkan di atas keyboard laptopnya.
"Bukan suudzon, Ma. Belva pernah nggak sengaja mergokin ibu lagi ngeliatin Papa. Tatapannya itu beda. Kalau bahasa di n****+ Mama tuh 'tatapannya sulit diartikan'," ujar gadis itu mengutip salah satu kalimat yang sering Kirana gunakan pada karyanya.
Kirna terkekeh, karena Belva mengatakan hal itu dengan gaya bicara seperti seorang narator.
"Terus lagi, nih, Ma. Belva pernah denger Ibu panggil Papa pakai 'Mas', padahal kan biasanya dia panggil Papa pakai nama."
Seketika Kirana mengangkat pandangan, menatap lurus ke depan dengan mata sedikit melebar. Perlahan-lahan debaran jantungnya mulai meningkat. Hanya sekejap, setelah beberapa saat ia berhasil meraih lagi ketenangannya.
"Mungkin mau lebih menghormati orang yang lebih tua aja, Bel," Kirana hanya menanggapi ucapan terakhir putrinya. Ia tidak ingin berpikir negatif.
"Kalau gitu harusnya Papa, dong, yang Ibu 'Mbak'. Kan Ibu lebih tua dua bulan dari Papa."
Kirana terperangah. Ia sontak memutar badan dan menatap gadis yang masih berbaring itu dengan alis yang nyaris bertaut. Ia tidak tahu mengenai hal ini. Setahunya Satya dan Shinta seumuran.
"Emang, iya?" tanyanya yang diangguki Belva.
"Terus nih, Ma." Gadis itu mengubah posisi menjadi telungkup. Ia terlihat sangat antusias. "Selva itu sekarang sering melamun. Dia kayak orang banyak pikiran. Perhatiin deh, Ma!"
"Masa, sih?" Kirana sedikit memundurkan tubuhnya dengan lipatan dahi yang semakin dalam.
"Iya, Ma. Coba Mama perhatiin kalau dia habis jalan sama Ibu. Pasti dia lebih sering ngeram di kamar. Kata Cindy aja, dia udah beberapa kali ditegur guru gara-gara nggak fokus."
Kirana mengalihkan pandangan dari Belva. Matanya berkedip pelan, sedangkan otaknya sibuk memikirkan ucapan gadis itu.
Apa yang dikatakan Belva memang ada benarnya. Selama duduk di bangku SMA nilai Selva berada di bawah Belva. Padahal, saat masih SMP dulu, Selva selalu lebih unggul. Bahkan, gadis itu bisa meraih peringkat ketiga di kelasnya sedangkan Belva hanya mampu masuk jajaran 10 besar.
Kirana pernah menanyakan hal tersebut. Namun, gadis itu hanya menjawab jika pelajaran di SMA lebih sulit untuk dimengerti.
Dia harus segera membicarakan ini dengan Satya. Agar mereka bisa secepatnya mencari solusi.
***
Kirana baru menyelesaikan pekerjaannya saat jarum terpanjang pada jam dinding menunjuk ke angka 4. Ia mengangkat kedua tangan dan menarik tubuh, menggeliat. Lalu, memutar tubuh bagian atas ke kiri dan kanan untuk meregangkan otot pinggang yang terasa kaku.
Ia menoleh kebelakang, gadis yang tahun ini berusia enam belas tahun itu tertidur dengan mulut sedikit terbuka. Kirana tersenyum jahil saat melihat gawai yang masih dalam genggaman gadis itu. Ia mengambilnya perlahan, mengaktifkan kamera lalu mengabadikan wajah putrinya.
Tidak sampai di situ, Kirana juga mengatur foto tersebut menjadi wallpaper di ponsel Belva. Ia mengembalikan benda berwarna biru itu ke tempat semula. Mengecup pipi tirus si gadis sebelum beranjak menyusul Galen yang sudah dibawa pengasuhnya bermain di halaman belakang.
"Selva belum pulang, Mbok?" tanya Kirana saat belum melihat presensi Selva di rumah.
"Belum, Mbak," jawab wanita yang memakai daster dengan motif salur. "Sudah siap semua. Tinggal ngalusin bumbu."
Kirana menatap beberapa bahan yang sudah tersedia di meja. "Makasih, ya, Mbok, Mbak. Kalian nge-teh aja. Ini biar Kirana kerjain sendiri."
Kirana mulai meracik bumbu, lalu menghaluskannya. Setelah itu, mulai menyalakan kompor yang di atasnya sudah terdapat wajan untuk menumis.
Wanita muda itu menoleh ke kiri saat ekor matanya masih menangkap keberadaan asisten rumah tangganya yang terlihat ingin berbicara, tetapi ragu. Sedangkan, Mbak Eni sedang membuat teh.
"Kenapa, Mbok? Ngomong aja."
"Mbak, ibunya anak-anak jadi nginep di sini?" Mbok Yah akhirnya bertanya setelah diam beberapa saat.
"Mungkin." Singkat Kirana menjawab karena ia juga tidak tahu pasti mengenai hal itu.
"Hati-hati nggih, Mbak! Jangan terlalu dibebaskan. Bahaya!" ujarnya memperingatkan.
Firasat wanita itu mengatakan jika ibu kandung si kembar memiliki maksud terselubung, dan itu disetujui olah Eni.
Paham maksud dari kalimat peringatan itu, Kirana memberikan tanggapan santai.
"Semuanya tergantung dari Mas Satya dan anak-anak, Mbok. Kalau mereka menganggap Kirana dan Galen berharga, mereka nggak akan macam-macam. Tapi kalau mereka mengiyakan niat Mbak Sinta, Kirana bisa apa selain mundur dan menghilang."
Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Cukup dua tahun lalu ia melihat keluarga ini berantakan. Ia tidak ingin lagi menjadi saksi bagaimana putus asanya Satya dan si kembar saat Kirana memilih menyerah.
***
"Kita makan malam di luar aja, yuk," ajak Satya yang baru keluar dari walk in closet hanya dengan menggunakan celana training hitam selutut dan menenteng sebuah kaos berwarna abu-abu.
Pria yang bertelanjang d**a itu menghampiri sang istri yang sedang bermain bersama Galen di atas tempat tidur.
"Kita jalan-jalan, yuk, Dek!" ajaknya pada balita yang kini sudah berdiri dan mengangkat kedua tangan meminta digendong.
"Hap!" seru Satya ketika menangkap Galen yang meloncat ke arahnya.
"Papa ada Nen," celoteh Galen sambil mencolek p****g s**u papanya.
"Ada. Galen juga ada. Tapi nggak sebesar punya Mama. Kalau punya Mama empuk, terus enak lagi. Papa aja suka."
Plak!
Refleks tangan Kirana memukul b****g Satya dengan cukup keras. Pria itu meringis merasakan panas pada bagian belakang tubuhnya.
"Mama, No!" tegur Galen dengan menggerakkan jari telunjuknya.
"Maaf, Boy. Mama nggak sengaja," ujar Kirana.
"Ukan Boy, Mama. Geyen," koreksi balita yang kesulitan mengucapkan huruf L.
"Oke. Maaf Galen." Kirana mengulangi.
"Kita makan malam di luar aja, ya. Selva sama Belva biar di rumah. Kan, udah lama kita nggak jalan bertiga."
"Nggak enak sama Mbak Sinta, Mas. Dia udah belanja buat bikin acara bakar-bakar," tolak Kirana.
Satya menghela nafas, lalu berdalih, "Ya, biar dia bakar-bakar sama si kembar. Ada Pak Mail sama Mbok Yah juga. Nggak bakal mubazir."
Hening sejenak. Kirana memikirkan ajakan suaminya. Dirinya ingin mengiyakan. Namun, jika mereka pergi, ia yakin Belva tidak akan mau bergabung dengan ibu dan saudara kembarnya.
"Kasian Belva. Mas tau sendiri kan dia belum bisa dekat sama Mbak Sinta. Kalau kita nggak ada dia pasti milih diam di kamar."
Perkataan sang istri membuat Satya dilema. Disatu sisi dia ingin menghindar dari mantan istrinya, disisi lain dia tidak tega meninggalkan Belva.
Kirana bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri pria yang berdiri di dekat jendela sambil melihat ke bawah di mana Pak Mail terlihat sedang menyiapkan panggangan.
Dari arah belakang putri Kamandanu itu melingkarkan kedua tangannya di perut Satya. Menumpukan dagu di bahu kiri pria itu, lalu membujuk lirih, "Di rumah aja, ya. Tadi aku sudah buatin sup iga."
Dengan berat hati Satya mengangguk. Lalu, menoleh ke arah sang istri dan mengecup kening wanita itu.
Kirana menggandeng tangan sang suami sembari melangkah keluar dari kamar. Langkah keduanya diisi dengan celotehan Galen. Seperti pada keponakannya, Kirana pun suka menggoda dan membuat putra mereka kesal.
"Halo anak ganteng," sapa Mbak Eni yang langsung mengulurkan kedua tangannya untuk mengambil alih Galen.
Sayangnya, balita itu malah mengeratkan rangkulan pada leher sang papa.
"Sama Mbak, Yuk!. Lihat ikan," bujuknya.
"No! Cama Papa."
Kirana terkekeh. Lantas berujar, "Kalau ada papanya, kita nggak laku, Mbak."
Wanita yang harusnya hanya bekerja sampai pukul lima sore itu, tak menyerah. "Sama Mbak, ya. Papa mau makan dulu."
"Ndak au." Galen menolak. Bocah yang delapan puluh persen wajahnya mengikuti paras sang ibu itu berbalik badan membelakangi pengasuhnya.
"Udah nggak papa, Mbak. Biar dia sama saya. Kan ada istri yang bisa nyuapin. Lagian, makan dari tangan istri lebih nikmat Mbak." Satya melirik sang istri sembari menaik-turunkan kedua alisnya. Pria yang dulu kaku dan dingin itu kini berubah menjadi sosok yang humoris dan hangat, tetapi pada orang-orang tertentu saja.
Pipi Kirana bersemu merah. Ia melirik sinis pada pria di sampingnya yang tidak malu berkata manis seperti itu di depan orang lain.
"Suami Mbak sudah diajak makan?" tanya Kirana mengalihkan topik. Dari jendela kamar, ia melihat pria yang biasa mengantar-jemput Mbak Eni membantu Pak Mail.
"Kami mau langsung pulang aja, Mbak." Hari ini ibu satu anak itu pulang terlambat karena sang suami harus lembur di pabrik.
"Makan dulu." Kirana tidak menerima penolakan. Ia menggandeng Mbak Eni menuju dapur untuk makan bersama.
Sesampainya di meja dapur. Ia mendapati Sinta sedang berdiri menatap hidangan yang tersaji di meja. Wanita itu lantas menoleh ke arah Kirana dan Mbak Eni.
"Malam, Mbak," sapa Kirana yang merasa aneh dengan tatapan Sinta. Kemarahan terpancar jelas dari sorot mata mantan istri suaminya itu.
"Ini yang masak siapa?" tanyanya sengit. Telunjuknya mengarah pada mangkuk berisi sup iga.
"Aku." Tenang Kirana menjawab. Ia tidak terpancing dengan perkataan ketus dari Sinta.
"Kamu tau kan, kalau aku sama Selva mau bikin acara barbeque-an?"
Kirana mengangguk dan bersuara, "Iya. Makanya ak—"
Belum sempat menyempurnakan kalimatnya, Sinta sudah memotong dengan nada sengit.
"Kalau udah tau kenapa kamu masak? Daripada kamu masak ini, lebih baik kamu bikin bumbu oles. Biar aku sama Selva nggak repot!"
Mbak Eni yang berdiri di samping Kirana hanya menunduk. Bukan takut, tetapi merasa tidak enak karena berada di antara mereka.
Sedangkan, Kirana berusaha mempertahankan ketenangannya untuk menghindari perselisihan dengan ibu kandung dua gadis yang sangat disayanginya.
"Oh, kamu sengaja masak karena mau nunjukin kalau anak-anakku lebih suka sama masakanmu, iya?" lanjutnya menuduh.
Kirana tidak bereaksi, ataupun merasakan apa-apa saat mendengar tuduhan dari Sinta. Namun, saat seseorang yang dulu pernah menjadi alasannya bertahan menjalani rumah tangga dengan Satya, datang dan ikut mengutarakan kekecewaan dan menuduhnya, d**a Kirana langsung terasa nyeri. Seperti ada puluhan belati yang menancap tepat di jantungnya.
"Mama kok, masak. Tadi waktu aku minta tolong bikinin bumbu katanya sibuk. Mama sengaja, ya, supaya Belva sama Papa nggak ikut acara bakar-bakar?"
Diucapkan dengan suara lembut, tetapi cukup ampuh untuk mematikan sistem saraf Kirana. Ucapan dari Selva itu berhasil menyayat hatinya.