Setengah jam lalu, Han menghentikan mobilnya tepat di pelataran bandara. Tak sabar rasanya menemui Samantha, sahabatnya yang pergi jauh selama lima tahun lamanya.
Mengedarkan mata sendunya di sekeliling lounge, langkah Han terhenti saat mendapati seorang pria yang setengah jongkok di dekat vas. Senyum yang sama dan masih Han ingat. Hanya kulitnya saja jauh lebih pucat dibanding dulu yang gelap karena sering berjemur di bawah terik matahari. Rambut legamnya yang dulu kini dipangkas tipis seperti abdi negara. Sangat rapi.
"Sam."
Sahabatnya itu asik mengusap kepala kucing kecil di lantai setelah memberikan camilan kecil di tangannya.
"Sam!"
Teriakan Han itu akhirnya disadari Samantha. Garis bibirnya tertarik ke atas, lalu beranjak dan melambaikan tangannya ke arah Han.
Samantha tertawa saat Han menabrak badannya hanya untuk memeluk. Han hanya sangat merindukannya saja. Tak mau bicara apa pun.
"Aih, it's too much, Han! Gue bukan bini Lo. Main peluk segala!" oceh Samantha.
Tak ada suara. Samantha tahu Han hanya ingin mengurai kerinduannya saja. Diusapnya bahu lebar Han, menenangkannya.
"Gue kembali, Han. Maaf. Gue baru bisa balik sekarang," bisiknya.
Han melepaskan pelukannya. Matanya sedikit memipih saat menjepit leher Samantha tepat di sela ketiaknya.
"Asem, Setan!" keluh Samantha.
"Kurang aja Lo, ya! Main kabur gitu aja. Nggak balik-balik lima tahun. Kenapa Lo selalu aja seenaknya?!" geram Han.
Lima tahun berlalu, Han begitu penasaran dengan keadaan hati Samantha. Dia membantu menderek koper Samantha untuk dia bawa ke dalam mobil. Perjalanan sedikit lambat untuk mengisi waktu dengan bercerita. Entah dari mana Han harus menyinggung kisah lama Samantha dan Rose.
"Lo bakal tinggal di rumah? Nggak apa-apa ada Rose?"
Hening sesaat. Samantha membuang pandangannya ke luar jendela mobil, lalu kembali menatap Han.
"Gue usahain baik-baik aja, Han. Tapi pasti bokap gue khawatir, kan, gue bakal ngerusak rumah tangga mereka?" tanya Samantha, lirih.
Han mengangguk singkat.
"Tapi gue harus balik ke rumah itu. Gue mau ngabisin hidup kedua gue ini dengan orang-orang yang gue sayang. Dan juga, gue harus tunjukin ke bokap gue kalau gue bukan terlahir sebagai sampah. Gue bisa banggain dia juga."
Han tak ingin menebak-nebak bagaimana canggungnya Samantha bertemu dengan Rose nanti. Biarlah keduanya yang menata hati.
Tak lama, mobil itu terparkir di halaman rumah. Keduanya turun dan Samantha sudah tak sabar untuk bertegur sapa dengan Alexander, sang kakak.
"Harusnya kamu bawa pulang Ruby kalau memang kondisi papa kamu itu urgent! Ninggalin seenaknya! Nggak becus kamu jadi ibu! Kalau tadi Ruby nggak selamat, apa yang bisa kamu lakukan lagi, Rose?!"
Langkah keduanya terhenti tepat di dekat pintu saat mendengar pekik kasar Alexander. Kemarahan pria itu pada Rose membuat Samantha terkejut. Bukankah pernikahan mereka selama ini bahagia?
"Maaf, Mas. Aku nggak sengaja."
"Maaf?! Setelah semua ini kamu minta maaf?! Putraku kecelakaan separah itu dan kamu sebagai ibu, cuma bisa bilang maaf?!"
Suara lirih Rose tak bisa lagi ditahan oleh Samantha. Han melihat mata dingin Samantha, lalu sahabatnya itu masuk karena takut pertengkaran itu menyakiti Rose.
Tepat saat Rose hampir tersungkur ke lantai, Samantha menahan punggungnya dari belakang. Alexander pun terkejut karena pulangnya Samantha setelah lima tahun ini sangat dadakan dan tanpa kabar.
"Sam."
Sementara itu, jantung Rose terus berdegup cepat. Rasa sakit karena kemarahan Alexander, ditambah dengan aroma tubuh Samantha yang sangat dia rindukan, ingin rasanya dia berhambur dalam pelukan Samantha.
"Lo baik-baik aja?"
Jantung Rose masih terus berdebar hanya mendengar suara dan menatap matanya. Han tak ingin mencampuri, hanya menatap drama ini di kejauhan sambil menarik koper Samantha masuk ke kamar.
Alexander mulai takut cinta lama keduanya bersemi. Dia pun menarik tangan Rose agar istrinya itu lebih dekat dengannya.
"Sam? Kenapa pulang nggak ngabarin?" tanya Alexander, gugup.
Sejak tadi dia memegang bahu Rose untuk merapatkan pelukannya. Samantha hanya tersenyum tipis, lalu berkata, "Padahal tiap malem juga kalian udah pelukan tidurnya, apa nggak bisa sekarang Lo peluk gue setelah lima tahun nggak ketemu, Lex?"
Alexander tersadar dari arogansinya. Dia pun melepas Rose dan mendekati Samantha untuk memeluk adik kesayangannya itu. Dia hanya diliputi perasaan was-was tentang cinta masa lalu sang istri.
"Gue kangen, Sam. Lo sehat, kan?" bisik Alexander.
Tak ada jawaban. Dia mempererat pelukannya untuk menumpahkan kerinduannya.
"Gue pikir gue nggak akan bisa ketemu Lo lagi, Lex. Syukurlah Lo sehat-sehat aja."
Lebih dari lima menit, Rose menatap Samantha yang bicara dan bercanda dengan Alexander. Dia mengurai sedikit hidupnya di sana. Perasaan kecewa mengurung hati Rose saat tak sedetik pun, Samantha menatap matanya.
Rose terbelenggu kekecewaan. Dia meninggalkan mereka dan naik ke lantai dua. Dari balik punggung Alexander, Samantha mengangkat pandangannya. Menikmati detik waktu untuk menatap sang kekasih hati.
Usai bicara, Samantha masuk ke kamarnya yang telah lama dia tinggalkan. Han membereskan sedikit sisa barang-barang yang tak terpakai, menyediakan tempat untuk Samantha beristirahat.
"Bokap Hitler gue, mana?" tanya Samantha sambil melemparkan punggungnya di kasur.
"Di rumah sakit. Ruby tadi pagi jatuh di sekolah. Itu Alex pasti marah sama Rose karena Rose lalai jaga Ruby."
Samantha belum menyahut, lantas duduk dan mulai membuka kopernya di atas kasur. Han ingin terus menyelidiki perasaan Samantha pada Rose.
"Kasihan gue liat Rose. Itu sebenarnya papanya juga masuk rumah sakit, stroke. Makanya dia sampe lupa sama Ruby. Jangankan Ruby, itu gue liat mukanya udah pucet banget, pasti kecapean."
Samantha berhenti mengeluarkan bajunya, terlihat tak nyaman saat Han terus menyinggung Rose.
"Harusnya Alex-"
"Please, Han!"
Han terdiam saat Samantha menegurnya. "Fine! Apa yang mau Lo dengar, hah?! Iya, gue masih cinta dan sayang sama Rose."
Han masih bungkam. Tak perlu berkata, Han bisa melihat pancaran sinar mata Samantha saat tadi menyelamatkan Rose.
"Tapi gue balik ke sini bukan untuk dapetin dia lagi, Han. Gue ke sini untuk nepatin janji gue untuk bisa banggain orangtua gue. Please, gue juga nggak bisa ngeliat Rose sesedih itu."
Samantha menunduk, mengeratkan jemari pada sesuatu di balik tumpukan baju itu. Sebuah agenda cokelat yang masih bersamanya sampai sekarang. Saksi dari perasaan lampau Samantha, lima tahun lalu.
*
Han mengantarkan Samantha pergi ke rumah sakit untuk menjenguk keponakannya itu. Pun sekaligus bertegur sapa dengan Narendra, sang ayah.
Han mempersilakan Samantha untuk masuk, sementara dirinya menatap dari luar saja. Sahabatnya terhenti di setelah masuk, menatap ayahnya yang masih duduk di sofa sambil membaca koran. Derap langkah kaki terdengar masuk, menaikkan pandangan Narendra. Dia terkejut saat mendapati putranya yang lama pergi.
"Sam?!"
Samantha tersenyum. Dia menekuk kakinya, berlutut di lantai agar bisa memegang tangan sang ayah dengan hormat.
"Aku nggak tau apa Papa pernah menginginkanku, tapi aku kembali cuma untuk buktikan kalau aku juga putra hebat ayah. Sam kesayangan mama yang juga bisa bahagiain Papa."
Samantha menunduk, menggenggam erat jemari sang ayah sambil membiaskan senyum.
"Ya."
Tak peduli dengan sambutan dingin Narendra, Samantha bangkit untuk mendekati kasur. Terbaring si kecil Ruby, bocah empat tahun yang sedang istirahat tenang. Walau kondisinya stabil, tetap saja mereka kasihan melihat tubuh sekecil itu sudah mengenal peralatan medis.
"Namanya Ruby, Pa?" tanya Samantha.
Narendra mendekati Samantha. Memperhatikan senyum sang putra, lalu kembali menatap Ruby. "Ya."
"Namanya bagus. Nama batu mulia. Ntar kalau aku punya anak, aku pakai nama gitu juga, deh. Cantik. Mungkin Emerald atau Morganite. Kalau dapat cowok, sih."
Anak dan ayah ini tak terlalu banyak bicara. Samantha yang terlalu easy going dan santai, dan Narendra yang selalu serius dan kaku, membuat keduanya selalu sulit menemukan bahan obrolan.
"Jadi kapan aku bisa mulai kerja di perusahaan, Pa?"
Narendra memandang binar optimis putranya itu. Dia tersenyum, mungkin merasa bangga karena berhasil membakar semangat putranya untuk terjun di bidang yang sama dengan Alexander.
"Lusa juga bisa. Terserah kamu."
Narendra hanya ingin mengetahui, sejauh mana hasil belajar putranya itu di negeri sakura selama 5 tahun terakhir.
*
Hubungan Rose dan Alexander masih terasa dingin. Bukan hanya karena kecelakaan Ruby, tapi Alexander yang mulai paranoid dengan cinta lama Rose pada Samantha.
"Mas mau ke mana?" tanya Rose saat malam itu, Alexander mengambil jaket tebalnya karena ingin pergi.
Saat ini pikirannya kalut. Dia ingin menginap saja di rumah sakit untuk menjaga putranya.
"Kamu masih tanya lagi?" sinis Alexander. "Aku bukan seperti kamu, yang bisa enak-enak tidur sementara putraku menderita di sana."
Rose berbaring sejak sore tadi karena merasa pusing dan sakit karena lelah seharian. Pun ditambah sekarang dirinya stres dengan kemarahan Alexander dan kembalinya Samantha yang tiba-tiba.
"Mas, tunggu!"
Rose mengikuti Alexander keluar dengan langkah tertatih, tak ingin masalah semakin berlarut-larut.
"Tidur sana! Besok kita bicara!"
Rose hanya tertegun, membiarkan Alexander pergi dengan kemarahan. Ingin rasanya dia protes akan sikap egois Alexander. Pria itu merasa dialah yang paling menyayangi Ruby. Rose adalah seorang ibu. Dia yang menjaga dan mengasihi putranya selama dua puluh empat jam. Bagaimana mungkin dia tak khawatir dan terluka melihat kondisi putranya itu?
"Maaf."
Ujar tipis itu mengundang binar lirih Samantha. Dia berdiri di depan pintu kamarnya karena sempat mendengar pertengkaran keduanya. Saat bertatapan mata, desir rindu menguasai batin keduanya. Ingin rasanya Samantha berlari untuk memeluk kekasihnya. Rose juga ingin menyampaikan betapa sakitnya dia saat ini. Akan tetapi, dia masih marah perihal keputusan Samantha yang dulu meninggalkannya.
Rose menghindari Samantha, berjalan ke dapur untuk membuat teh jahe karena badannya terasa tak enak. Mungkin si bibi sudah tidur di jam sebelas malam ini.
Sejak tadi Rose menahan tangis. Lima menit berlalu saat air jahe dalam panci itu mendidih, Rose tak sengaja menjatuhkannya hingga kakinya terkena siraman air panas.
Meski perih, dia menangis tanpa suara. Segera menjauh dengan kaki yang diseret.
Sama seperti Rose yang bungkam, Samantha juga menelan kekhawatiran dalam bisu. Rose terkejut saat Samantha berada di belakang dan menggendongnya. Meski hanya berjarak lima inchi dari wajah Samantha, Rose tak bisa menatap langsung mata yang mengabaikannya itu. Hanya menggantungkan lengan di bahu Samantha.
Didudukkannya Rose di atas meja counter, lalu menarik slang air yang terhubung dengan kran wastafel. Dia menyiram kaki Rose untuk menetralkan suhu kulit itu. Sesekali dia mendengar desis kesakitan Rose, tapi dia enggan mengangkat wajahnya.
"Sebentar!"
Usai mendinginkan kulit itu, Samantha masuk ke kamar untuk mengambil perban dan membuatnya lembab untuk menutupi merah pada kulit itu. Detik berlalu, tak ada kata lagi yang menghubungkan mereka.
"Besok kalau luka melepuhnya ternyata parah, kamu bisa pergi ke dokter."
Tak ada sahutan dari Rose. Akhirnya Samantha berani mengangkat wajahnya saat mendengar isak tangis wanita itu. Rose yang menunduk, tak bisa menanggung beban hati akan kejadian beruntun seharian ini. Tak bisa mengadu pada siapa pun. Terasa buntu.
Wanita itu mengangkat wajahnya saat Samantha memegang pipinya. Pria itu terkejut karena menyadari istri Alexander ini tengah sakit.
Samantha berurai senyum sesaat, lalu bertanya, "Apa kamu bahagia, Rose?"
Samantha hanya memandang binar berair Rose ketika tamparan itu mendarat di pipinya. Setelah itu, tangis Rose akhirnya meledak. Dia yang terus memukuli bahu Samantha dengan nada marah, ataukah hanya melampiaskan beban hatinya yang selama ini tak bisa dia bagikan pada siapa pun.
"Rose."
"Setelah semua ini, apa hak Lo bertanya, Sam?! Ini hidup gue yang udah Lo ciptakan, harusnya lo tau gue bahagia atau enggak!"
Alexander bukanlah suami yang buruk, tapi pria itu hanya tak bisa menjadi sahabat bagi istrinya. Benar-benar seorang suami hingga Rose bisa membuka keluh kesah dan hanya bisa menyembunyikan.
"Harusnya lo nggak pernah balik lagi, Sam. Semua udah sejauh ini. Kenapa Lo harus balik lagi?!"
Pekik amarah Rose menyatu dengan air matanya yang luruh. Samantha menyerah untuk cinta yang dia sembunyikan. Direngkuhnya punggung itu, bersamaan dengan dikecupnya mesra bibir hangat Rose yang sejak tadi menangis.
Rose tertegun. Perasaan Samantha, apakah nyata? Dia menyambut ciuman manis itu, lalu menyadari bahwa pria ini masih tetap sama. Samantha yang dulu dia cintai.