Hilangnya Hewan Ternak

1704 Kata
Dua bulan telah berlalu. Hari-hari yang aku lewati di kampung ini mulai terasa normal. Entah karena memang aku mulai terbiasa dan bisa beradaptasi dengan baik, atau memang kondisinya yang sudah kembali normal tidak seperti awal-awal kedatanganku di mana banyak sekali kejadian yang menurutku tidak bisa dipikir dengan logika. Aku juga tidak begitu kesepian karena sekarang aku memiliki teman, banyak malah. Tidak lagi hanya mengobrol dengan Nia di dalam kamar atau memandangi anak-anak yang bermain di pekarangan dari balik kerangka jendela besi. Kami masih sering berkumpul di bawah pohon mangga besar di pekarangan rumah Nyai. Berbagi banyak cerita yang menurutku klasik tapi tetap asik. Cerita-cerita yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk kami ketahui, tapi tetap saja rasanya kami harus berbagi. Seperti Rendi yang berbagi tentang persoalan-persoalan warga yang mengadu pada bapaknya yang memang seorang ketua RT di kampung ini mengenai hal-hal sepele. Dari yang membuat kami geleng-geleng kepala sampai ke hal yang mengocok perut. Dita yang selalu saja mengoceh tentang ini dan itu, banyak ingin tahu dan senang mengorek informasi sana sini. Teh Kinar yang selalu mengomel dan memaki-maki lelaki bernama Bruno yang ketika lelaki itu tiba, ia akan segera kabur untuk bersembunyi. Katanya, ia tak akan pernah sudi menerima cinta sang ABG tua itu sampai kapan pun. Belum lagi, cerita tentang bagaimana repotnya ia harus sembunyi karena Bruno sangat gigih untuk mengejar-ngerjar perempuan itu, sampai Nia yang paling paham dan up to date tentang berita di perkampungan, dari mulai terciumnya perselingkuhan sampai kasus-kasus pencurian sandal di masjid seberang jalan sana. Dengan empat orang yang kini selalu ada di tiap hari-hariku Sejak dua bulan terakhir yang cukup menggemparkan itu, tidak ada lagi hal-hal aneh yang aku temui. Mungkin, karena awal-awal adaptasi sehingga aku merasa kalau tempat ini sedikit berbeda. Selang berjalannya waktu, aku sudah mulai terbiasa dengan perkampungan ini dan segala hal di dalamnya. Sampai suatu hari, satu kabar datang yang akhirnya membuat aku berpikir kalau ternyata kejanggalan di kampung ini belum berakhir. Bahwa, hal-hal yang ada di luar nalar itu seakan hanya terjeda saja. Beberapa waktu lalu, aku yang pernah melihat bayangan hitam di kandang ternak sedang memakan hewan dengan begitu rakus dan bengis, tidak lagi berani keluar malam-malam, apalagi sendirian. Meskipun rasanya ingin sekali buang air kecil, selama masih bisa menahannya, aku akan tahan. Daripada harus melihat makhluk seperti itu lagi. Tapi, begitu pagi ini kutengok kandang di sebelah bilik kamar mandi itu, hanya ada dua ekor kambing saja. Benar. Aku tidak salah lihat. Hanya tersisa dua ekor kambing saja. Padahal, saat pertama kali tiba di sini, aku dengan jelas melihat banyak sekali kambing dan sapi di kandang. Bahkan, di malam ketika kulihat bayangan hitam itu sedang asyik menggerogoti leher kambing, masih banyak hewan ternak di sana dan karena itulah suara gaduh tak terhindarkan lagi. Rupanya, kejanggalan ini bukan aku saja yang merasakan. Begitu siang harinya aku berkumpul dengan mereka, teman-teman Nia yang kini menjadi temanku juga, di bawah pohon mangga yang tak lain adalah markas perkumpulan kami, dan orang yang duduk di atas dipan pertama kali adalah Rendi. Ia pulalah yang memperjelas kejanggalan yang sedang menggelayuti pikiranku. Sama seperti aku yang merasa tidak beres dengan hari-hari yang kuhabiskan di kampung ini. Katanya, beberapa hari belakangan ini banyak warga yang mengeluh kalau hewan ternak mereka hilang secara tiba-tiba. Awalnya memang berjeda panjang. Dalam waktu setengah tahun, paling tidak ada satu hewan ternak yang hilang atau mati. Bahkan sebelum aku pindah ke kampung ini pun, Rendi bilang kalau laporan serupa sesekali memang terdengar di telinganya. Jadi, ia pikir memang sudah menjadi hal wajar jika ada maling yang mencuri ternak. Itu pun sepertinya bukan penduduk sini. Karena memang jarang terjadi. Paling-paling dua kali dalam satu tahun. Tapi, yang ini lain rasanya. Dua bulan belakangan ini, pengaduan tentang hewan ternak yang hilang seakan naik tiga sampai lima kali lipat. Bahkan saking seringnya, bisa sampai dua hari sekali rasanya ada hewan ternak yang lenyap entah ke mana dan entah siapa pelakunya. Jelas, seharusnya sebagai kepala RT setempat, beliau tak boleh tinggal diam. Nia yang baru saja datang, membawa semangkuk jagung rebus. Memang, tadi sebelum berkumpul, aku dan Nia sedang mengupas jagung manis di dapur. Sementara Teh Kinar yang terlihat sedikit berlari, celingak-celinguk begitu ia tiba di depan kami. Ia mengedarkan pandangannya. Kini Teh Kinar terlihat seperti agen rahasia di televisi, atau bahkan seperti mafia-mafia yang sedang di buron oleh polisi. Aku tahu, sepertinya ia sedang menghindari Bang Bruno yang benar-benar tergila-gila padanya saat itu. Namun, apalah daya. Aku rasa cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Awalnya. Sampai suatu hari, aku akhirnya tahu kalau ucapanku itu salah besar. Cinta rupanya bisa datang karena sebuah keterpaksaan. “Kenapa, Teh Kinar?” Rendi yang juga melihat gerak-gerik Teh Kinar, bertanya. Ia juga rupanya sama penasarannya dan juga heran seperti aku juga Nia yang menatap Teh Kinar dengan tatapan bertanya-tanya. Sementara itu, masih dengan mata yang berkeliaran, ia duduk di sebelah Nia. Mengambil jagung rebus dan mulai memeretelinya dan memasukkan biji jagung rebus itu ke dalam mulut. Rasa lapar tetap saja tak bisa bohong. Meskipun matanya tak henti memandang ke segala arah, tetap saja tangannya bergerak cepat menuju jagung rebus yang sudah tersaji di atas dipan. “Semoga aja itu orang gila teh enggak nyusulin ke sini. Males pisan, Teteh teh jadi kudu sembunyi-sembunyi terus! Mana si Mbok malah seneng lagi sama orang itu. Ih meuni amit-amit pisan! Bisa-bisana aya jelema kos kitu ih,” gerutunya, sambil memasukkan biji-biji jagung itu ke dalam mulut lagi. Ia memang terlihat lelah, sepertinya Teh Kinar sudah berkeliaran ke sana ke mari, demi menghindari lelaki itu. Entah sudah berapa kali ia melarikan diri darinya hari ini. Tak lama, perempuan yang paling muda dan paling berisik itu datang. Dengan poni yang belum berubah, rambut yang juga masih di kucir dua, memakai kaus berwarna putih dengan gambar beruang di tengahnya. “Ada gosip apa nih!” todongnya begitu ia tiba. Hanya itu ya g ada di kepalanya. Ia bahkan tidak sadar kalau jagung manis sudah dihidangkan. Barulah, ketika Teh Kinar meletakan tangannya di atas dipan bambu sebagai isyarat kalau Dita harus duduk, ia baru sadar kalau di depannya itu ada jagung rebus yang manis. Salah satu dari sekian banyak makanan yang ia sukai. Pantas saja orang-orang di kampung ini memiliki kulit yang sehat. Terlihat dari makanan yang sedang kami lahap ini contohnya. Berbeda dengan di kota yang mana kami, aku, Dila juga Jani memiliki cemilan yang sangat berbeda. Kami yang biasa memakan fast food sebagai cemilan, jelas tak sehat. Minum pun, lebih sering meminum air soda atau minuman manis kalengan. Sangat berbanding terbalik dengan makanan makanan di kampung ini. Belum lagi, orang-orang di perkampungan ini tidak menemui banyak polusi seperti di kota yang baru jalan sebentar saja rasanya wajah sudah tidak karu-karuan dan debu mulai menempel di mana-mana. Beda dengan di sini, di perkampungan yang masih asri ini. Di mana lebih banyak kujumpai pohon-pohon yang berjejer di banding motor-motor yang membuat kemacetan seperti di kota. “Kemarin ada laporan masuk ke bapak saya. Katanya ada yang hilang lagi ternaknya. Rasa rasanya, bulan ini saja sudah lebih dari tiga kali Bapak saya menerima laporan seperti itu.” Penjelasan Rendi disambut dengan anggukkan kepala dari Dita yang memang sejak tiba sudah menodong kami dengan pertanyaan. Setelah duduk dan turut mengambil jagung manis rebus, ia langsung menyimak percakapan kami. “Kandang sebelah juga mulai kosong. Apa pemiliknya engga laporan ya? Selama Agis tinggal di sini, belum lihat kalau rumah itu, yang memiliki kandang ternak di sebelah kamar mandi dan dapur Nyai, menjual hewan ternaknya.” Jika tidak salah menduga, aku rasa ada hubungannya dengan bayangan hitam yang kupergoki malam itu. Anehnya, si tetangga yang tadi kukatakan memiliki hewan ternak yang sekarang hampir habis itu, tidak merasa atau pun panik ketika satu persatu hewannya itu menghilang. Ia tak sadar dan baru saja sadar begitu melihat kambingnya hanya bersisa tiga ekor. Tapi, Nia hanya diam saja. Seolah tidak ikut pusing dengan apa yang sedang kami bicarakan. Padahal jelas-jelas Nia juga turut menjadi saksi atas kejadian malam itu. Entah apa yang membuatnya bungkam dan pura-pura buta. Aku tidak paham. Mereka berempat menyimak ceritaku dengan serius. Bisa jadi memang itu nyatanya. Bisa jadi itu adalah ulang dari makhluk hitam legam yang kulihat dua bulan lalu, sedang menggerogotu leher dan menyedot darah hewan tersebut dengan begitu nikmatnya. Bagaimana mungkin sang pemilik hewan ternak itu tak sadar sampai hewan ternaknya bersisa tiga ekor saja? Sudah jelas ada yang tidak beres. “Aneh ya, masa selama ini gak sadar kalau hewan ternaknya raib satu persatu?” Seketika, pertanyaan itu mendapatkan gelengan kepala. Yang lebih aneh lagi, Nyai yang kutanyakan tentang hewan ternak yang hilang itu, hanya memasang wajah datar, seperti biasanya. Sama seperti Nia. Ia tidak mau tahu. Tidak mau peduli. Seolah pura pura buta dan tuli. Di sela-sela percakapan kami yang membahas tentang menghilangnya hewan-hewan ternak di kampung ini, tiba-tiba, Dita yang cerewet itu bertanya sesuatu pada kami. Sepertinya ia memang sudah digelayuti rasa penasaran. “Eh, perasaan udah lama gak lihat Wak Jaman. Kalian ada yang pernah lihat?” Wa Jaman. Kalau tidak salah mengingat, itu adalah nama yang Nia sebut saat kami menangkap anak ayam di kebun belakang. Bukankah ia seorang perempuan setengah tua yang memandangi kami sore itu? Yang rambutnya di penuhi uban dan senang menatap tajam ke arahku? Pemilik rumah seberang yang memiliki kebun kecapi dan rambutan itu, kan? “Yang perempuan judes itu? Yang rumahnya di seberang kan?” Dengan polosnya aku bertanya. Memang benar aku merasakan sikapnya demikian. Tidak pernah kulihat senyuman terukir di bibirnya itu. Terlebih jika ia berhadapan denganku. Nia yang paling dekat denganku kemudian memberikan penjelasan. Bahwa sebenarnya yang di maksud oleh Dita adalah orang yang lain. Bukan wanita tua dengan uban itu. “Wak Jaman yang cowok, Gis. Suaminya ibu-ibu itu. Bukan ibu-ibu yang sering lihatin kita kalau lagi nangkap ayam.” Aku agak bingung. “Kenapa namanya Jaman juga?” jika dua duanya dipanggil Jaman, bukankah jadinya bingung ya? Akan mengakibatkan ke salah pahaman juga, kan? “Jaman itu nama anaknya. Makannya mereka dipanggil demikian. Nama aslinya sih bukan itu. Mereka punya nama masing-masing.” Aku mengangguk-anggukkan kepala. Seperti nama yang sudah “ketelah” sejak dulu. Sama seperti Mama Agis, sebutan untuk ibuku dari para tetangga. Mungkin seperti itu. “Dari yang kutahu sih, Wak Jaman yang lelaki itu sedang sakit. Agak parah.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN