Bab 17: Jefri

1075 Kata
Adi tertidur dengan lelap, hingga tak lama ia terbangun di kasur yang berbeda dengan yang terakhir kali ia lihat. Matanya menatap sekeliling ruangan dan baru sadar jika dirinya tengah berada di sebuah kamar yang sebenarnya ia kenali kamar ini berada di rumah siapa, hanya saja ia merasa asing dan sama sekali tidak nyaman. “Sudah bangun?” Adi terperenjat kaget, meskipun sudah berulang kali terjadi tetap saja dirinya merasa kaget begitu bangun di tempat lain dan bertemu dengan orang lain secara tiba-tiba. “Adi, ada apa?” Adi menghela nafas kasar, matanya melirik seisi kamar dengan pelan, seolah merekam dengan baik suasana dan kondisi kamar tersebut. Setelah puas melihatnya, Adi segera bangkit dari atas ranjang dan berlalu keluar kamar setelah mengambil kunci motor, tas miliknya dan juga hoddie yang kemarin ia kenakan, sedangkan untuk seragam sekolah, ia akan menggunakan seragam satu lagi. “Adi kamu mau ke mana?” Taka da niat untuk menjawab panggilan dan pertanyaan itu, Adi memilih diam membisu sembari berjalan menuruni anak tangga. Dan ia bisa melihat meja makan yang sudah terisi oleh keluarga besarnya dan tengah menatapnya dengan pandangan yang berbeda beda. “Lah, jilat ludah sendiri ternyata. Kemari nada yang bilang gak bakal nginjak kaki di rumah ini, “ ujar salah seorang sepupunya yang bernama Jefri. Adi yang mendengar itu sontak tersenyum miring. “Ada keluarga yang gak dianggap ternyata di sini,” sahutnya ketus yang berhasil memancing emosi Jefri. “Maksud lo apa?” Tanya Jefri yang terlihat sudah emosi namun berusaha menahannya. “b**o!” Adi melangkah keluar dari rumah, namun segera dicegah oleh tetua keluarga, Pamungkas. “Adi, sarapan dulu baru keluar dari mansion ini.” Tegas Pamungkas terhadap cucunya yang sangat pembangkang. Adi yang mendengar itu segera memutarkan badannya meliha kea rah pamungkas dengan tajam. “Gak usah sok perhatian.” Tekannya tak kalah tegas, dan berlalu dari mansion itu dengan cepat tanpa memperdulikan teriakan maah dari sang kakek. Memacu kendaraan dengan cepat, ingatan Adi kembali pada kejadian kemarin ketika dirinya pulang sekolah. Ia bertemu dengan Jefri dan para cengunguknya. “Kematian bokap nyokap lu itu emang udah seharusnya, bokap lu Cuma pembawa sial! Wajar kalau mati.” Teriakan dari Jefri itu tentunya langsung membuat emosi Adi terpancing, seketika ia langsung berdiri dan menjatuhkan motornya tanpa takut lecet. “Coba ulangi!” perintahnya yang langsung disambut dengan kekehan oleh Jefri. “BOKAP LU PEMBAWA SIAL!” BUGH! Jefri langsung terpental ke aspal dengan bibir yang mengeluarkan darah. Belum sempat Jefri bangkit Adi sudah menarik kerah seragam remaja itu dan memberikannya lagi pukulan di wajah dan perut, alhasil Jefri meringis kesakitan. Sedangkan teman Jefri hanya sibuk menonton pemuda itu dijahar habis-habisan oleh Adi, emang siapa yang berani melawan Adi kalau tidak Jefri sepupu b*****t yang selalu mencari perkara dengannya. “Lu boleh ngebacot gak guna sesuka lu, tapi lu lupa yang baru aja lu bacotin adalah orang yang lebih berharga bahkan lebih berharga dari pada diri lu sendiri.” BUGH! Adi kembali memberikan pukulan bertubi-tubi yang pada akhirnya membuat Jefri hampir tidak sadarkan diri. Lalu tak lama, pemuda yang sudah terkapar itu terkekeh sinis sambal sesekali meringis pelan. “ssh… Lu tahu, Di. Bahkan orang yang lu anggap berharga itu tega nyakitin nyokap gue sampe hampir gila.” Adi terkekeh sinis. Ia menarik Jefri agar berdiri menghadapnya. “Lu tahu, apa yang bokap gue lakuin itu udah paling bener, dari pada bokap gue hidup bareng nyokap lu yang Gila dan murahan.” “b*****t! MATI LO ADI!” Entah kekuatan dari mana, Jefri berhasil memberikan bogeman ke wajah Adi dengan kuatnya, alhasil Adi yang tidak siap menerima pukulan itu terdorong ke belakang dengan bibir robek yang mengeluarkan darah. Adi yang sudah kepalang emosi langsung menghajar Jefri membabi buta tanpa belas kasihan, seolah olah pemuda itu tengah mengeluarkan semua emosi yang terpendam dalam dirinya. “Keluarga Pamungkas emang b*****t semua! Gue nyesel lahir di tengah-tengah keluarga b*****t kayak lu semua! Munafik!” Jefri langsung terkapar tidak sadarkan diri dan Adi yang melihat itu sama sekali tidak peduli. Ia malah berjalan menghampiri teman jefri lalu memberikan lembaran uang merah yang cukup banyak. “Bawa dia ke rumah sakit.” Setelahnya Adi langsung berjalan menjauh dengan menunggangi motornya, sepanjang jalan ia malah mengingat ucapan Jefri yang benar adanya, jika boleh memilih ia juga tidak mau hidup di keluarga Munafik, keluarga yang busuk dan tidak ada keharmonisan di dalamnya. Luka yang ia dapatkan selama ini tidak sebanding dengan luka yang ditorehkan keluarganya. Terlebih Pamungkas yang selama ini ia anggap sebagai dalang semua kejadian buruk itu. Hingga sangking tidak fokusnya Adi ia sampai tidak sadar jika di depan nya adalah persimpangan. Sehingga begitu ia sadar sudah terlambat, motornya menabrak angkot yang sedang melaju. Alhasil ia terpental cukup jauh dengan keadaan motor yang rusak parah. Lututnya luka karena bergesekan dengan aspal, begitu juga lengan nya dengan hidung yang berdarah akibat terhantuk saat terjatuh tadi. Seketika keadaan menjadi ramai, banyak warga yang berduyun-duyun datang hanya untuk melihat saja tidak membantunya. Beruntung supir angkot yang ia tabrak tadi mau bertanggung jawab dengan menolongnya cepat. Setelah diobati di puskesmas terdekat, Adi meminta tolong kepada supir tersebut untuk mengantarkannya pulang ke rumah, tanpa memperdulikan motor yang ia tinggal di tengah jalan tadi. Sesampainya di rumah, Adi pikir ia akan mendapatkan ketenangan jiwa dan raga, ternyata tidak. Di sana sudah berdiri Tante nya dan juga sang paman yang langsung panik melihat keadaannya. Bukannya bersyukur Adi malah merasa kepanikan dan kekhawatiran Tante dan om nya ada maksud lain. Sehingga dengan spontanitas ia langsung bergerak menjauh begitu tantenya berjalan mendekat. "Kamu kenapa lagi? Tiap hari luka Mulu." Adi mendengus kasar. Sepertinya hari ini pantas ia nobatkan sebagai hari tersial yang pernah ada. Di jalan bertemu dengan titisan dakjal lah di rumah malah bertemu dengan titisan nenek lampir. "Bukan urusan elu. Minggir!" Adi menggeser posisi Tante nya yang dirasa menghalangi jalan. Ia tertatih tatih melewati tantenya dengan wajah yang pucat pasi menahan sesak di dadanya yang kemungkinan akibat benturan kecelakaan tadi. Bukannya menyerah setelah mendengar sahutan dan keponakannya, beliau malah semakin cepat mendekati Adi yang langsung dihempaskan oleh pemuda itu. "Adi! Kalau memang kamu benci keluarga kamu yah silahkan, tapi jangan kasar!" Tegur pamannya dengan wajah yang sudah terlihat emosi. "BUKAN URUSAN GUE!" Teriak Adi yang berharap semoga manusia-manusia sampah di rumah nya ini segera pulang. Melihat Adi yang tidak bisa diajak kompromi lagi, paman nya hendak memberikan pukulan malah mendapati Adi jatuh tidak sadarkan diri. Dan benar saja, ia berakhir di rumah mewah penuh kepalsuan milik keluarga pamungkas itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN