Bak air s**u dibalas air tuba. Mungkin pepatah itu sangat cocok untuk menggambarkan tingkah laku Sinta saat ini. Bukannya berterima kasih karena diberi izin mengadakan acara barbeque, wanita itu malah membuat sang tuan rumah kesal.
Saat mereka sedang menikmati hidangan barbeque, tiba-tiba saja Sinta menceritakan tentang masa-masa pacarannya bersama Satya. Ia menceritakan jika dulu mereka setiap bulan selalu mengadakan acara bakar-bakar seperti ini bersama teman-teman.
"Kalau nggak barbeque-an, biasanya kita liburan bareng. Ke Batu, Jogja atau kalau long weekend, kita ke Bandung. Ya, kan, Mas?"
"Yang paling berkesan tuh, waktu kita ke Bali. Papa kalian itu romantis banget orangnya."
Kirana berusaha mempertahankan wajah tenangnya. Ia bahkan menanggapi dengan antusias semua cerita Sinta, seolah-olah itu tidak berpengaruh apapun pada dirinya. Padahal, jika diturutkan ingin rasanya ia menyumpal mulut wanita itu dengan satu potong besar tenderloin.
Sementara, sepanjang acara, Satya tidak bisa tenang. Perasaan takut dan kesal membaur menjadi satu menguasai hatinya. Ia berulang kali menoleh ke arah kanan untuk melihat reaksi dari wanita yang berhasil membuat hidupnya lebih berwarna.
Berulang kali Satya memerintahkan Sinta untuk berhenti bercerita untuk menghargai perasaan istrinya. Sayangnya, wanita itu bengal. Dia beralasan kalau si kembar harus tahu Love Story orang tuanya.
"Tolong berhenti! Hargai perasaan istri Saya!" titah Satya tegas.
"Apaan, sih, Mas! Kirana, loh, biasa aja. Ya, kan, Ki?"
Satya menoleh ke arah sang istri yang sialnya malah mengangguk santai sambil tetap mengunyah bakso bakar.
"Lagian anak-anak harus tahu gimana kisah cinta orang tuanya," lanjut wanita itu.
"Termasuk kisah dibalik perceraian kalian, ya, Bu? Sekalian alasan kenapa Ibu tega ninggalin kami yang masih kecil biar kami nggak penasaran."
Sekakmat! Pertanyaan Belva ampuh membuat bibir ibu kandungnya terkatup rapat. Bukan hanya Sinta, semua yang ada di tempat itu terperanjat dan langsung menoleh ke arah Belva yang memasang raut datar.
Setelah itu suasana menjadi canggung. Sinta yang semula berniat mengajak Satya mengenang masa-masa indah mereka, harus berakhir dipermalukan darah dagingnya sendiri.
Paginya, Kirana bangun lebih siang dari biasanya. Bukan sengaja, tetapi ia benar-benar lelah karena semalam ia harus membereskan sisa-sisa acara. Untung saja tadi malam Galen tidur sangat pulas.
Kirana berharap, Sinta bangun lebih awal dan berinisiatif membuat sarapan. Mengingat, semalam wanita itu langsung mengajak Selva ke kamar tanpa memedulikan kekacauan yang dihasilkan dari acara mereka.
Nihil!
Kirana mendesah kecewa saat mendapati meja makan masih dalam kondisi bersih tanpa peralatan makan. Hanya ada satu teko teh yang sudah pasti buatan Mbok Yah dan satu toples biskuit di atas mini bar.
Dengan langkah gontai, Kirana memasuki dapur sambil terus memikirkan perubahan sikap ibu kandung si kembar yang menurutnya kembali seperti dulu, saat wanita itu pertama kali menginjakkan kakinya di rumah ini. Bossy.
"Pagi, Mbok."
"Pagi, Mbak Ki."
"Kirain udah ada yang bikin sarapan, Mbok. Eh, nggak taunya meja masih kosong," keluh Kirana lesu sambil membuka kulkas. Melihat stok bahan makanan yang bisa ia olah untuk menu sarapan.
"Oalah, Mbak … Mbak. Kok, mengharapkan ayam jantan bertelur." Mbok Yah yang sedang mengupas bawang menyahuti. "Paling masih tidur."
"Ya, kan, kirain, Mbok." Kirana mengambil paprika merah dan hijau, daging asap dan daun bawang.
Wanita yang menjadi salah satu saksi seberat perjuangan Kirana menghentikan kegiatannya. Tanpa diminta ia mencuci paprika dan daun bawang, lalu mengupas bawang bombay. "Mau buat apa, Mbak?"
"Karena udah kesiangan, kita bikin yang simple aja. Gyeran mari atau Korean egg roll."
Mbok Yah membeku. Ia menatap sang majikan dengan dahi berkerut, bingung. Bibirnya sedikit terbuka dan bergerak sangat pelan.
"Egg kuwi artine endhog." Ia bergumam sangat lirih. "Roll? Roll cake? Berarti …."
Matanya langsung membola dan berbinar saat berhasil mengartikan nama makanan yang disebutkan Kirana. "Oalah, telur gulung!" serunya kemudian.
Kirana yang sedang mengocok telur tersenyum lalu mengangguk. Ia tidak punya banyak waktu untuk membuat nasi goreng. Ingin membuat sandwich, tetapi tidak ada stok roti tawar. Begitu pula dengan pancake, persediaan madu sudah habis dipakai Sinta semalam.
Tanpa bertanya lagi, Mbok Yah langsung memotong paprika dan daging asap dengan bentuk potongan dadu kecil. Seperti biasa keduanya masak sambil mengobrol ringan.
Grep!
Kirana dikejutkan dengan sepasang tangan yang tiba-tiba melingkar erat di perutnya. Ia yang sedang memanaskan teflon terkesiap lalu melirik ke bawah, menatap tangan dengan sebuah cincin putih di jari manis kiri.
Ia tahu siapa yang berada di balik punggungnya. Sosok yang saat ini sedang mendekapnya erat dengan dahi yang menempel di tengkuknya. Sosok yang sejak semalam ia diamkan.
Kirana terdiam. Entah mengapa lidahnya terasa kelu. Bahkan, untuk menelan saliva saja ia kesulitan. Sebait kalimat yang gadis itu ucapkan semalam kembali terngiang, membuat dadanya kembali dijejali rasa sakit.
Sejenak memejamkan mata, menarik nafas panjang untuk meredam rasa sakit yang kian menjalar. Sementara, Mbok Yah langsung pergi meninggalkan dapur, memberikan waktu pada keduanya untuk berbicara.
"Ma …." Suara bergetar yang menyapa rungunya semakin membuat jantungnya berdenyut nyeri. "Maaf."
Permintaan maaf yang diucapkan nyaris tanpa suara itu semakin menghunjam ulu hati Kirana. Ia sampai menggigit bibir bawah sebagai pelampiasan. Kepalanya sedikit mendongak guna menghalau luruhnya bulir bening yang sudah mengintip di sudut mata.
Selva mengulangi perkataannya karena Kirana masih membisu. Bukan tidak ingin menyahuti, hanya saja semua kata yang ingin ia ucapkan tertahan di tenggorokan. Sulit sekali untuk disuarakan.
"Selva nggak bermaksud nyalahin apalagi nuduh Mama. Selva cuma—"
"Udah nggak papa. Nggak usah dibahas." Kalimat itu lolos begitu saja. Kirana kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia akan berusaha memaklumi.
Selva belum juga melepaskan belitan tangannya di perut Kirana. Membuat Kirana kesulitan untuk bergerak.
“Sel, tolong lepasin tangan kamu! Mama mau buat sarapan,” pinta Kirana setelah mengembuskan napas besar.
Kirana bisa merasakan jika gadis itu menggeleng, menolak permintaannya.
“Lepasin dulu, Sel. Mama harus siapkan sarapan. Ini sudah jam tujuh lewat.”
Selva tak menggubris dan semakin mengeratkan dekapannya, membuat Kirana hanya bisa mendesah pasrah. Ia terpaksa melanjutkan kegiatan memasaknya dengan gerakan terbatas. Sesekali ia harus menginstruksikan gadis yang ada di balik punggungnya untuk bergerak.
"Sel, Mama mau ambil sutil."
"Sel, Mama mau cuci tangan."
"Mama mau ambil piring."
Memasak dengan kondisi seperti ini sebenarnya membuat Kirana risih dan kurang fokus. Sudah dua kali ia berdecak kesal karena gulungan telurnya tidak sempurna.
“Sel, bisa tolong lepasin. Mama nggak leluasa gerak.” Sekali lagi Kirana meminta. Ia harus segera menyelesaikan masakannya, sebelum Satya dan Belva turun.
“Mama masih marah?” Gadis itu malah bertanya dengan nada memelas.
Lagi-lagi Kirana menarik nafas panjang. “Nggak, Sel. Mama nggak marah. Lepas, ya.”
“Bohong! Mama masih kesal sama Selva, kan?”
“Nggak, Selvania!” jawab Kirana penuh penekanan seraya menuang adonan telur yang tersisa.
Mendengar Kirana menyebutkan namanya secara lengkap, dara ayu itu perlahan melepaskan pelukan dan mundur selangkah, memberi jarak pada tubuh keduanya.
“Mama masih marah." Kalimat itu diucapkan disertai linangan air mata. "Buktinya Mama nggak panggil Mbak, Mama panggil pakai nama lengkap Selva."
Kirana tersentak. Matanya terpejam sambil melipat bibirnya ke dalam. Batinnya mengumpat, merutuki dirinya sendiri. Rasa kesal dan kecewa yang masih bersarang di hati membuatnya tidak sadar jika memanggil Selva dengan cara yang tidak biasa.
Kirana mematikan kompor dan memindahkan telur gulung ke piring sebelum membalikkan tubuh menatap putri sulung Satya Prawira.
"Iya, Mama kesal. Mama sakit hati," jujur Kirana dengan suara lembut. Kirana menjeda, menghirup oksigen sebanyak mungkin dalam satu tarikan napas untuk mengisi paru-paru yang mulai kosong.
"Mama nggak nyangka orang yang selalu Mama turuti kemauannya bisa menuduh Mama seperti itu.”
Selva menunduk sambil menggumamkan kata maaf.
“Kamu sudah besar, biasakan untuk mendengarkan penjelasan sebelum menuduh."
“Maaf, Ma.”
“Kamu tau kalau Mama akan selalu berusaha memenuhi permintaan kamu. Sekalipun suatu saat nanti kamu minta Mama pergi.” Kirana melanjutkan dengan suara lirih dan tatapan sendu. Ia tidak tahu kenapa dia berkata seperti itu. Namun, setelah mengatakan kalimat itu rongga dadanya semakin menyempit, hingga membuatnya sesak. Tanpa terasa cairan bening yang berusaha ia tahan sejak tadi jatuh membasahi pipi.
Kirana harus mempersiapkan diri dan hatinya. Tidak menutup kemungkinan suatu hari nanti keluarga ini memintanya untuk pergi, mengingat Selva yang semakin akrab dengan ibunya.