Kang Bruno

1650 Kata
“Pantesan atuh Dita enggak pernah ngeliat Teh Suti jalan-jalan bawa bayinya. Kan aturan kalau ibu-i u baru punya bayi teh, suka didodorong make eta nu sok aya di emol.” Dita, yang sedari tadi paling banyak bertanya itu adalah orang pertama uang memberi respon terhadap cerita yang Teh Kinar lanturkan. Meskipun pada akhirnya membuat kami selalu gagal fokus. “Naon yang suka aya di mol teh, Dita?” Nia yang penasaran dengan maksud perkataan Dita, tanpa panjang lebar dan basa basi segera bertanya. Seperti yang kamu ketahui kalau di mall kan banyak sekali barang. “Nu ada godaan tea ning. Norak ih Teteh mah kitu ge teu apal.” Dita malah meledek Nia yang katanya norak karena tidak mengerti dengan benda yang dimaksud oleh Dita. Aku menangkapnya. Aku tahu, benda yang disebutkan Dita itu pastilah troler yang digunakan para ibu-ibu untuk mengajak bayinya berkeliling. “Kasihan nya, Teh Suti.” Wajah Dita berubah suram. Sebelumnya ia masih terlihat antusias menjelaskan benda yang ia maksud kepada kami. “Pasti Teh Suti sedih pisan. Mana kan itu teh anak pertama.” Benar. Katanya itu adalah kehamilan pertama Teh Suti sejak menikah dengan Bang San dua tahun yang lalu. Penantian mereka yang cukup panjang kini berakhir dengan luka yang menyakitkan. Aku dan Rendi hanya mengangguk-anggukkan kepala. Kami setuju atas apa yang dikatakan oleh Dita. Jual posisi kami ada di posisi Teh Suti, pasti kami juga akan merasakan yang sama. Aku kembali meraba-raba benda yang tergeletak di dipan bambu yang kami duduki. Mencoba mencari satu demi satu kacang yang masih bisa ku masukan ke dalam mulut. Tak terasa kacang kapri yang tadi dibawakan oleh Nia sudah habis untuk kedua kalinya. Setelah mendengar cerita tentang bayi Teh Suti yang ternyata tidak terselamatkan, aku semakin berpikiran yang tidak-tidak. Ternyata, di kampung yang menurutku tidak sebesar kota tempat tinggalku dulu, lebih sering terdengar kabar duka. Entah karena memang lingkungan perkampungan yang masih terbilang berkepedulian tinggi karena memang di kota kami hidup masing-masing dan terkesan acuh tak acuh, atau karena memang di kampung ini angka kematian cukup besar, mengingat bahwa setiap satu detik lebih dari dua puluh orang meninggal di dunia, seingatku sih, begitu. Tapi, selama aku tinggal di kota, jarang sekali terdengar kabar duka. Kalau pun ada ya paling beberapa tahun sekali. Dan yang meninggal itu kebanyakan yang sepuh sepuh. Yang memang sudah tak sanggup lagi menahan beban hidup lebih lama di dunia. Setelah perbincangan yang panjang antara kami berlima, akhirnya terdengar pengumuman tentang berita duka Kang Maman dari pengeras suara. Suara itu berasal dari mushola yang memang tidak terlalu jauh jaraknya dari tempat kami duduk sekarang ini. Ternyata benar, ini bukan hanya sekadar rumor atau hanya kabar burung kalau lelaki yang ditemukan tewas menggantung dirinya sendiri di Kebon Tembang adalah Kang Maman, orang yang bekerja sebagai tukang servis alat elektronik apalagi televisi. Ia memilih mengakhiri hidupnya di usia yang menurutku belum begitu tua untuk kembali ke Tuhan. Tapi sekali lagi, umur tidak ada yang tahu. Tidak selalu Tuhan mengambil hambaNya pada batang usia yang tinggi. Tuhan bisa mengambil titipanNya kapan pun, seperti ketika mengambil Bapak dan Ibu dari sisiku. Atau apakah Kang Maman benar-benar mencintai Tuhan sampai akhirnya ia memilih jalan tersebut agar dapat segera pulang ke pangkuannya? Tak lama, setelah kami banyak berbincang, terlihat seorang laki-laki dari ujung jalan. Berbadan tambun, berkulit sawo matang. Kalau wajah, ya, memang bukan tipikalku. Dibanding Rendi yang memang tampan, aku rasa ia benar-benar bukan tipe yang aku inginkan. Usianya jika di lihat dari guratan di wajahnya, biasa di katakan cukup berumur. Mungkin berbeda dengan kami dengan jaran sekitar lima tahunan. Ia tersenyum begitu melihat kami yang duduk berkumpul di atas dipan bambu, di bawah pohon mangga besar. Sementara, Teh Kinar yang juga melihat ke arah lelaki itu, memasang wajah sebal dan siap memasang bibir yang khas seperti ibu-ibu tiri di sinetron. Aku sebelumnya tidak paham, apa yang membuatnya memasang wajah demikian. Namun, Nia juga Dita malah tertawa geli. Mereka meledek Teh Kinar yang akhirnya membuat perempuan cantik itu semakin terlihat masam air wajahnya. Kalau ia bisa bertanduk, mungkin sudah ada dua tanduk merah di atas kepalanya itu. “Ngapain lagi sih, si Bruno itu!” celetuknya dengan nada yang terdengar amat kesal. Akhirnya, dari sini aku tahu kalau lelaki bertubuh tambun itu bernama Bruno. Sepertinya ia memang lebih tua dari pada Teh Kinar. Kalau kuperkirakan Teh Kinar yang berusia dua puluh tahunan, maka lelaki itu mungkin menginjak di angka dua puluh akhir atau bahkan tiga puluhan. Ya paling tidak bedanya hampir sepuluhan bahkan belasan tahun. Aku menyenggol Nia dengan sikut, pelan. Ingin tahu mengapa Nia dan Dita malah terkekeh begitu melihat Teh Kinar memasang wajah seperti itu. Sementara Rendi, sama sepertiku, hanya diam saja. Ya, meskipun sepertinya ia sudah tahu apa yang terjadi antara Teh Kinar dan lelaki yang bernama Bruno itu. Rendi hanya tersenyum tipis melihat tingkah mereka. Seolah tidak ingin ikut campur. Cukup menjadi penikmat drama percintaan di sore hari yang tak ceria ini. Lelaki itu akhirnya sampai di depan dipan kami. Ia tersenyum, mencoba untuk ramah begitu selesai menyapa kami yang sedang duduk. Ia langsung terfokus pada perempuan cantik yang memang menjadi tujuannya ke mari. Perempuan yang memang sudah menjadi incarannya sejak lama. Sejak pertama kali ia menginap di rumah Bang San, katanya sih, gitu. Dari yang kudengar. “Bah, ada di sini rupanya kau, Neng Kinar. Aa kan sudah nyari ke mana-mana. Macam mana pulak kau malah berhaha hihi di sini? Tidak ada aku pula. Untung Ibu mertua bilang kalau Kinar ku yang paling cantik ini sedang main di rumahnya Nyai.” Mendengar perkataan yang keluar dari mulut lelaki itu, Dita dan Nia bertatapan. Saling menahan tawa yang sudah kupastikan kalau tidak ada lelaki itu di sana, mereka pasti sudah terbahak-bahak. Lelaki bernama Bruno itu memang benar-benar terobsesi dengan Teh Kinar sepertinya. Sementara itu, perempuan yang dipanggil Neng Geulis terlihat amat tidak senang. Ia malah melemparkan tatapan tajam pada lelaki di depannya itu. “Naon sih, ngapain kamu teh nyariin Kinar? Terus saha ibu mertua?” tanya Teh Kinar ketus. Aku yang hanya diam, seolah sedang menjadi penonton dalam sebuah drama langsung. Mereka berdua bak kucing dan anjing kalau sedang bertengkar secara oflline seperti ini. “Nya Mbok Mar lah, Neng Geulis. Siapa lagi? Kau Cuma kau cintaku satu satunya tiada duz” Seketika Teh Kinar yang mendengar jawaban dari lelaki bertubuh tambun itu langsung melotot. Enak saja. Siapa juga yang mau jadi istrinya Bruno! “Siapa juga yang mau nikah sama kamu! Udah ah, Nia, Dita, Rendi, Agis, Teteh pamit dulu ya,” katanya yang kemudian mendekat dan berbisik ke arah kami. “Males ada orang gila iyeu tah, rek kabur heula!” Segera setelah membisikkan kata-kata tersebut, Teh Kinar berjalan dengan cepat meninggalkan dipan yang kami duduki dan diikuti oleh lelaki bertubuh tambun tersebut. Berkali-kali lelaki itu menyerukan namanya, tapi Teh Kinar sama sekali tidak peduli. Ia tidak menengok sekali pun. Benar saja dugaanku. Begitu Teh Kinar sudah jauh dari pandangan, Nia dan Dita langsung meledak tawanya. Mereka terbahak-bahak, mengeluarkan gelak tawa yang memang sejak tadi sudah mereka tahan. Aku yang keheranan dengan kelakuan mereka hanya bisa memandangi keduanya, menunggu mereka selesai tertawa. Sampai akhirnya, setelah puas, mereka berdua menghentikan tawanya dan memberikanku kesempatan untuk bertanya. “Kenapa?” Aku yang bahkan belum membuka mulut sudah ditodong pertanyaan lebih dulu oleh Nia. Perempuan itu seolah-olah paham dengan apa yang ada di dalam kepalaku. Kemudian, Nia juga menatap Rendi yang sama terdiamnya dengan aku, meskipun sudah kukatakan, kalau Rendi sepertinya tahu apa yang menjadi dasar mereka berdua itu tertawa sampai terbahak-bahak. Hanya saja, ia tidak bereaksi dyang berlebihan. “Yang tadi itu namanya Kang Bruno. Udah berumur sih, memang. Bisa lihat sendiri, kan? Dia tergila-gila banget sama Teh Kinar, si primadona kampung ini.” Aku mengangguk-anggukkan kepala. Sebagai isyarat kalau aku faham. Dengan apa kata kata yang kata merek enak, maka kulanjurkan tengan memilih calon penggangiku. “Tapi, Teh Kinar nya gak mau, ya?” Dengan polos aku bertanya demikian, keduanya kembali tertawa. Entah, apakah pertanyaan aku ini terdengar lucu? Mungkin merek masih berpikir. Bagaimana ia harus membawa semua barang kalu sampai kapan? “Kalau teteh jadi Teh Kinar, emang teteh mau sama dia?” Kali ini, Dita yang bertanya padaku. Sebuah pertanyaan yang menohok sekaligus bikin aku ketawa ketawa. Lagi-lagi dengan jujurnya aku menggelengkan kepala. Memang benar kok kenyataannya, aku tidak mahu jika benar lelaki yang ada di depanku ini menjadi seorang lelaki tritans. Sudah kukatakan tadi sebelumnya, kalau lelaki yang bernama Bruno itu bukan tipikal lelaki idaman yang aku inginkan. Rendi yang melihat ekspresiku yang spontan menggelengkan kepala itu turut tertawa. Sepertinya ia memang satu pikiran dengan lelaki tersebut. “Teh Kinar udah punya pacar. Orang kampung sebelah. Pegawai pemda. Namanya Mas Asrul.” Tanpa aku meminta, Nia yang seperti Mbah Google itu melakukan tugasnya dengan baik. Ia memberi tahu tentang kekasih Teh Kinar. Katanya Teh Kinar sedang memiliki kekasih alias sdang mencari gebetan. “Bener. Mana kasep pisan. Kaya Adipati Dolken! Yang main Ganteng-ganteng Maung!” Seketika pukulan pelan mendarat di tangan Dita. Nia yang kesal mendengar Dita, sekaligus menjadi gemas karena keduanya. “Bukan atuh! Itu teh yang main Teman tapi Mesra!” “Yeh, salah judul. Bukan mesra, tapi menikah!” Melihat Nia dan Dita yang berdebat seperti anak kecil hanya karena judul film membuat aku tertawa. Rendi juga yang sedari tadi menyimak kami berbicara turut memamerkan gigi-gigi putihnya. Saat kami sedang asyik menertawakan perbincangan kami sore itu, Dita tiba-tiba menghentikan tawanya. Ia menatap ke belakang aku dan Nia. Sambil berkata, “Nia, aku pulang dulu ya. Poho, belum ngasih makan entog!” Disusul dengan Rendi yang berkata, “Saya juga pamit!” dan langsung pergi meninggalkan kami berdua. Sementara itu, aku dan Nia hanya saling tatap setelah melihat tingkah mereka. “Yaudah, hayu beresin ini sampahnya.” Saat aku hendak membuang sampah bekas kacang kapri di tong yang ada di bawah pohon mangga, aku terlonjat kaget. Di depan pintu, seseorang rupanya sedang menatap tajam ke arah kami.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN