Sehari sebelumnya, menjelang magrib.
Dua anak remaja masih mengenakan seragam sekolah putih biru sedang berboncengan di sebuah sepeda motor. Mengingat usia mereka yang memang sedang bandel-bandelnya, mereka berdua kebut-kebutan. Gadis yang memegang stang motor bernama Tika dan yang dibonceng bernama Muti, tetangga sebelah rumah Nyai. Sore itu, mereka sedang berjalan-jalan. Biasa, anak muda, katanya. Menghabiskan waktu senja, kalau bahasa ngetrendnya, ngabuburit.
Seringkali orang tua mereka berkata kalau sebelum magrib, mereka harus sudah ada di rumah, sama seperti kebanyakan orang tua di kampung itu, termasuk Nyai yang juga sering berpesan demikian pada Nia. Tapi, namanya anak muda yang sedang nakal-nakalnya, perkataan orang tua mereka hanya masuk lewat kuping kanan lalu keluar melalui kuping kiri. Dianggap hanya sebagai angin lalu.
Matahari memang belum sepenuhnya tenggelam. Masih ada sinar kekuningan dari ujung jalan. Tapi, senja memang sudah terlihat. Sebentar lagi pasti adzan magrib berkumandang. Mereka berdua memasuki Kebon Tembang, tempat di mana Agis melihat sesosok perempuan bergaun merah yang tergantung di pepohonan, saat pertama kali tiba dari kota. Meski sering kali pula terdengar kisah-kisah yang tidak mengenakan dari sana, lagi-lagi, anak remaja itu hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Tidak ambil pusing, rasanya seperti hal yang sudah wajar saja terjadi. Toh, mereka juga belum pernah mengalaminya secara langsung.
“Mut! Nyaho teu? Si Rani kamari papanggihan jeung si Danil di curug. Anu belah kulon tea, Ning! Apal teu?”
Anak perempuan yang memegang setang motor itu berbicara sedikit berteriak, karena angin yang cukup kencang membuat suaranya kadang tidak terdengar oleh kawannya di belakang. Ia memulai percakapan dengan nada mengompori. Biasalah, namanya anak muda yang sedang terjebak cinta monyet.
“Danil salapan D? Yang ganteng tea? Inceran urang lain?”
Temannya itu menimpali, tak kalah keras. Muti mencoba menegaskan kalau anak lelaki yang disebut temannya itu adalah anak lelaki yang ia pikirkan. Namun, bukannya memelankan tarikan gas agar mereka bisa mendengar satu sama lain, Tika malah semakin kencang menarik gas. Dasar jiwa muda.
“Enya, nu maneh resep tea ih! Nu sok maneh caritakeun ari jamkos.”
Nah, keluar lagi bahasa anak muda. Jamkos katanya, alias jam kosong.
Anak itu memanas-manasi Muti. Katanya, Rani kemarin pergi bersama Danil yang selama ini sedang diincar oleh temannya itu dan bertemu di sebuah air terjun. Cukup diketahui kalau kampung ini memang sesuatu sekali. Hanya butuh waktu sekitar dua jam setengah untuk sampai di air terjun tersebut. Letaknya berlawanan dengan arah ke kota.
Memang sudah cukup lama Muti menyukai anak lelaki yang bernama Danil. Namun, kisah cinta monyet mereka sepertinya tidak berjalan dengan baik. Danil rupanya lebih tertarik kepada Rani yang Tika ceritakan tadi. Kasihan.
Mereka memasuki Kebon Tembang semakin dalam. Memang, mereka berniat untuk pulang setelah puas berkeliling dan hutan penelitian itu adalah satu-satunya jalan yang harus mereka tempuh untuk sampai ke rumah. Sementara, di ujung sana, setelah hutan penelitian ini berakhir, terdapat kebun bambu meskipun tidak begitu luas. Hanya di ruas kiri kanan jalan, sekitar beberapa ratus meter saja. Namun, cukup rimbun. Pohon-pohon bambu kuning yang jarang sekali di temui, ada di sana. Setelah mereka melewati kebun bambu, akan ada sebuah pos kamling yang menandakan sebagai pintu masuk ke perkampungan.
Tika masih saja terus mengoceh, ia bercerita tentang anak lelaki di kelas sebelah yang sedang ia amati diam-diam. Sama seperti Muti yang juga sedang menaksir seorang anak lelaki di kelas yang berbeda dengan mereka, Tika juga rupanya sedang terjerat cinta monyet. Tanpa menengok ke sepion sesekali, anak itu terus saja bercerita, sampai akhirnya mereka melewati Kebon Tembang dan jajaran kebun bambu, sampai di pos kamling yang merupakan pintu masuk kampung tersebut.
Tidak ada henti-hentinya, meskipun tidak mendengar respon dari Muti, karena angin kencang, ia terus saja mengoceh sampai motor mereka berhenti di depan warung gorengan, setelah menyebrangi jalan kereta, lumayan jauh dari pos kamling tadi. Ia berpikir bahwa Muti menjadi pendengar yang baik, yang akan menjawab perkataan Tika begitu ia menyelesaikan ceritanya. Jadi, Muti memilih diam sebelum Tika selesai dan meminta pendapat darinya.
Begitu motor mereka berhenti, Tika terlonjat kaget. Muti sudah tidak ada di jok motor belakangnya. Padahal, ia sejak tadi terus mengajaknya mengobrol ini dan itu tentang anak lelaki dari kelas sebelahnya itu. Tika berteriak-teriak, ia berpikir bahwa temannya itu sedang menjahilinya dengan loncat dari motor dan bersembunyi begitu motor mereka berhenti, karena Tika merasa bahwa sejak tadi Muti masih ada di belakangnya. Jok belakang masih terasa berat, bahkan sampai mereka tiba di depan palang pintu kereta tadi. Harusnya, jika memang Muti tidak dalam boncengan motor Tika, motor itu terasa ringan, bukan?
“Mut! Kaluar maneh! Gak lucu ah!” teriaknya sebal, ia yakin kalau Muti sedang bersembunyi dan mencoba untuk menjahilinya.
Sampai akhirnya sang pemilik warung keluar dan melihat Tika yang sedang sendirian. Kebetulan, pemilik warung tersebut adalah bibi dari Muti, anak remaja yang dibonceng Tika.
“Bi, liat Muti, teu?” Tika yang melihat pemilik warung itu segera bertanya.
“Titadi ge sorangan, emang boncengan sama Muti?”
Sang bibi malah bertanya balik dengan memasang wajah yang terlihat heran. Katanya, sejak tadi pun Tika memang sendiri. Ia tidak melihat anak perempuan itu membonceng keponakannya.
“Henteu ah, tadi bareng. Tas jalan-jalan ti pasar. Titadi ge ngobrol wae jeung Tika. Motor Tika ge da beurat, seperti ada yang duduk di belakang. Masa iya Muti ketinggalan?”
Seketika mereka berdua terheran-heran. Bagaimana mungkin Muti menghilang begitu saja. Hari sudah semakin gelap, sebentar lagi adzan magrib berkumandang.
“Coba balik lagi, barangkali Muti nungguin di mana gitu.”
Akhirnya, Tika memilih kembali ke Kebon Tembang demi menemukan temannya itu. Jangan-jangan benar kata bibinya Muti, kalau anak perempuan itu tertinggal di salah satu tempat yang mereka lewati, meskipun rasanya sedikit di luar logika. Tika menarik gas motor tak kalah kencang dibanding sebelumnya. Sampailah ia di kebun bambu. Di tepi jalan, ia melihat Muti yang terduduk. Sendirian.
“Ai maneh, kunaon kalah cicing di dieu?”
Tika heran dan bertanya mengapa Muti malah duduk di tepi jalan. Sementara itu, Muti tidak banyak bicara. Ia hanya berkata bahwa ia baru saja terjatuh dan Tika malah meninggalkannya. Tika yang mendengar itu menyangkal dan malah tertawa terpingkal-pingkal. Lucu sekali kalau ternyata temannya itu jatuh, tanpa sepengetahuan Tika. Ia bahkan terus mengoceh sendirian dan berpikir kalau Muti masih mendengarkan ocehannya dari bangku belakang. Sementara itu, terlihat Muti baik-baik saja. Tidak ada patah tulang serius maupun darah yang bersimbah entah dari lutut atau dari sikunya.
Begitu mereka akan kembali pulang, tiba-tiba motor yang dikendarai Tika mati. Tidak bisa distater sama sekali. Beberapa kali Tika coba, tetap saja tidak menyala. Muti yang duduk di depan kebun bambu itu berdiri dan menarik motor Tika, membantunya untuk menyelah motor agar bisa kembali hidup. Tidak ada yang aneh dari Muti. Ia terlihat baik-baik saja. Tidak banyak luka yang terlihat di tubuhnya, mengingat ia baru saja terjatuh dan tanpa sepengetahuan Tika. Entah memang Tika yang terlalu asyik bercerita, atau motornya yang terlalu kencang hingga suara tubuh Muti yang terjatuh itu tidak terdengar, tertutup suara angin.
Akhirnya mereka sampai di rumah. Karena tidak ingin dimarahi orang tuanya, Muti hanya diam saja. Ia tidak bilang pada orang tuanya bahwa ia baru saja jatuh dari motor di dekat kebun bambu. Lagipula, ia berpikir bahwa ia baik-baik saja, mengingat tidak ada luka yang benar-benar terlihat di tubuhnya. Hanya sedikit luka gores di dekat betis. Terasa perih sedikit.
Malam harinya, ia merasa linglung. Kepala Muti mulai terasa sakit. Ia juga merasa mual hingga akhirnya ia muntah beberapa kali. Anak perempuan itu tidak bisa tidur sepanjang malam. Ia muntah-muntah dan mengeluh kalau ia sakit kepala. Muti belum juga berani jujur pada orang tuanya. Ia hanya berkata kalau kepalanya tiba-tiba saja sakit. Entah karena apa. Bahkan saking sakitnya, anak perempuan itu menangis, tidak tahan lagi. Waktu masih menunjukkan pukul sepuluh malam. Belum begitu larut, tapi memang sudah sangat sepi, mengingat desa tersebut terletak cukup jauh dari kota.
Sampai akhirnya, saat dini hari, sang ibu yang baru saja bangun terkejut begitu melihat anak gadisnya yang memang tidur bersebelahan dengannya, terlihat tidak bergerak. Berkali-kali dibangunkan, anaknya itu masih saja diam. Tidak terusik sama sekali. Ia tidak sadarkan diri. Panik bukan main, pada akhirnya subuh hari itu rumah ramai. Semua warga yang terbangun karena teriakan panik sang ibu, akhirnya berkerumun di rumahnya. Beberapa orang terlihat bertanya-tanya tentang apa yang terjadi, sementara pemilik warung yang sore itu memang bertemu dengan Tika, akhirnya buka suara kalau kemarin Muti, ponakannya itu pulang bermain dengan Tika, sampai lepas magrib.
Tika yang disebut-sebut oleh pemilik warung menjadi yang terakhir pergi bersama Muti, akhirnya disusuli oleh seorang warga untuk sekedar bertanya tentang apa yang terjadi. Pemilik warung di pengkolan depan itu hanya tahu kalau Tika sempat meninggalkan Muti di suatu tempat, tanpa tahu kejadiannya secara detail. Yang pasti, ada yang janggal di sore itu yang membuatnya berpikir kalau ini ada kaitannya.
Akhirnya, anak remaja perempuan yang masih terkantuk-kantuk itu berjalan menuju rumah Muti yang sudah dipenuhi banyak orang dan mulai bercerita tentang apa yang terjadi padanya dan temannya itu.
“Kemaren magrib teh Tika emang ngebonceng Muti. Tapi pas sampai pengkolan, Muti gak ada di jok belakang. Padahal mah eta jok teh asa beurat, seperti ada yang duduk di belakang. Tika pikir mah Muti masih ada weh di belakang Tika, orang Tika ge masih ngajak Muti ngobrol sampai palang pintu kereta. Tika kira mah Muti teh ngejahilin Tika. Tapi kata Bi Iis, dari tadi Muti emang enggak ada di jok belakang,” katanya saat itu, memberi penjelasan.
Sementara warga yang ada di sana percaya bahwa itu adalah Walilat, karena mereka berdua pergi saat magrib menjelang. Terlebih, melewati hutan penelitian dan kebun bambu yang memang sedikit angker, mengingat banyaknya korban tewas di sana. Pasti, Sandekala.
“Terus, pas kamu susulin teh si Muti gimana katanya?”
Sang pemilik warung yang juga bibi dari Muti itu masih mengorek informasi, sejelas mungkin. Karena, saat Tika kembali bersama Muti, warungnya sudah tutup dan ia sudah kembali ke rumah. Jadi, ia tidak tahu kelanjutannya.
“Ada weh lagi duduk di pinggir kebon awi,” jelasnya. Tika berkata kalau Muti sedang duduk saja di pinggiran kebun bambu.
Separuh dari mereka yakin bahwa itu adalah sandekala. Kecelakaan yang terjadi saat di jam-jam tertentu, apalagi magrib, waktu yang paling disenangi para makhluk tak kasat mata untuk menjahili manusia. Sudah bukan hal yang aneh. Karena semua penduduk kampung itu pun tahu hal tersebut.
“Tapi da Muti teh gapapa, Bi. Pas Tika ke situ lagi duduk weh, diem. Mana Muti masih sempet-sempetnya nyelah motor Tika. Da motornya gak mau distater. Tika pikir mah, ya enggak apa-apa weh. Enggak berdarah juga, enggak katingali pateuh. Kenapa atuh sekarang jadi begitu Muti teh.”
Tak lama, Nyai yang rumahnya tepat di sebelah rumah bilik itu membuka pintu. Disusuli dengan Nia- anak bungsunya, juga Agis, Sang keponakan yang baru saja tiba tadi pagi dan berniat tinggal di desa ini untuk seterusnya. Melihat rumah tetangganya itu ramai, Nyai akhirnya menghampiri rumah tersebut guna mencari tahu apa yang terjadi.
Nyai masuk ke dalam rumah Muti, melihat bagaimana orang-orang yang memenuhi rumah tersebut memberi ruang pada Nyai untuk masuk, berati Nyai memang orang yang disegani di kampung tersebut.
“Kumaha ini teh, Nyai? Si Muti gak mau bangun.”
Masih dengan linangan air mata, Sang ibu yang sejak tadi masih duduk di ranjang, di sebelah putrinya yang tak sadarkan diri itu bertanya pada Nyai yang baru saja tiba.
Tak lama, seorang anak lelaki keluar dari rumah setelah Nyai memintanya untuk mengambilkan bangle dan kencur. Terlihat memar di kaki Muti yang tak disadari oleh ibunya. Sementara bangle dipercaya oleh semua warga untuk mengusir makhluk halus karena mereka berpikir bahwa apa yang terjadi pada Muti ada campur tangan dari penunggu tempat tersebut, mengingat kejadian ini juga terasa janggal.
Sampai matahari akhirnya mulai merayap di langit kampung, salah seorang berinisiatif untuk membawanya ke sebuah klinik di ujung desa, setelah beberapa saat yang lalu Muti tersadar. Ia masih mengeluhkan kalau kepalanya sakit. Entah, apa yang dibacakan Nyai padanya, tapi anak perempuan itu akhirnya membuka mata.
Pergilah mereka, Muti, Sang Ibu, juga Mang Kasim yang tadi berinisiatif untuk membawa anak perempuan itu ke klinik terdekat. Namun, sampai beberapa waktu berlalu, masih dengan para warga yang menunggu di halaman rumah mereka meskipun separuhnya sudah kembali melakukan aktivitas, Sang Ibu, Muti, dan Mang Kasim yang baru datang diserbu dengan tatapan wajah yang penuh pertanyaan. Mereka juga penasaran dengan apa yang terjadi pada Muti hari itu.
Wajah Sang ibu terlihat kosong, panik, dan pasrah. Entah apa yang telah dikatakan dokter sampai raut wajahnya berubah demikian, sementara Muti masih terlihat lemas sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit. Lalu beberapa warga membopongnya untuk dibaringkan kembali di atas kasur.
“Dokter gak sanggup, katanya harus dibawa ke rumah sakit besar.”
Akhirnya, kalimat yang keluar dari mulut Mang Kasim menjawab semua pertanyaan yang ada di benak mereka yang sejak tadi menunggu kabar.
Jarak dari kampung menuju rumah sakit besar di kota sekitar dua jam perjalanan. Rupanya, Sang ibu kebingungan karena memang ia tidak memegang uang untuk berjalan ke rumah sakit di kota. Ditambah, ia juga tidak memiliki kartu jaminan kesehatan. Sementara, Sang anak masih saja mengeluh sakit. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa.
Ia membiarkannya menahan sakit semalaman lagi. Mereka tidak bisa tidur karena Muti terus saja menangis. Akhirnya, pada keesokan harinya, seorang tetangga yang bekerja di kota, memberi tumpangan pada mereka. Dengan bantuan dari para warga, mereka bergotong royong untuk membayar biaya pertama rumah sakit, agar Muti segera bisa diketahui penyakitnya. Pak RT juga sedang sibuk mengurus ini itu ke desa. Dengan harapan kalau Muti bisa dibayari oleh pemerintah meskipun tidak memiliki jaminan kesehatan.
Maka siang harinya, pergilah mereka ke rumah sakit dengan mobil tumpangan tetangga yang kebetulan akan pergi ke kota. Pak RT juga turut ikut bersama dengan mereka setelah mengurus surat-surat, sekaligus menanyakan barangkali ada keringanan yang bisa mereka dapatkan mengingat memang keluarga Muti adalah keluarga kurang mampu.