Bab 14. Kemarahan

1949 Kata
Tanpa suara, Han hanya bisa menunduk dan berujar syukur karena diizinkan bertemu kembali dengan Samantha setelah berpisah empat tahun lamanya. “Sam, lo sehat, kan? Lo baik-baik aja, kan? Kapan lo pulang? Biar gue jemput ke bandara,” cecar Han, tak sabaran. Terdengar tawa kecil di seberang panggilan. Desir halus menyapa hati Han. Apakah Samantha memang sudah melupakan luka masa lalu itu? Selama ini Han mengkhawatirkan bagaimana sikap Samantha jika kembali dan harus menghadapi rumah tangga Alexander dan Rose yang bahagia. Apalagi, kehadiran si kecil Ruby sebagai saksi cinta mereka. “Gue kangen elo, Han. Alhamdulillah gue masih dikasih umur buat nyambung sahabatan lagi sama lo.” “Sam, lo dengar semua kabar di sini? Tentang Alex dan-” “Ya, gue dengar. Gue tau semua yang terjadi di sana. Cuma kalian yang nggak tau apa yang terjadi sama gue di sini. Gue akan berusaha baik-baik aja, Han. Gue akan terima dia sebagai kakak ipar gue dan juga putranya.” “Jadi kapan lo akan pulang?” Han mengalihkan risau hati Samantha, menanyakan lagi jadwal kepulangan putra bungsu Narendra ini. “Mungkin akhir bulan ini. Dan juga, jangan kabari siapa pun sebelum gue telepon lo untuk jemput gue ke bandara. Nggak ada yang tau apa yang terjadi nanti, kan? Siapa tau gue berubah pikiran.” Hari itu menjadi hari bahagia bagi Han karena mendengar kabar baik dari Samantha. Belum diizinkan bicara pada yang lain, Han akan bersabar menunggu akhir bulan ini yang hanya tinggal dua minggu lagi. * Alexander begitu ingin menambah momongan. Melihat Ruby yang tumbuh lincah dan ceria, ingin rasanya dia memberikan adik kecil untuk teman bermain putranya itu. Siang itu, dia sengaja meluangkan waktu untuk mengajak Rose ke rumah sakit sekadar konsultasi program kehamilan berikutnya. Pasalnya, setahun ini ternyata Rose tak menggunakan a**************i apa pun, tetapi tak ada tanda-tanda kehamilan. "Jadi bagaimana, Dok? Apa seperti itu sangat wajar? Maksudnya, Rose segera mengandung Ruby setelah kami berhubungan. Tapi ini kenapa setahun terakhir, malah susah dapatnya, ya, Dok?" tanya Alexander, penasaran. Sejak tadi Rose hanya tersenyum memperhatikan antusiasme sang suami. Disentuhnya punggung Alexander, lalu mengangguk segan pada dokter ginekologi itu. "Ya memang dari riwayat sebelumnya, tak ada masalah dari Ibu Rose ataupun Bapak. Kalian berdua sehat. Tapi itu sudah berjarak empat tahun yang lalu. Dan setahun terakhir, Ibu Rose tidak melakukan pencegahan kehamilan lagi. Jadi-" "Jadi apa, Dok?" sela Rose, memotong pembicaraan dokter berkacamata itu. "Kita lakukan pemeriksaan keseluruhan lagi jika memang ingin program kehamilan berikutnya. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha, tetap Allah yang menentukan." Demi mendapatkan momongan, sepasang suami istri itu pun melakukan pemeriksaan lanjutan terkait kesehatan alat dan sistem reproduksi mereka. Semua demi mendapatkan adik untuk si kecil Ruby. * Rumah terlihat sunyi. Ini sudah dua hari berlalu sejak pembicaraannya terakhir kali dengan Samantha. Sedikit ragu, Han mendekati Narendra di ruang tengah. Tak ada Alexander atau Rose di sekitar. Biasanya weekend ini, pria itu selalu mengajak keluarga kecilnya berlibur. Hal itu dimanfaatkan Han untuk mengutarakan perihal Samantha. "Pak Narendra. Ada yang ingin saya sampaikan soal Sam." Narendra belum menyahut, tetapi matanya berisyarat penuh bahwa dia siap mendengarkan informasi yang disampaikan pria muda ini saat duduk di hadapannya. "Sam nelepon saya sekitar dua hari yang lalu. Dia bilang akan pulang akhir bulan ini," lanjut Han. Narendra hening sesaat, lalu mengambil teh hangat itu dan menyeruputnya. "Menurut kamu, apa dia serius dengan Akira? Apa dia memang sudah melupakan Rose? Bagaimana jika dia pulang dan rumah tangga Alexander menjadi taruhannya?" Suara dingin itu membungkam Han. Sungguh dia tak percaya hal itulah yang menjadi kecemasan utamanya. "Apa itu pantas dikatakan seorang ayah saat tidak bertemu putranya selama bertahun-tahun?" tukas Han. Narendra tak menepis tukas dingin Han. Dia menyandarkan punggungnya di sofa, membuang pandangannya lepas ke layar televisi. "Seenggaknya pikirkan bagaimana kesehatannya. 'Apa dia baik-baik aja? Bagaimana dia bisa bertahan jauh di sana tanpa aku'? Bukannya itu yang harusnya Pak Narendra katakan?!" Han memencak marah. Sepertinya dia bicara ada orang yang salah. Seperti tak ada sedikit pun cinta di mata pria ini untuk si bungsu Samantha. "Aku hanya tidak mau ada masalah di rumah ini, Han. Bukannya aku membenci Sam, tapi perginya Sam membuat Alexander bahagia. Alexander sangat menyayangi Sam, tapi dia juga posesif terhadap miliknya. Bagaimana jika Samantha pulang dan Alexander cemburu dengan perasaan Sam dan Rose?" Han tertegun. Dia pun melunakkan hati dan menatap sendu pria tua ini. "Aku berharap banyak dari Samantha untuk dia mengalah. Samantha pasti akan mengerti. Mungkin Alexander bisa berkorban segalanya, tapi saya ragu dia akan melepaskan rumah tangganya. Aku masih berpikir kalau Rose masih mencintai Samantha." Ya, hati Rose masih dilemma. Akankah rumah tangga yang baru dibangun itu bisa bertahan saat Rose menghadapi cinta lamanya yang hilang? * “Mas pulangnya kapan? Weekend itu ulang tahun Ruby,” keluh Rose sambil memperbaiki dasi di kerah kemeja Alexander. Alexander tersenyum, meletakkan kacamata ke puncak hidungnya sambil merenggangkan lengannya saat Rose memakaikan jas dari balik punggung. Enggan berpisah, Rose memeluk suaminya itu dari belakang. “Jadi, berapa hari?” tanya Rose. “Dua hari, sih. Nanti Mas usahain pulang cepat, ya.” Hanya kecup mesra yang diberikan sebelum suaminya itu berangkat ke kantor. Sejak tadi dia mendengar putranya itu mengoceh kecil di lantai bawah dan sedang bermain dengan kakeknya. Dia sangat senang pergi ke playgroup karena menemukan banyak teman. Rose lebih dulu membersihkan diri, lalu keluar dari toilet untuk mencari dress cantik hijau botol. Saat dia meraih sesuatu dari dalam laci ketika dia berhias di depan cermin, tangannya terhenti saat tak sengaja merogoh sesuatu dari dalam sana. Gelang kayu pemberian Samantha. “Sam.” Rose mencium gelang itu, menyalurkan hasrat rindu. Tak peduli bagaimana kerasnya dia mencintai Alexander, Samantha tak serta merta hilang dari hatinya. Masih ada ruang rindu yang terselip di sana. ‘Pulanglah, Sam! Aku mau lihat seberapa bahagianya kamu sekarang. Aku mau liat mata itu. Kalau aku masih temukan rasa sakit dan cinta di sana, berarti masih ada kisah kita yang belum selesai. Kamu bertanggung jawab memberi penjelasan padaku.’ Kembali Rose mengurai senyum. Inilah yang dilakukan Rose selama lima tahun terakhir. Bukannya tak bahagia di sisi Alexander, atau tak bersyukur memiliki keluarga kecil ini, tapi senyum itu memiliki kepalsuan karena untuk bahagia, mereka mencederai janji suci mereka yang lalu. Rose yang memulai cinta dengan Alexander tanpa memastikan perasaan Samantha, dan Samantha yang membuang kisah mereka dengan nada congkak, tapi tersirat kesedihan di binar matanya. Rose pun turun ke lantai satu untuk mendekati Ruby yang sudah duduk sarapan di bawah dengan kakeknya. Suaminya sudah pergi terburu-buru karena harus rapat penting sebelum keberangkatannya ke Bandung. Hari-hari sebagai seorang ibu pun mulai dinikmatinya. * Rose tersenyum membaca SMS masuk di layar ponsel-nya. Dari suami tercinta. Dia masih menikmati waktu menemani Ruby bermain di taman saat jam istirahat. Si kecil itu sejak tadi sibuk berlarian dengan teman-temannya yang lain di arena playgroup. [Baru sehari nggak pulang, aku kangen. Pengen peluk. Kalau siang ini selesai meeting-nya, aku langsung balik.] Wanita itu duduk di bangku panjang di bawah pohon beringin. Sesekali matanya awas melihat Ruby bermain dengan teman-temannya. Dibalasnya lagi pesan itu. [Ya, Mas. Sehat-sehat ya!] Baru saja menyimpan ponsel di tas, suara dering terdengar dari lagi. Rose pun menekan tombol itu, mengangkat panggilan dari nomor telepon rumahnya yang muncul di layar kecil berwarna kuning itu. "Assalamualaikum!" sambut Rose. "Waalaikumsalam, Mbak. Mbak Rose bisa pulang sekarang? Tadi Bapak jatuh di kamar mandi. Trus rada demam dan tiduran aja di kamar. Jadi ini niatnya mau langsung dibawa ke rumah sakit." Rose terkejut mendengar kabar tentang ayah kandungnya. Ibunya sudah meninggal dan dia putri satu-satunya. Setelah menikah, ayahnya hanya tinggal sendiri di rumah sebesar itu tanpa ada yang menemani. Rose pun sangat khawatir. Dia menyimpan ponsel dan berlari segera meninggalkan playgroup. Bukannya meminta izin membawa pulang Ruby lebih cepat, Rose terlihat kalut karena takut memikirkan keadaan sang ayah. Dia segera menghentikan bajaj yang kebetulan lewat, menaiki agar bisa membawanya sampai ke rumah sakit. Sudah sepuluh menit, baru dia teringat akan putranya. "Astaghfirullah!" Lantas, Rose pun menghubungi orang rumah. Panggilan diangkat oleh salah seorang pelayan di sana. Rose pun mengutarakan masalah yang menimpanya kali ini terkait sang ayah. "Tolong jemput Ruby ya, Minah. Ini saya mau langsung ke rumah sakit. Takutnya kalau bawa Ruby ke sana, nanti kena virus atau apa. Tau, kan, Ruby sensitif banget, gampang sakit," papar Rose, meyakinkan sang pelayan rumah yang sering membantunya mengurusi Ruby. "Baik, Nyonya." Rose hanya menunduk, sesekali melantunkan doa agar tak terjadi hal buruk pada ayahnya. * Project penting di Bandung itu cepat terselesaikan. Tak sabar rasanya Alexander ingin pulang dan memberi kejutan pada istri dan putranya itu. Sudah menenteng banyak bungkusan dan oleh-oleh, Alexander akhirnya tiba di rumah. "Sayang! Ruby!" Tak ada sahutan karena memang keduanya belum sampai di rumah. Alexander memeriksa seisi rumah, tak ada tanda-tanda keberadaan mereka. "Loh, Lex?" Narendra keluar dari kamar dan terkejut melihat putranya ini sudah pulang. "Rose sama Ruby mana, Pa?" "Belum pulang. Nggak tau, kenapa hari ini lama banget." Tak lama, terdengar nada telepon di meja samping sofa. Alexander mengangkatnya. Suara seorang wanita menyahut dari sana. "Assalamualaikum, bisa bicara dengan orangtua Ruby?" sahut dari sana. Alexander yakin itu adalah suara guru kelas Ruby. "Ya, saya sendiri. Ada apa? Saya ayahnya." "Sepertinya mbak tadi sangat panik dan langsung membawa Ruby ke rumah sakit. Dia ngakunya bernama Minah, apa benar dia pelayan di rumah Bapak?" Alexander terkejut saat mendengar sesuatu yang buruk terjadi pada Ruby, putra tersayangnya. "A-apa tadi maksud ucapan Ibu tentang Ruby? Maksudnya apa?!" Suara meninggi Alexander mengejutkan Narendra. Pasti terjadi sesuatu yang buruk pada cucu tunggal di rumah itu. "Tadi Ruby pingsan dan jatuh dari ayunan. Kami sudah membawanya ke rumah sakit Mutiara dan di sana, perempuan itu menunggui putra Anda." Alexander shock, melepaskan gagang telepon untuk bisa berlari cepat menuju rumah sakit terdekat dari playgroup. Hanya lima menit ditempuh dengan berkendara. Sesampainya di sana, Alexander berlarian mencari keberadaan Minah. Tibalah dia di depan ruang IGD di mana Minah menunggu di sana. Tak ada Rose di sekitarnya. "Astaghfirullah. Saya sampai lupa nelepon rumah," lirih Minah saat Alexander mendekati. "Minah, ada apa ini? Kenapa dengan Ruby?" cecar Alexander, khawatir. "Kurang tau juga, Pak. Tadi katanya pas main, tiba-tiba Ruby limbung dan jatuh dari ayunan. Tadi sampai berdarah-" Alexander gemetar melihat baju bagian bawah Minah dinodai darah. Lalu akhirnya dia tersadar dan menanyai keberadaan Rose yang seharusnya menjaga Ruby di rumah sakit. "Ini istri saya ke mana?" kesal Alexander, memencak. "Tadi ibu nelepon saya karena bapaknya jatuh di kamar mandi dan juga dilarikan ke rumah sakit. Tapi pas saya sampai sinis, saya kaget melihat para guru khawatir karena kecelakaan yang menimpa Ruby." Mereka menanti dengan harap-harap cemas. Alexander menggeram karena nomor telepon Rose tak bisa dia hubungi. "Apa-apaan dia?!" geramnya. Tak lama, dokter itu keluar untuk menyampaikan kabar terbaru perihal keadaan Ruby. Wajah dokter itu tampak khawatir. "Bagaimana keadaan putra saya, Dok?!" cemas Alexander. "Sepertinya ada masalah serius. Tapi saat ini, saya harus menghubungi bank darah dulu untuk mendapatkan darah tambahan untuk menyelamatkan putra Anda, Pak." Alexander memegang tangan beliau, lalu berkata, "Anda AB- juga? Baguslah! Lebih baik memang dari keluarga terdekat." Alexander terkejut, menahan punggungnya pada dinding. Saat putranya itu dibutuhkan, mengapa dia tak bisa menolongnya. "Saya dan istri saya, berbeda golongan darahnya, Dok. Saya A+ dan istri saya B negatif, Dok." Dokter itu tak menyahut lagi. Beliau pergi saja untuk mencari kantongan darah yang mungkin bisa didapatkan agar bisa menyelamatkan si kecil itu. Mata Alexander membiaskan marah dan kecewa karena tak ada kabar dari istrinya. Rahangnya menggelutuk, lalu jemarinya merapat pada ujung lutut. "Kenapa kamu nggak bertanggung jawab begini, Rose!" Minah tak banyak menyahut melihat kemarahan pria itu. Dia yang bangkit, lalu mengintip pada kaca sempit agar bisa menanti sang putra bisa kembali tersenyum seperti sebelumnya. 'Andai aja ada Om Samantha di sini, kamu pasti akan cepat mendapatkan donor, Ruby. Tolong bertahanlah, Nak!'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN