Suara hela napas terdengar lagi. Di ruangan sudut kantor Atmadja Corp, Alexander nampak kesal setelah melempar berkas di tangannya ke atas meja. Diacak-acak rambut klimisnya. Gusar pada raut wajahnya itu tetap tak menghilangkan sinar ketampanannya.
“Lo serius dikit bisa, nggak, Sam? Ini udah hampir tiga minggu, tapi kerjaan lo nggak ada satu pun yang beres.”
Samantha berdiri di sana. Meski dimarahi sang kakak, Alexander, tak ada rasa takut sedikit pun di wajahnya. Bukan karena tak menghormati, tapi dia tahu Alexander ini sangat menyayanginya.
“Kasih gue satu kesempatan lagi. Please.”
Samantha bergerak ke belakang kursi Alexander. Hanya tersenyum tipis sambil memijat-mijat bahu kokoh sang kakak. “Yang ini urat lo tegang banget. Biar gue pijitin.”
Samantha yang sangat bandel. Alexander hanya tersenyum tipis, menggerakkan sedikit bahunya untuk relaksasi. “Ke kiri dikit, Sam.”
“Oke, Bos.”
Sejak tadi mereka bicara, Han hanya geleng kepala sambil menyiapkan kerjaannya. Ada satu meja di sudut ruangan. Dia mengambil peran sebagai sekretaris Alexander.
Narendra Atmadja sangat mempercayai kemampuannya untuk berdiri di samping Alexander sebagai wakil direktur perusahaan tersebut.
“Harusnya lo itu belajar, Sam. Minggu depan udah sidang, kan? Malah tiba-tiba ngotot masuk ke perusahaan,” sahut Alexander.
“Ya, kan, nantinya gue juga megang kendali di sini. Mulai dari sekarang apa salahnya, sih?”
“Ya nggak salah, tapi … Iya, enak di situ. Pijet yang keras dikit. Lembek banget tenaga lo.”
Alexander terus menikmati pijat dari Samantha. Pelupuk matanya bahkan terasa berat, mengantuk sekali.
“Lo sidang, wisuda. Trus lo pergi ke Inggris untuk gelar MBA lo. Ntar empat tahun lagi, lo balik dan ambil tanggung jawab di sini.”
“Nggak, ah, Lex. Gue mau kerja aja, trus kawin.”
Samantha berkata dengan polosnya. Han hanya tertawa kecil, menatap wajah terkejut Alexander saat pria putih berkharisma itu menarik tangan Samantha untuk berdiri di depannya.
“Mau kawin apaan, sih? Kuliah juga belum kelar. Lagian, masa’ lo yang kawin duluan, sih, daripada gue?” gerutu Alexander.
Samantha tersenyum kecil. Bokongnya sedikit menjorok ke dalam saat dia duduk di tepi meja kerja Alexander.
“Ada cewek yang gue suka. Gue mau kerja keras, ngumpulin duit buat lamar dia.”
Han hanya mencebik geli. Setelah diputuskan Rose karena berpikir tak sederajat, Samantha mulai kerja keras untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk melamar sang kekasih.
“Lah? Nunggu lo ngumpulin duit, keburu dirampok cewek lo, Sam,” ejek Alexander.
Samantha mengangguk pelan, menggaruk ujung dagunya sambil berpikir keras. Ya, waktu akan terus berputar dan dia tak mungkin bisa jadi jutawan dalam semalam. Kecuali dia bisa mengambil alih Atmadja Group ini dengan menjentikkan jari.
“Ah, bener juga, sih. Atau gimana kalau gue minjam semuuuua kekayaan lo buat ngelamar cewek gue. Boleh, Lex?” usul Samantha, dengan senyum sumringah.
Hampir saja Han tersedak kopi yang diseruputnya. Sedikit dia bergumam pelan, “Otaknya kayaknya lagi mampet. Perlu digetok lagi biar encer dikit.”
Samantha yang terlalu kasmaran. Alexander hanya memipihkan matanya, lalu meminta Samantha lebih mendekat ke arah wajahnya dengan isyarat jari.
“Minjem kekayaan gue? Atau gini aja, gimana kalau gue aja yang ngelamar cewek lo buat gue sendiri?”
Senyum geli Alexander menghilang saat Samantha menyentil telinganya. Adiknya itu pun turun dari meja, merapikan kemejanya. Raut wajahnya tampak gusar.
“Awas aja kalau lo rebut cewek gue! Gue gentayangin lo sampai gue mati,” teriak Samantha, sambil berlalu keluar ruangan.
Tersisa Han yang sejak tadi menikmati tawa canda dua kakak beradik ini. Senyum Alexander yang sangat indah saat menjahili sang adik. Han melihat betapa Alexander ini sangat menyayangi si bungsu.
“Sok-sok’an mau kawin. Kerja aja belum beres. Kasian ntar bininya mau dikasih makan apa. Tumis rumput? Atau angin goreng?” ejek Alexander, lalu kembali ke kursi jabatannya.
“Iya, Mas.” Han bangkit dari duduknya, lalu mendekati meja pria itu dan meletakkan berkas yang sudah dia kerjakan. “Padahal perjalanan juga masih panjang. Tapi itu, sih, karena Sam nggak direstui sama calon mertuanya itu."
“Apa?” Alexander terkejut, tak jadi menggoreskan tanda tangan di kolom bawah. “Masih ada juga yang nolak dilamar sama keturunan Atmadja? Wah, keren!”
“Ndak gitu, Mas. Itu si Sam nggak bilang kalau dia anak tajir. Ke kampus juga style gembel doang. Makanya Sam bilang, dia selalu disinisin sama camernya kalau ngapel. Bawanya gudeg mulu sama bandrek.”
Alexander hanya manggut-manggut. Dia menyelesaikan tandatangan itu, lalu menumpuk berkas di atas meja.
“Ya udah, ntar kalau bokap gue nggak mau, biar gue aja yang bantu lamarin pacarnya. Mau minta mahar berapa? Ntar gue jabanin,” kata Alexander.
“Eh tapi kayaknya Mas Alex duluan, deh, yang bakal kawin.”
“Eh?” Alexander hampir jatuh dari kursi saat Han menggodanya dengan bias tawa. “Apaan, sih? Kenapa gue?”
“Hehe. Aku nggak sengaja dengar waktu bapakku ngobrol sama papanya Mas Alex. Rencananya weekend ini ada pertemuan keluarga. Calon istri Mas bakal dateng.”
Alexander hening.
“Pak Narendra tanya, Mas mau nikah tahun ini, nggak?”
Tak ada tanggapan dari Alexander. Han tertawa kecil, kembali duduk di depan meja kerjanya. Bisa diintipnya raut gugup kakaknya Samantha itu. Wajahnya merah, sangat kontras dengan kulit putihnya. Alexander jarang dekat dengan seorang gadis, berbeda sekali dengan Samantha yang terkenal di antara gadis kampus.
Alexander sang kutu buku, menghabiskan waktu dengan belajar hingga bisa mulai memegang kendali perusahaan. Samantha lebih menonjol di bidang psikomotorik. Dua putra Narendra yang berkharisma.
“Gimana, Mas? Minat?” goda Han lagi.
“Jaga sikapmu, Sekretaris Han,” tegur Alexander, dengan wajah masih pias dan mengarah pada berkas.
Han hanya tersenyum, lalu kembali membereskan pekerjaannya. “Baik, Pak Alex.”
Hari-hari terus berlalu. Samantha dengan gigih bekerja di perusahaan, lalu Alexander yang akhirnya bisa melonggarkan urat syarafnya karena mendapatkan kejutan manis di hari-hari membosankannya.
Tiba di weekend, Alexander sejak tadi gelisah. Dia menutup berkas dan merapikan pakaiannya. Ditatapnya Han yang berada di sudut. Han hanya tersenyum, menikmati betapa gugupnya sang atasan.
"Masih jam 10, Pak. Acaranya jam 4 sore. Masih lama," cetus pria berkacamata itu.
Pintu terbuka. Samantha muncul sambil membawa beberapa laporan yang baru saja dia fotocopy dari lantai bawah.
"Ini laporan yang ditulis tangan si Astuti, Lex," kata Samantha.
"Iya."
Samantha dan Han menatap selidik wajah takut Alexander. Mereka sudah mendengar bahwa sore ini, sang kakak akan bertemu calon istri yang dijodohkan untuknya. Alexander tak pernah berpacaran. Betapa gagahnya pun dia di balik meja dan posisi sang wakil direktur, dia jarang berhubungan spesial dengan seorang gadis.
"Udah, deh! Pulang aja. Ntar gue urusin sisanya," ujar Samantha sambil menarik Alexander dari kursi kerjanya, meminta untuk pulang.
Menjelang sore, keluarga Alexander menyambut kedatangan orang-orang yang akan menjadi bagian dari keluarga mereka. Han menatap sekeliling, menanti Samantha yang belum pulang untuk menemani rasa gugup sang kakak.
Tak lama, rombongan keluarga calon isteri Alexander itu datang dan mengejutkan Han.
"Itu, kan-"
Han tak menyangka bahwa di saat yang bersamaan, Samantha kembali dan melihat bias wajah gadis yang dijodohkan pada sang kakak.
"Rose?"
Hari yang mengejutkan. Samantha tak bisa berbuat apa pun, bersembunyi di kejauhan. Han hanya memperhatikan. Lama berbincang, Rose meminta izin untuk keluar dari rumah. Dia memilih halaman samping untuk meluapkan rasa gugupnya.
'Sam.'
Saat hendak berjalan di tikungan, Rose terkejut ketika tangannya ditarik oleh Samantha. Punggung melemas dan bersandar pada di dinding. Ini ciuman pertama sejak mereka menjalin kasih.
Tak tahu haruskah bertanya dulu, tapi Rose terlena dengan kecupan yang diberikan Samantha di bibirnya. Direngkuhnya lagi lebih dekat punggung Rose, memperdalam ciumannya.
"Sam?"
Rose hanya tertegun, menatap Samantha setelah kecupan mereka berakhir.
"Kenapa kamu-"
"Kamu putus sama aku, trus kamu berencana nikah sama kakakku?" geram Samantha.
Rose terkejut. Samantha pun menceritakan siapa dirinya sebenarnya. Gadis itu bungkam, hanya bisa menunduk. Rose hendak pergi, Samantha kembali memeluknya dari belakang.
"Katakan, Rose! Kenapa kamu mutusin aku?"
"Nggak ada pilihan lain, Sam. Papaku hampir bangkrut, lalu papamu menawarkan bantuan pada papaku dengan imbalan pernikahan ini."
Rose tahu Samantha juga tengah shock. Dia mengusap lengan Samantha, menciumnya sesaat ketika menengadahkan kepala.
"Kamu nggak bilang kalau kamu juga anaknya Pak Narendra. Sebaiknya aku bilang aja sama papa. Kan kamu juga pewaris Atmadja group. Pasti utang papaku juga bakal lunas."
"Jangan bicara apa pun sama Alex dulu! Biar aku yang ngomong," pinta Samantha.
Hanya senyuman. Samantha memegang janji Rose bahwa perjodohan mungkin akan dibatalkan jika sang ayah tau bahwa Samantha juga pewaris dari konglomerat itu.
*
Rosea bungkam. Dia terkejut karena menyadari dirinya kembali dalam lingkungan hidup Samantha, pria yang sebelumnya telah dia tinggalkan. Dia duduk di antara keluarganya, sesekali mencuri pandang pria berkulit putih bernama lengkap Alexander Narendra Atmadja tersebut. Calon suaminya. Acara pertemuan keluarga dilanjutkan setelah tadi Alex memasangkan cincin di jarinya sebagai awal hubungan.
“Baiklah. Selanjutnya, kita akan persiapkan akad akhir bulan ini,” ujar Narendra, kepala keluarga itu pada ayah dari Rose.
Lima belas menit berikutnya, pertemuan usai. Pak Narendra memberi kode pada putranya, Alexander untuk bicara sebentar di luar dengan calon istrinya itu di luar sana sebelum kembali ke Bandung.
“Tapi, Pa-”
“Beraniin diri kamu, lah! Culun kamu ini! Nggak malu sama Sam,” bisik sang ayah sambil mendorong bahu putranya itu.
Alexander pun mendekati Rose, mengurai senyum sambil menggaruk sisi tengkuknya. Canggung.
“Kita bisa bicara di luar sebentar, Nona Rose?”
“Boleh.”
Alexander dan Rose, sepasang insan yang dipertemukan dalam perjodohan sebab utang dan bisnis. Mereka duduk sedikit berjarak di bangku taman. Samantha dan Han melihat dari jauh. Jelas sekali bias canggung di wajah Alexander, sementara Rose hanya menunduk. Sesekali dia menoleh, memaksa tersenyum.
“Kuliah kamu udah selesai?” tanya Alexander.
“Udah, Mas. Minggu depan udah bisa sidang.”
“Oh ya? Adik aku juga minggu depan sidang. Eh, tadi papa kamu bilang, kalian tinggal di Bandung. Di mananya? Adikku juga tinggal di sana. Kuliah juga.”
Rose melihat betapa antusiasnya pria bernama Alexander ini mengajaknya bicara. Setelah melihat raut dingin Rose, Alexander kembali mengalihkan wajah. Merasa tak enak hati dan canggung.
“Maaf,” katanya, singkat.
“Iya, aku tinggal di Bandung.”
Bias senyum terukir lagi di bibir Alexander saat Rose menyambut pertanyaannya. Dia yang mulai berdebar-debar, jatuh cinta pada paras campuran gadis ini. Sangat cantik dan ayu. Tutur bahasanya yang sopan, sesekali menunduk untuk menghindari kontak mata.
“Aku kuliah di Universitas Trijaya Bandung.”
“Eh? Adikku juga kuliah di sana. Kamu jurusan apa?”
“Bahasa Inggris.”
“Oh, dia anak manajemen. Kalau sidangnya sama, berarti kalian seangkatan. Dari tadi dia nggak keliatan, sih. Tadi masih di kantor.”
Di sana, Han menepuk bahu Samantha untuk menenangkan. Jelas ada kecemburuan di bias wajah Samantha, tapi tak beranjak. Hanya buku jarinya saja yang digenggam erat.
“Gue nggak pernah liat Alex sesenang ini, Han,” kata Samantha.
“Ya. Mas Alex kayaknya beneran suka sama Rose. Ini jadi gimana?”
Samantha membalikkan badan, tak ingin terus menikmati wajah tersenyum Alexander di tengah rasa sakit yang menderanya.
“Biar Rose dulu yang bicara sama papanya. Mungkin semuanya bisa dihentikan sejak awal. Soal Alex, nanti biar gue yang tangani,” ungkap Samantha.
“Sam!”
Alexander memanggil seraya melambaikan tangan saat menemukan keduanya berdiri dari kejauhan. Han mencolek bahu Samantha, menanti apa yang harus mereka lakukan.
“Kita samperin aja dulu, Sam. Kalau mau jujur, mah, besok aja. Jangan hari ini! Kasian, dia lagi seneng gitu.”
Samantha dan Han mendekati mereka. Rose bungkam. Dua pria yang ada di hadapannya ini adalah masa depannya. Salah satu dari mereka. Mencintai Samantha, tapi keluarganya mengatur perjodohan dengan Alexander.
“Rose, ini adikku yang tadi kuceritain. Namanya Samantha Narendra Atmadja,” ulas Alexander, memperkenalkan satu-satunya adik yang dia miliki.
Samantha dan Rose masih saling tatap. Rose menyerah. Alexander bersikap sangat sopan dan terlalu baik sejak tadi. Dia tak ingin perasaannya semakin besar jika menambah kenangan lagi di hari-hari berikutnya.
“Lex, sebenarnya kami-”
“Gue Samantha. Panggil gue Sam,” kata Samantha, mengulurkan tangan pada Rose.
Pria itu memberi kode agar Rose tak buka mulut untuk saat ini, menuruti salam perkenalan agar Alexander tak curiga. Dia hanya mengikuti perintah Samantha untuk bungkam sejauh ini.
“Rosea Carmila.”
Sejak pertemuan itu, Rosea dan Samantha tetap menjalani komunikasi. Rose telah berjanji pada Samantha untuk menceritakan semuanya pada sang ayah.
Minggu berikutnya, Samantha datang ke Bandung untuk menghadiri sidang skripsinya. Rosea menunggu mantan kekasihnya itu menyelesaikan jadwal sidangnya yang hanya berjarak satu jam darinya. Setengah jam kemudian, Samantha keluar dari ruangan itu dengan wajah sumringah. Dia berlari ke arah Rose, lalu tersenyum dan memeluknya erat.
“Gimana?” tanya Rose.
“Lumayan, lah. Yang penting lulus aja. Ah, lega.”
Beberapa detik dilalui dengan saling memeluk. Rose tersenyum tipis. Dia sangat mencintai pria ini. Aroma parfumnya yang begitu maskulin, juga pelukan hangatnya. Rose semakin merapatkan pelukannya, sesekali dirasanya bahwa Samantha mencium puncak kepalanya beberapa kali.
“Kita pergi sekarang, Sam?”
“Iya. Ayo!”
Keduanya berjalan santai, beriringan saling menggenggam jemari. Hanya tersisa tiga minggu lagi dari hari akad. Itu adalah waktu yang diberikan Tuhan untuk mereka berusaha. Apakah takdir mereka bisa lebih baik, atau harus pasrah dengan perpisahan.
“Aku sendiri atau kamu ikut aku, Sam?” tanya Rosea.
“Kayaknya kamu ngobrol berdua dulu sama papa kamu. Aku tunggu di luar aja. Pasti nanti papa kamu jadi bingung. Takutnya papa kamu mikir apa pun keputusan yang dia ambil malah bikin papaku ngamuk. Biar gimana pun, aku juga bagian dari Keluarga Atmadja.”
“Iya. Semoga berjalan lancar.”
Samantha menghentikan bajaj yang melintas di depan gedung kampus, lalu kendaraan roda tiga itu melaju di antara ruas jalan raya.
Tak berapa lama, bajaj itu berhenti tepat di depan rumah Rosea. Keduanya turun. Sedikit ragu, Samantha lebih mendekat, menyentuh pipi Rosea hanya untuk menjejakkan kecupan di dahinya.
“Semangat, ya! Aku tunggu kamu di sini. Setelah beres, aku akan temui Alex dan kita bisa menikah setelah itu,” ulas Samantha meyakinkan.
Samantha menunggu Rosea di luar, sesekali suara terdengar dengan nada samar ketika Rose bicara dengan sang ayah di ruang tengah. Karena begitu penasaran, Samantha pun masuk ke ruang tamu untuk menguping pembicaraan itu.
“Jadi-”
“Iya, Pa. Sam itu juga anaknya Pak Narendra. Papa bilang perjodohan ini karena utang perusahaan Papa ke Pak Narendra, kan? Jadi siapa pun anaknya yang aku nikahi, harusnya nggak jadi masalah, kan?” pinta Rose, penuh harap.
Gadis cantik itu mendekati sang ayah. Bersandar di bahunya, lalu tangan itu digenggamnya erat. “Kalau aku nikah sama Sam, semuanya akan baik-baik aja. Utang Papa bisa lunas, aku juga bisa bahagia karena nikah sama orang yang kucintai.”