Bab 37 : Kembara

2347 Kata
Widyo pamungkas & adyo pamungkas. Adalah dua orang yang berbeda dengan wajah yang sama! Hah? Adi dan Kevin saling lirik satu sama lain setelah membaca ini, jujur saja ini sangat di luar logika mereka, sebelum nya mereka berpikir jika pamungkas yang masih ada sekarang memang merupakan adik dari pamungkas yang dulu namun tidak memiliki keterikatan darah sebab mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Mengetahui fakta yang sangat mengejutkan seperti ini, Adi semakin berpikir alasan menghilangnya Widyo sesaat setelah dua tahun ayah nya lahir. Dan dari keterangan ayah nya dulu, sang kakek pergi menuju salah satu kota dan tidak kembali sampai detik ini. "Anjir kaget gue di kakak beradik. " Histeris Kevin menatap sebuah gambar dua anak kembar dengan pakaian yang sama dan juga potret Widyo dengan adyo di pesta pernikahan. "Fakta ini di sembunyikan atau gimana? Kenapa om Rendy gak bilang kalau kakek itu kembar?" Kevin menggeleng, ia pun tidak tahu alasan ayah nya yang satu ini. Atau jangan-jangan ayah nya juga tidak Mengetahui nya? "Di, apa mungkin kakek Widyo yang asli sebenarnya masih hidup?" "Gak mungkin, ini udah puluhan tahun yang lalu, kalaupun masih hidup masa iya gak balik ke rumah nya." "Tapi kan belum ada keterangan Widyo meninggal dunia. " Adi terdiam sejenak. "Gak, kakek gak mungkin masih ada. Lagian nih yah, nenek sama pamungkas sekarang atau adyo itu turun ranjang, dan semua orang tahu." Hening. Keadaan hening seketika dan masing-masing dari mereka saling lirik satu sama lain dengan pikiran yang semrawut memikirkan semua nya. Kemungkinan kemungkinan yang terjadi mengitari otak mereka berdua. "Adyo pamungkas. Yang selama ini kita kenal cuma adyo pamungkas, kita gak tau mana Widyo. Jadi yang bangun perusahaan ini siapa sebenarnya?" Adi menatap foto kedua orang tuanya yang ada di dinding kamar. Mereka sedang berada di rumah miliknya yang menjadi markas paling aman, meski tidak menutup kemungkinan cepat atau lambat ini semua akan terbongkar sih. Keduanya tenang dengan pikiran masing-masing, well ini mungkin sangat membingungkan tapi fakta yang ada tentang kakeknya yang kembar menjadi tanda tanya besar mengapa fakta ini harus disembunyikan. "Di, laper gue. Lu gak laper?" "Laper, tapi mau makan apa?" "Masak gih, kan Mayan irit." Adi mendengus kesal. Well, ia akan selalu menjadi babu mau di mana pun ia berada. Lima belas menit kemudian kedua nya sudah asyik menikmati semangkuk mie yang telah Adi masak tadi. Kevin bahkan sudah hampir menghabiskan mie miliknya dan Adi bisa menyadari jika Kevin tengah melirik mangkuk mie miliknya. Mendengus kesal Adi akhirnya menggeserkan mangkuk itu ke arah Kevin yang seketika langsung membuat sepupunya itu melirik dengan penuh tanya. "Kenapa?" "Gak usah pura-pura gak tahu. Habisin, gue udah kenyang." "Serius? Wehh... Makasih, tahu aja kalau gue masih laper." Balas kevin cengegesan yang Adi lihat malah sangat mengesalkan. Dengan rakus dan seperti orang yang kelaparan, kevin membuat Adi bergidik ngeri. Bagaimana tidak, mie yang baru saja dimakan oleh pemuda di depannya sudah cukup banyak, di tambah lagi dengan miliknya, apa tidak meledak itu perut? "Di, nantiw... Sss... Kwalo-.." "Diem, habisin dulu itu mie baru ngomong." Kevin terkekeh dengan mulut yang penuh dengan mie yang selanjutnya ia telan dan akan terproses di dalam pencernaan nya. "Lempeng amat dah itu muka. Kenapa? Lo nyesel ngasih mie ini?" "Kalau boleh jujur pas lu tanya nyesel atau enggak nya yah nyesel sih. " "Woahh anjir. Nah ini makan ini nah." Kevin menggeser mangkok itu ke arah Adi dan langsung ditolak oleh Adi. "Gue becanda, baperan amat." Kevin dengan tidak tahu dirinya kembali menarik mangkok itu dan kembali menyantap nya. "Gue juga becanda. Ya kali serius." "Terserah, gue masuk kamar dulu." Kevin memberikan jempolnya tanpa menjawab apa pun. Sedang kan Adi tengah berjalan masuk ke dalam rumah, tapi sebelum itu ia akan menemui si mamang yang tengah berjaga malam di pos satpam depan rumah. "Mang, ngapain?" Tanya Adi yang melihat keseriusan wajah pria paruh baya itu menatap sebuah benda yang sepertinya berisi teka teki silang. "Biasa, Den. Biar gak bosen. Aden kok belum tidur?" "Belum, Mang. Baru masak buat kasih makan bayi monyet," jawabnya dengan kekehan di akhir dan gelak tawa si mamang. "Aden ada-ada aja. Den Kevin ganteng gitu dikatain anak monyet, nanti tuan Rendy marah loh." "Mana bisa om Rendy marah sama Adi, Mang. Anak kesayangan ini." "Hahahah... Iya juga yah, Den. Lagian Aden kenapa gak bangunin Bibik aja? Kan Bibik juga belum tidur itu jam segini." Adi yang tengah membaca soal di teka teki silang itu menggeleng pelan . "Gak akh, kasihan Bibik udha capek beres-beres. Tapi kok tumben Bibik belum tidur?" "Si Bibik lagi tergila-gila sama si Tae mo dari negeri gingseng, Den. Mamang sampe ngeri liat nya." "Tae mo? Siapa itu?" "Itu loh yang pemainnya rata-rata punya mata sipit, putih mulus. Ada di dragon " Mendengar ini Adi langsung tertawa terpingkal-pingkal mendengar Mamang yang salah dalam penyebutan. Dragon kan naga. Ada-ada aja si Mamang. Akh! Adi tahu siapa yang sedang dibicarakan mamang nya. Ia memang tidak tahu yang mana artis yang bernama Tae mo. Tapi sudah pasti itu merupakan artis Korea yang berada di salah satu Drakor. "Drakor mang, bukan dragon," ujar Adi meluruskan kesalahan pria paruh baya yang sudah ia anggap sebagai ayah sendiri ini. "Sama aja, Den. Lagian sama-sama dra." "Ya ya ya ... Terserah mamang aja dah. Adi masuk dulu yah, mamang hati-hati jaga nya, kalau emang ngantuk banget masuk aja ke dalem." "Siap den. " Adi berjalan menjauhi pos, niatnya ingin mengecek keadaan sang mamang malah keasyikan ngobrol dan tanpa sadar ia sudah... "DEN ADI, KOK UDAH DIISI SEMUA. MAMANG KAN JADI GAK ADA KERJAAN NYA." "HAHAHAH... MAAF MANG, KETERUSAN." Yah, sedari tadi sambil mengobrol ia juga sedang mengisi dan memikirkan jawaban dari pertanyaan teka teki silang, hingga tak sada jika semua soal yang tadinya berjumlah dua puluh menanjak dan dua puluh menurun sudah habis ia jawab semua. Lantaran tak ingin mamang nya sadar saat ia masih berada di sana, maka Adi langsung pamit untur diri kabur. "Kenapa itu mamang?" "ASTAGHFIRULLAH! ANJIR..." Adi terkejut setengah mampus begitu Kevin muncul secara tiba-tiba dari balik pintu yang ia buka. "Kaget anjir. Lu mah pengen gue mati muda kan?" "Mana ada, gue mah doa nya elu nanti dulu matinya." "Kenapa?" Tanya Adi curiga, meski jauh di dalam lubuk hatinya ia sudah menduga jawaban pemuda itu seperti apa. "Soalnya lu belum punya harta warisan jadi gue gak bisa mindahin aset, hahahaha." "Ye, si anjir! Mending lu urus dah tuh si kakek yang kembar. Gue mau tidur dulu di atas." "Kakek yang lu maksud juga kakek lu juga kamvret! Giliran hartanya aja lu mau ngakui dia kakek, giliran yang kayak gini lu mana mau." "Yah bodo, gue mah realistis. Gak mau yang namanya baik banget, harus ada jahat- jahat nya juga. Hahahaha." Keduanya memilih untuk menginap malam ini di rumah miliknya, akan tetapi laporan kepada pamungkas jika mereka tidur di markas. Dalam artian mereka telah berbohong. Adi merebahkan diri di atas ranjang yang sudah lama ia tinggalkan, sedangkan Kevin ia memilih tidur di kamar sebelah Adi yang memiliki ukuran lebih kecil lantaran itu dulu sengaja dibuat jika sewaktu-waktu ada keluarga yang menginap dan kamar tamu tidak muat. Sebenarnya rumah ini memiliki tiga kamar, akan tetapi kamar tamu sendiri sudah dipakai Bibik. Adi menatap ke arah jendela kamar nya yang menghubungkan langsung ke arah taman depan. Segala pemikiran berkecamuk di dalam otak nya. Ini masih identitas saja yang ia tahu, bagaimana jika ia mengetahui lebih dari ini? Yang ada bisa gila dirinya. Sangking asyiknya melamun, secara perlahan-lahan mata Adi terpejam padahal baru saja menunjukkan pukul sembilan malam. Dan ini belum masuk jam tidur Adi yang akhir-akhir ini selalu tengah malam. Tok! Tok! Tok! "Adi, bangun di." Adi yang mendengar itu pun langsung membuka matanya melihat ke arah pintu dengan heran, kenapa ada suara sang kakek? Dengan cepat ia membuka pintu dan benar saja di sana sudah ada pamungkas, om dan Tante nya. "Ada apa?" Tanya nya dingin. Dan Adi baru sadar jika ia berada di mansion keluarga nya, yang artinya ia telah berada di dunia mimpi yang penuh petunjuk itu. "Ayo turun." Ajak pamungkas dengan tegas. Mau tidak mau Adi mengikuti langkah tiga orang di depannya, dan ia langsung terkejut begitu melihat polisi yang sedang duduk di sofa ruang tengah, ada apa ini? Tanya nya dalam hati. Tapi ia memilih diam dan mengikuti arus permainan dari para b*****h yang sial nya adalah keluarganya sendiri. "Dek Adi, mari ikut kami dulu ke kantor." Kantor? "Maaf, atas kasus apa saya harus ke kantor?" "Ini perihal kematian pelayan kemarin, kamu harus ikut sama mereka. Karena saat itu hanya kamu satu-satunya saksi kejadian, dan bisa saja kamu tersangka nya." Adi menatap orang yang berbicara itu yang tak lain adalah om nya, dari sini ia bisa melihat senyum sinis penuh kemenangan. Seolah memang sengaja memasukkan nya ke dalam jeruji besi. "b******n!" Gumam nya yang bisa dipahami sang paman. Sontak hal ini membuat pria yang umurnya beda jauh di atas nya itu menggeram marah. "Bawa saja langsung, Pak. Bila perlu kurung sekalian." Adi menatap kakek nya dengan tajam. Pria tua Bangka itu bahkan hanya diam tidak melakukan apa pun, seolah semua ini memang disengaja dan ia hanya bisa diam untuk saat ini melihat apa saja yang akan dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki otak seperti mereka. "Baik, mari dek." "Oke pak, saya ikut." Kepergian Adi tentunya membuat semua orang yang berada di sana merasa senang. Sebab halangan mereka untuk tujuan tertentu bisa segera terlaksana. Berbeda dengan anak-anak nya, pamungkas malah diam menatap kepergian Adi. Jauh di dalam lubuk hatinya ia sangat menyayangi Adi, sebab anak itu sudah sedari kecil memiliki kehidupan yang rumit. Kedua orang tuanya sudah tidak ada tepat di hadapannya. Entah bagaimana mental Adi yang sebenarnya tapi ia bisa tahu jika ada Luka di sana. Hari ini akan segera ia bereskan semua, biarlah anak-anak nya yang berencana sedangkan ia yang menggagalkannya secara sembunyi-sembunyi. "Yah, mau ke mana?" Pamungkas menghentikan langkah nya yang ingin naik ke lantai atas. "Mau ke ruang kerja." Karena tidak ada lagi yang menyahut, pamungkas segera berjalan menapaki tangga yang menuju lantai dua tempat kamar kedua cucunya berada. Ia tidak ingin ke ruang kerja, itu hanya bohong semata. Dan kini tangannya sudah membuka pintu kamar dan masuk ke dalam nya. Untuk seukuran pemuda urakan seperti Adi, kamar ini sangat rapi sekali. Semua tersusun rapi baik buku yang ada di rak maupun baju-baju yang sebagian ada di gantungan. Mata nya tak sengaja melirik sebuah figuran yang berada di atas tv yang ada di kamar. Kehangatan sangat terasa sekali meski hanya melihat sebuah gambar yang sengaja dibuat dengan ukuran besar. "Widyo, nama itu sengaja saya beri untuk mengenang kakak saya. Tapi ternyata nama itu membuat kamu bernasib sama dengan ayahmu meninggalkan anak yang masih butuh kasih sayang seorang ayah, bahkan anakmu juga kehilangan ibunya dalam waktu bersamaan." Pamungkas menunduk dalam. "Ayah tau, kalau ayah salah, Wid. Ayah salah karena membuat keadaan semakin runyam dan tidak segera menyelesaikan nya. Bahkan membiarkan Adi hidup sendirian di sana." Sekali lagi pamungkas atau Adyo melihat ke arah figuran itu dengan sendu. Ia sangat menyayangi Widyo, keponakannya yang menjadi anak tirinya juga. Kakak nya meninggal dunia setelah terlibat cekcok dengannya dan memang hal ini ia sembunyikan semata-mata hanya untuk menghargai keputusan istrinya yang juga istri dari kakaknya untuk tidak lagi mengungkit masalah ini. Jika mengingat masa lalu, rasanya Adyo sangat menyesal hari itu ia bertingkah anarkis sampai membuat sang kakak meregang nyawa. Padahal kalau saja ia bisa menahan emosinya mungkin kejadian ini tidak akan terjadi. Terlebih ketika anak-anaknya tahu mengenai harta yang dimiliki keluarga pamungkas merupakan milik widyo seluruhnya. Mereka semua menyusun siasat yang ingin menguasai harta tersebut. Memang yang sebenarnya adalah, perusahaan yang mereka jalankan sekarang dan segala aset keluarga pamungkas adalah milik sang kakak yang setelah meninggal maka ia yang mengelolah nya, telah tertulis secara jelas bahwa harta itu sepenuhnya milik sang keponakan Widyo yang sudah meninggal dan secara tidak langsung semua telah jatuh ke tanya Adi. Cucu nya. Surat wasiat itu juga masih berada di tangannya dan ia tempat kan di tempat yang aman. Menghela nafas kasar, adyo keluar dari kamar dan menguncinya kembali dengan kunci cadangan yang ia punya. Ia akan mengunjungi sang cucu guna memastikan Adi baik-baik saja. Rasanya sangat tidak tenang jangan ka belum melihat keadaan Adi secara langsung. "Ayah mau ke mana?" Tanya putra sulung nya yang berada di ruang tengah, sepertinya mereka tengah berpesta ria karena berhasil membuat cucu malangnya itu masuk ke dalam jeruji besi. "Mau lihat Adi," jawab jua singkat. Ia bisa melihat raut wajah anaknya yang langsung berubah menjadi kecut. Ia tidak mau menanggapi apa pun melainkan langsung keluar dari mansion. "Ngapain kamu?" Tanya nya begitu melihat sang putra ikut serta bersama nya. "Mau liat dia juga. Mana tau udah mati." Entah kenapa adyo merasa sangat emosi mendengar nya . Tapi tidak ingin menunjukkan secara langsung, ia memilih untuk berjalan membiarkan anaknya itu untuk ikut. Sedangkan di lain tempat Adi sudah berada di dalam jeruji besi karena kasus pelayan kemarin. Ia sudah tertuduh menjadi tersangka tanpa ada nya prosedur yang harusnya tidak langsung menjadi tersangka seperti ini. Mendengus kesal, Adi memilih untuk duduk bergabung dengan tahanan yang lain. Ia bisa melihat beberapa tahanan sudah tua renta. "Dek, masih muda kok udah masuk bui aja?" Tanya salah seorang tahanan yang menurut Adi tidak menunjukkan tindak kejahatan di sana. "Salah paham, Pak." "Salah paham gimana?" Tanya tahanan yang paling pojok. Adi melihat ke arah mereka yang ternyata tengah berkumpul menunggu ia bercerita. Akh! Ia jadi seperti tengah mendongeng. "Yah gitu, permainan orang kaya." "Kamu berasa dari orang miskin? Tapi pakaian kamu tadi kayak orang punya." "Tau keluarga pamungkas?" Beberapa orang mengangguk, sedangkan yang lainnya menggeleng. "Gue cucu dari Pamungkas." Akunya yang membuat mereka terkejut . "Hah? Daebak, keren banget." Adi terkekeh miris mendengar orang lain yang menganggap kehidupannya enak, padahal jika mereka tahu mungkin lebih baik tinggal dengan keluarga sederhana yang biasa saja. Dari pada hidup dengan harta melimpah tapi sengsara. "Terus salah paham gimana? Paling bentar lagi kamu keluar dari sini." "Salah paham karena ada pelayan yang mati di mansion." "Terus kamu dituduh?" Adi mengangguk, ketika hendak menjawab, namanya dipanggil keluar karena ada yang mengunjungi. Ia pamit keluar mengikuti polisi tersebut. Hingga ia dapat melihat sang kakek dengan pamannya yang berdiri tepat di kursi kunjungan.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN