London, 4 p.m.
Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, akhirnya Han tiba di London. Tidur di pesawat pun tak tenang karena takut membayangkan betapa sakitnya perasaan Samantha nanti jika dia menyampaikan kabar pernikahan Rose dan kakaknya. Juga dengan semua hal yang dia lakukan di London ini yang tak lain hanyalah upaya pengkhianatan yang dilakukan sang ayah.
Han berjalan ke sudut, mendekati telepon umum untuk menghubungi pria bernama Rizky sesuai secarik kertas yang diberikan Narendra. Meraih dompet dan mengeluarkan recehan sen yang sudah dia tukarkan sebelumnya ke mata uang Inggris itu. Tak lama, panggilan tersambung. Suara Rizky menyapanya dari seberang.
“Halo!”
“Halo, bisa bicara dengan Rizky?” sahut Han.
“Oh, Anda Handoko? Pak Narendra sudah menelpon saya sebelumnya. Anda sudah sampai di bandara?”
“Ya, bisa tolong jemput saya di sini?”
“Baik. Saya segera ke sana.”
“Saya di dekat telepon umum, pakai sweater abu-abu dan syal merah. Pakai kacamata juga.”
“Ya.”
Setelah itu, Handoko menjauh dari sudut telepon umum dan duduk di kursi panjang. Wajahnya berubah sendu, menunduk. Mungkin Samantha akan terkejut jika dia datang menghampiri. Lalu bagaimana cara mengatakan hal itu?
Han mengeluarkan selembar foto dari dalam buku yang dia ambil dari tas. Selembar foto akad di mana Alexander dan Rose sudah mengikat janji sehari lalu. Sahabatnya yang berjuang keras untuk mendapatkan restu, tapi ditusuk dari belakang oleh ayah dan kakaknya sendiri. Alexander tak bersalah. Akan tetapi, jika Samantha mengetahui semua ini, bisakah hubungannya dengan Alexander sebaik dulu?
“Apa lo bisa tegar, Sam? Gue bohong sama Pak Narendra. Gue bahkan nggak siap untuk jadi tempat lo bersandar nantinya. Gue nggak bisa bayangin gimana keadaan lo nantinya setelah gue kasih tau kabar ini.”
Tak lama, seorang pria tinggi berkacamata itu muncul dari pintu bandara. Dia mendekati Han dengan santun. Han segera bangkit untuk menyambut uluran tangannya.
“Hai, saya Rizky.”
“Saya Handoko. Panggil saya Han saja.”
“Baik, ayo!”
Rizky membimbing Han untuk mengikuti. Memberhentikan taksi di depan bandara, mobil itu melaju dengan kecepatan sedang di antara ruas jalan raya.
“Saya dengar dari Pak Narendra, kamu ini sekretarisnya Alexander?” tanya Rizky.
“Ya, baru sebulan terakhir,” jawab Han, tenang.
“Oh, setelah lulus, saya juga akan masuk ke perusahaan Atmadja. Mungkin hanya tinggal satu semester lagi.”
Tak ada kata yang terucap lagi. Han masih terlihat gelisah menanti waktu untuk bertemu dengan Samantha.
“Sam ada di rumah, kan?” tanya Han.
“Sam? Oh. Dia udah ke kampus, tadi pagi. Tesnya, kan, dua hari. Hari ini tes tulis, besok tes wawancara. Sebenarnya saya juga nggak mengerti kenapa Pak Narendra meminta Sam untuk ujian langsung dengan Profesor, bukan lewat system kampus. Saya nggak tau uang bisa membuat ujian masuk jadi selancar itu.”
Han tersenyum sinis mendengar urai santai Rizky. Tentu yang dikatakannya memang benar. Tak semudah itu. Itu hanyalah akal-akalan Narendra untuk menyingkirkan putranya di hari pernikahan putranya yang lain.
‘Sam, gimana caranya aku bilang ke kamu kalau tes itu sebenarnya nggak pernah ada? Kalau tes itu sebenarnya fiktif. Kenapa kamu sepolos itu dan mempercayai papamu? Sebenarnya Pak Narendra nggak berniat jahat, dia hanya ingin kamu sukses dan memegang perusahaan juga bersama Alexander. Dia hanya nggak percaya kalau kamu serius dengan Rose. Tapi-'
Tanpa sadar, Han menjatuhkan air mata untuk penderitaan Samantha. Setelah dikhianati sekejam ini, akankah dia bisa tertawa dan ceria seperti sebelumnya?
“Hampir seminggu ini dia belajar terus. Sepertinya dia serius untuk masuk Universitas Diamond,” seru Rizky.
“Oh iya, apa dia baik-baik aja? Dia alergi dingin. Maksudku, dari luar dia memang tampak sehat, tapi dia sangat sulit beradaptasi dengan udara dingin. Tubuhnya akan cepat drop. Dia baik-baik aja, kan?”
Rizky terkejut, lalu menggaruk sisi dahinya. “Kalau dia sesulit ini beradaptasi dengan udara dingin, kenapa Pak Narendra mengirimnya ke sini?”
Han tak menjawab. Pria itu sangat sibuk. Bagaimana dia tahu keadaan putranya ini? Berbeda dengan Alexander yang terlalu manut pada perintah orangtua, sejak kematian ibunya, Samantha lebih sering memisahkan diri dari Keluarga Atmadja dan hidup mandiri. Tentu tak banyak yang diketahui Narendra tentang putranya. Hanya kelakuannya yang suka membolos mata kuliah dan bermain wanita itu cepat sekali sampai di telinganya. Namun, prestasi Samantha di bidang basket itu justru tak pernah disinggungnya.
“Han.”
“Maaf,” sahut Han karena dia melamun. “Semoga dia baik-baik aja.”
“Keliatan memang dia terlalu memaksakan diri. Terlalu diforsir juga. Aku selalu marah kalau dia tidur sampai jam tiga pagi.”
“Aku juga baru sadar setelah dia tinggal di Bandung. Gampang drop-nya. Dulu dia kuliah bolak-balik Jakarta. Cuma di tingkat akhir, dia stay di Bandung. Cuma, kan, Bandung juga nggak sedingin ini.”
Han menghela napas panjang, memegang sudut matanya yang basah karena ikut sedih untuk yang dialami Samantha. Saat tiba di tikungan jalan, Han menoleh ke arah Rizky. “Bisa kita ke kampusnya aja? Aku mau ketemu dia di sana.”
“Oh, oke.”
Taksi itu pun melaju cepat menuju Universitas Diamond. Sementara di salah satu gedung universitas, Samantha tampak gugup untuk menanti waktu bertemu dengan Professor Carlos. Sesekali lututnya bergerak, menahan rasa gugup. Dirapatkannya lagi jaket dan syal yang melilit di lehernya. Duduk di sudut depan ruangan, Samantha membuka-buka lembaran agenda. Diambilnya lagi pulpen untuk menulis isi hatinya hari ini.
[Dear, Rose. Aku lagi nungguin Professor Carlo, nih. Hari ini ujian pertama. Sebenarnya agak pusing dikit, meriang juga. Hehe. Anak kampung disuruh main ke London, langsung ciut, deh. Ini dingin banget. Badanku nggak enak rasanya. Kalau kamu di sini, kan, bisa aku peluk. Gimana cara mereka bisa hidup di sini, ya? Dingin banget. Tapi nanti kalau aku nggak lulus, aku minat jualan bandrek aja di kantin. Hihi. Becanda, Sayang! Aku udah berusaha semaksimal mungkin. Kalau aku nggak lulus, bukan berarti aku nggak serius sama kamu, loh. Ini otakku aja yang mentok. Udah sakit banget rasanya.
Nggak tau, perasaanku nggak enak aja. Apa kamu lagi sedih di sana? Nggak, kan? Oh iya, ingat janji kita. Jangan bicara apa-apa sama Alex! Kasian, tau! Dia nggak pernah pacaran, jatuh cinta aja belum pernah. Nanti kalau tiba-tiba lamarannya batal, kan kasian.
Aku ada rumah di Bandung. Itu rumah mama dulunya. Setelah mama meninggal, rumah itu buat aku, tanah yang di Jakarta buat Alex. Nanti kita tinggal di sana abis merit, ya. Aku mimpi buruk kalau kamu diambil Alex. Ini abis tes, aku mau langsung pulang aja. Beneran, badanku nggak enak di sini. Sakit banget. Aku mau pulang. Belakangan ini mimisan terus. Nanti temenin ke dokter, ya. Padahal aku jago banget di lapangan, kena dingin gini langsung drop. Pengen peluk kamu.]
Samantha meletakkan pulpen, melepas sweater nya dan menghapus kertas yang bernoda merah itu lagi. Diusapnya hidung yang mulai pedih karena mimisan lagi. Buku itu disampirkan ke sisi duduknya, lalu bersandar ke dinding dengan kepala mendongak.
“Ini keluar terus. Beneran nggak bisa lama-lama di London kalau gini, sih,” gusarnya.
Tak lama, seorang asisten professor keluar dari ruangan itu untuk memanggil Samantha masuk dan menemuinya. Dia berjuang untuk sesuatu yang sia-sia.
Sementara itu, taksi baru saja berhenti di depan Universitas Diamond. Rizky menuntun Han untuk menjejaki tiap sisi lorong untuk mencari keberadaan Samantha. Tiba di sisi timur, mereka menunggu Samantha keluar dari ruangan itu. Detik berlalu, mengisi rasa cemas Han untuk kesedihan Samantha.
Setengah jam berikutnya, pintu terbuka. Samantha terkejut karena mendapati Han menyusulnya ke sini. Han menatap miris, tangannya gemetar. Senyum Samantha yang seindah itu, akan berubah seperti apa nantinya jika dia mengatakan bahwa Alexander sudah mempersunting kekasih yang diperjuangkannya?
Bibirnya yang tetap tertaut meski wajahnya yang begitu pucat, Han terus merutuki takdir yang bermain atas Samantha.
‘Berhentilah, Samantha! Hidup ini nggak adil. Berhenti dan nikmati hidupmu,’ batin Han.
Samantha berjalan lambat sambil tetap memegang agenda cokelat di tangannya. Berbeda dari biasanya yang selalu jejingkrakan, Samantha kehilangan cahaya kehidupannya. Dia memeluk erat Han, seolah menyandarkan lelahnya.
“Kata Profesor, gue lulus ujian ini. Masih ada ujian terakhir, besok. Makasih udah datang, Han.”
Bungkam, hanya itu yang bisa Han lakukan. Bibirnya selalu tertahan untuk mengatakan hal buruk di Jakarta sana. Rizky membawa mereka pulang saat hari mulai senja. Dia menyiapkan makan malam untuk Samantha dan Han. Keduanya duduk di kamar yang tak terlalu besar itu. Han menatap sahabatnya ini dengan miris.
‘Apa harus aku bilang sekarang? Ya Allah, aku nggak sanggup bilangnya. Gimana dengan dia yang harus hadapi ini?’ batin Han.
“Kenapa tiba-tiba nyusul ke sini, Han?” tanya Samantha sambil membereskan meja yang berserakan dengan buku. “Oh iya, kalau tau lo mau datang ke sini, harusnya lo minta Rose bikini surat buat gue.”
“Lo bisa telepon dia kalau mau,” kata Han.
“Mahal, lah. Internasional gini. Gue juga nggak mau repotin Rizky. Ini besok ujian terakhir, gue mau langsung pulang, kok. Kalau tadi aja gue lolos, besok udah gampang aja. Wawancara doang, kan?”
Han hanya mengangguk. Mereka mulai menikmati makan malam itu. Sejak sore tadi Han memperhatikan temannya ini tak seceria biasanya. Wajahnya pucat dan memang terlihat sakit. Han khawatir pada kondisi kesehatan temannya itu.
“Lo sakit, Sam?”
“Ya gini, lah. Lo tau, kan, gue paling nggak bisa tinggal di tempat dingin gini. Ya Allah, ini mah tiga kali lipat dari Bandung,” kekeh Samantha.
Han terlonjak kaget saat menunduk dan makan, darah menetes lagi dari hidung Samantha. Dia segera beranjak untuk mendongakkan kepala sahabatnya itu.
“Sampai mimisan gini,” cemas Han. “Ke dokter aja, ya!”
Han sangat khawatir. Samantha belum bicara. Dua hari ini memang mimisannya kembali karena badannya kurang sehat. “Nggak apa-apa, lah.”
Han mengambil handuk, lalu membasahinya untuk membersihkan hidung Samantha. Temannya itu terkekeh pelan hingga membuat Han tertegun. Dia kembali duduk di tepi kasur setelah memberi penanganan pada Samantha.
“Lo gila, ya! Udah sakit gitu masih ketawa aja!” geram Han.
“Ah, iya, kayaknya gue emang udah nggak waras,” kata Samantha setelah menyamankan diri, berbaring sebentar di kasur. “Gue yang playboy gini. Sebulan bisa gonta-ganti cewek, sekarang kelimpungan cuma karena Rose. Ah, ternyata gue jatuh cinta beneran sama dia.”
Hari itu berlalu tanpa Han berhasil mengungkapkan kejadian buruk di Jakarta. Bahkan dia sulit tidur dan memandangi wajah Samantha yang berbaring tepat di sampingnya. Terus dihapusnya kasar wajah sendunya, mengusap air mata yang basah karena lelah berpikir. Bagaimana cara memberitahukan pada Samantha?
Cuaca yang sangat dingin, memaksa Han untuk meringkuk lebih dalam pada balutan selimut. Diberikannya jaket tebal yang dibawanya dari Jakarta sana untuk dia tutup ke atas badan Samantha. Dia baru bisa tertidur saat lewat jam satu malam.
‘Besok harus bilang sama Sam. Ya Allah, kuatkan dia. Aku juga nggak tau gimana jadi sandarannya.’
Detik terus berlalu menanti fajar yang terbit nantinya. Lewat jam tiga, Samantha terbangun dan membasuh wajahnya. Buku kembali menjadi tujuannya untuk menghabiskan waktu sampai fajar. Duduk di depan tumpukan buku lainnya, memijat kepalanya yang sakit.
“Semangat, Sam! Tinggal besok!”
Samantha menghabiskan waktu untuk membaca lagi. Setengah jam berlalu sudah. Sesekali merenggangkan badan, lalu mengambil agenda cokelat untuk menulis lagi.
[Dear, Rose. Hari ini Han sampai di London. Aku nggak tau kenapa dia sampai di sini. Apa dia takut aku sakit? Dia sahabat yang baik, kan? Kamu harus temenan juga sama dia. Dia setengahnya aku, kamu tau? Besok ujian wawancara. Tadi aku lulus. Kata Professor Carlo, kalau wawancara lulus, aku bisa langsung kuliah master di sini. Ah, nggak tau aja dia. Aku tuh ujian, kan, cuma buat kamu. Besok abis ujian, aku langsung pulang. Eh, kamu mau oleh-oleh apa? Besok aku belanja dulu. Aku mau cari hape di sini. Tapi kayaknya lebih mahal, ya, daripada di Indonesia? Nanti aku beli dua. Satu buat kamu. Eh, tapi, kayaknya nanti nggak perlu beli lagi, kan? Soalnya, kan, kita bakal tinggal serumah. Tinggal ngobrol doang. Aku sayang kamu. Aku pulang nanti, kita nikah dan punya anak cowok. Hehe. Aku bilang gini terus supaya kamu percaya kalau aku serius. Kan, kamu tau sendiri, aku udah tobat. I Love You.]
Suara decit kursinya membangunkan Han. Han terkejut saat tengah malam begini pun, Samantha bangun untuk belajar di saat kondisinya tak baik. Segera dia beranjak, lalu mendekati Samantha. Diraihnya buku-buku di atas meja itu, membuangnya ke lantai. Dia marah dan sedih bersamaan.
“Apaan, sih, Han?” tanya Samantha, kesal.
“Berhenti, Sam. Tolong.”
Hendak marah, Samantha mengurungkan niat. Dia melihat Han jatuh dan duduk bersandar di dinding. Dia yang sedih, ataukah bersedih untuk dirinya. Pria itu marah dan menangis bersamaan. Dia berulang kali meninju lantai karena marah.
Han adalah sahabatnya dari kecil. Dilahirkan dan tumbuh besar di Keluarga Atmadja dan sudah seperti saudaranya sendiri. Kenapa hatinya ikut sakit untuk air mata Han?
“Kenapa, Han?” tanya Samantha, penasaran.
Han mengangkat wajahnya, menatap pantulan wajah pucat Samantha dalam sinar redup lampu belajar. Sanggupkah dia melihat sinar mata yang penuh semangat itu berganti menjadi luka, nantinya.
“Dia bukan milikmu lagi. Berhentilah!”