Permintaan Tak Terduga

1322 Kata
"Pagi, mamaku sayang." Cup! Sapaan manis disertai pelukan dan kecupan di pipi selalu Belva berikan untuk Kirana setiap pagi. Bukan sekadar ungkapan sayang, tetapi untuk memastikan jika yang terjadi sampai hari ini adalah kenyataan. Dulu, ia pikir selamanya akan hidup berdua saja dengan Selva tanpa pernah merasakan kehangatan keluarga. Ia juga sempat mengira jika kehadiran Kirana akan semakin membuat hidup mereka menderita. Seperti salah satu dongeng yang menceritakan tentang kekejaman ibu tiri. Namun, semua itu terpatahkan dengan apa yang dilakukan oleh wanita pilihan eyangnya. Wanita yang sempat ia benci setengah mati itu memberi perhatian dan kasih sayang yang tidak pernah ia dan kembarannya dapatkan. Wanita itu juga yang membuat pria yang selama ini sibuk dengan dunianya kembali sadar akan kewajiban sebagai seorang ayah. Tak hanya Kirana, ibu dari wanita itu pun tak kalah baiknya. Menganggap mereka berdua seperti cucu kandung. Membawa mereka liburan hingga keluar negeri dan selalu mengapresiasi apapun pencapaian mereka. Sungguh, ini adalah anugerah terbesar dalam hidupnya. Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada memiliki keluarga yang utuh dan harmonis. Gadis yang sekarang duduk di kelas satu Sekolah Menengah Atas itu menghampiri bocah laki-laki berambut tebal yang sedang duduk di ruang keluarga bersama pengasuhnya. Benar. Setelah berdiskusi dan meminta saran dari semua keluarga, akhirnya Kirana memutuskan untuk mempekerjakan seorang baby sitter untuk membantu mengasuh Galendra. “Pagi, Galendut,” sapanya. Lalu mencium dengan sedikit menekan pipi gembil itu, gemas. "Anan!” Galen berteriak mengatakan jangan sambil berusaha menjauhkan wajah sang kakak yang tidak berhenti menciumnya. Bukannya berhenti, Belva semakin gencar menggoda bayi itu. “Gemesin banget, sih! Liat nih, bibirnya sampai menciut gara-gara ketekan pipi.” Belva berucap sambil mengeratkan gigi dan menekan kedua pipi Galen dengan ibu jari dan telunjuknya hingga bibir mungil bayi itu mengerucut lucu. Galen yang semakin kesal lantas menjerit lalu menangis. Ia berdiri dan langsung menghampiri wanita yang akrab disapa Mbak Eni. “Duh, kasian. Pipinya sampai merah gini,” ujar wanita itu sambil mengusap pipi Galen yang sudah basah ."Mbak, usil ya, Dek?" Tangannya menepuk-nepuk pelan punggung Galen, berusaha menenangkan. Bukannya kasihan, Belva malah menertawakan sang adik yang sedang menangis dalam pelukan pengasuhnya. Menggoda Galen adalah hobi barunya. Ia suka sekali membuat bocah laki-laki itu menangis. Meskipun begitu, bayi yang sudah berusia dua tahun itu lebih lengket padanya daripada Selva. Ini yang membuatnya tidak betah berlama-lama berada di luar rumah. “Maafin Mbak, ya, Sayang.” Belva mengusap kepala dan mengecup lembut pipi Galen sebelum mengayunkan langkah kembali ke meja makan. Gadis itu menarik kursi yang biasa ia duduki, menyamankan diri lalu menatap lapar pada hidangan yang baru saja Kirana sajikan. Sandwich smoked beef, nasi goreng ayam, telur mata sapi dan s**u strawberi favoritnya. Lekas tangannya terulur meraih piring yang berisi enam potong roti isi. Lalu, memindahkan satu potong ke piringnya. "Seneng banget, sih, bikin adiknya nangis," ujar Kirana sambil berlalu ke dapur. "Habisnya gemes, Ma." Belva membela diri. "Pagi, Mbak." Satya yang sudah lengkap dengan setelan kerjanya mencium pucuk kepala Belva yang sedang menikmati sandwich. "Kok, makan duluan?" "Biar jatahnya double, Pah," jawab gadis berkuncir kuda itu santai. Satya tertawa lirih sambil menggeleng. Lalu, menghampiri sang istri yang baru saja kembali dari dapur dan meletakkan secangkir teh di meja. "Pagi, Sayang." "Pagi, Mas. Mau sarapan apa?" tanya Kirana. Satya menarik pelan lengan sang istri agar tubuh wanita itu sedikit membungkuk. Lalu berbisik, "Kamu." Kirana berdecak. "Nggak usah aneh-aneh," ujarnya lirih sambil melirik Belva yang tidak menghiraukan mereka. Kali ini Satya yang berdecak dengan wajah cemberut. "Tadi malam gagal. Subuh juga gagal. Pagi nggak sempat," gerutunya sambil membalik piring. “Sarapan nasi goreng aja,” pintanya kemudian. Kirana mengulum bibir, berusaha menahan tawa mendengar gerutuan yang disertai ekspresi kesal sang suami. Semalam saat mereka sudah melakukan foreplay dan Satya sudah dalam posisi siap bertamu, tiba-tiba saja bayi yang tidur di box yang menempel dengan ranjang mereka menangis histeris dan langsung merangkak mendekat. Sontak saja Kirana langsung mendorong kuat tubuh Satya yang berada di atasnya, hingga pria itu hampir terjatuh dari tempat tidur. Kemudian, wanita dua puluh empat tahun itu menegakkan tubuhnya, menarik selimut untuk menutupi bagian bawah tubuh, lalu membawa sang putra dalam gendongannya. “Galen sudah dua tahun, harusnya sudah disapih,” protesnya Satya yang ikut masuk ke dalam selimut. "Jangan dulu. Sayang kan, masih ada air susunya. Lagian dia masih mau.” Kirana menolak. “Kan bisa buat papanya,” sahut Satya yang sudah duduk dengan menumpukan dagu pada bahu telanjang Kirana. Sebelah tangannya terulur mengusap kepala putra mereka yang terlihat semangat menghisap sumber kehidupannya. “Dua tahun loh, Yang, aku nggak mengonsumsi kalsium dari sumbernya langsung. Nanti kalau tulang-tulang aku cepet keropos kamu juga yang rugi,” keluhnya. Kirana langsung menoleh dan memberikan lirikan tajam. Bukannya ia tidak tahu jika pria yang sebentar lagi berusia tiga puluh delapan tahun itu sering menikmati gundukan kenyal miliknya ketika ia terlelap. "Nggak usah cemberut, ntar cepat keriput, loh!" ujar Kirana yang menarik perhatian Belva. "Inget, Pah! Umur udah mendekati angka 4. Sedangkan, Mama masih dua puluhan. Jangan sampai pas jalan berdua, Papa dikira papanya Mama." Gadis itu menimpali. Satya yang baru saja memasukkan suapan pertama langsung tersedak. Di rumah ini dia ibarat kaum minoritas yang sering di bully. Dan sialnya, tidak ada satu orangpun yang mau membela. Termasuk tiga orang yang bekerja di rumah ini. Derap langkah kaki yang menuruni anak tangga membuat ketiganya menoleh ke asal suara. "Pagi, Bel," sapa Selva. "Pagi, Ma, Pa." Gadis itu mengecup pipi Satya sebelum menempati kursinya. Membalik piring lalu mengisinya dengan satu centong nasi goreng. "Kok, lemes?" tanya Kirana. "Biasa Ma. Hari ini dia ada pelajaran kimia." Jawaban Belva membuat sang kembaran meliriknya sinis disertai decakan kesal. Sudah jadi rahasia umum kalau Selva tidak menyukai mata pelajaran yang mempelajari tentang struktur, sifat dan susunan dari suatu materi yang ada di alam. Pasalnya, selain materi yang menurut gadis itu sulit, guru pengajar mata pelajaran tersebut juga terkenal galak. Membuat suasana belajar menjadi tegang. Hening. Hanya suara sendok yang bertabrakan dengan piring yang terdengar. Namun, mata awas Kirana menangkap pergerakan tak wajar dari putri sulungnya. Gadis yang duduk di hadapannya itu terlihat gelisah. Mata gadis itu beberapa kali melirik ke arahnya dan sang papa secara bergantian. Kirana menahan diri untuk tidak bertanya. Menunggu Selva berbicara dengan sendirinya. Hingga … "Pah …." Satya dan Kirana kompak menatap Selva. Sementara Belva, sibuk dengan ponselnya yang sejak tadi berdenting. "Emmm …." Gadis itu terlihat ragu. Matanya bergerak kesana- kemari, tidak berani menatap sang papa. "boleh nggak nanti malam Ibu nginap di sini?" Sontak saja pertanyaan Selva itu membuat saudara kembarnya menoleh dan menatap tak suka. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis yang usianya hanya berbeda sepuluh menit dengannya itu bertanya demikian, meminta izin untuk memasukkan wanita yang pernah menjadi masa lalu sang papa ke rumah ini. "Mau ngapain?" ketus Belva bertanya. Ia tidak lagi membenci wanita yang rahimnya pernah ia tempati selama hampir sepuluh bulan. Hanya saja ia belum bisa mengakrabkan diri dan nyaman berdekatan dengan wanita itu seperti Selva. Entah mengapa setiap kali bersama Shinta perasaan sakit itu kembali muncul. Sehingga membuatnya sering menolak ajakan ibunya untuk pergi bersama. Sebenarnya hal yang sama juga ia rasakan saat hanya berduaan dengan Satya. "Katanya mau ngajak barbeque-an." "Nggak harus nginap, kan? Ibu bisa pulang selesai acara." "Apa salahnya Ibu nginap di sini? Dia juga pengen dekat sama kita." "Jelas salah! Kamu nggak mikir gimana perasaan Mama, gimana canggungnya Papa berinteraksi dengan Ibu? Cukup dengan kita Ibu berinteraksi," ujar Belva dengan suara yang sedikit meninggi. Memang, sejak wanita yang melahirkan si kembar datang, Satya benar-benar menghindari segala bentuk interaksi dengan mantan istrinya tersebut. Jika ada hal mengenai si kembar yang harus dibicarakan, ia akan mengutus Kirana sebagai perwakilan. Selain untuk menjaga perasaan sang istri, ia juga belum sepenuhnya percaya dengan wanita itu. "Ibu baru boleh nginap di sini kalau ada sesuatu yang urgent. Kamu sakit misalnya," lanjut Belva saat saudara kembarnya ingin melayangkan protes. Sementara, sepasang suami istri yang duduk di meja itu hanya diam mendengarkan. Sama-sama bingung untuk memberi tanggapan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN