Disinilah sosok itu sekarang, di dalam sebuah rumah megah yang pernah dia datangi sebelumnya. Namun kali ini statusnya sudah berbeda, dia sudah menjadi seorang istri dari seorang Dharmawangsa.
Amira kembali ke rumah ini sendirian setelah melakukan pernikahan, dia hanya diantar oleh seorang sopir. Karena begitu mereka selesai melangsungkan pernikahan, Dharma langsung pergi ke rumah sakit mengingat ibunya langsung pingsan dan dilarikan ke rumah sakit begitu Amira sah menjadi istri dari anaknya.
Amira sempat ingin ikut, tapi Dharma pergi begitu saja tanpa menghiraukan keberadaannya. Hingga akhirnya Amira diantar oleh seorang sopir ke kediaman keluarga Candrawiguna.
Yang Amira takuti adalah keberadaan Soraya. apa sosok itu sudah tau kalau dirinya menikah dengan Ayahnya?
"Nyonya Amira, kamar anda ada di atas. Mari saya antarkan."
Menaiki lantai dua, pelayan itu mengantarkan Amira ke sisi Barat dari rumah yang sangat besar, sisi yang mengingatkan Amira akan malam yang kelam tersebut. Tepat di sebuah ruangan Mini bar, dimana Dharma melakukannya diatas sofa.
"Ini kamar anda."
Dan sialnya kamar yang akan ditempati Amira itu bersebelahan dengan ruang yang sangat Amira benci.
"Terima kasih."
"Jika anda butuh sesuatu, panggil saja pelayan."
Amira mengangguk dan masuk dengan sebuah tas di tangannya, pamannya mengusirnya dari rumah, dia masih mencaci maki keluarga besar Candrawiguna dan baru terhenti setelah diberikan sejumlah uang yang dia inginkan.
Satu hal yang Amira heran, Dharma tidak meragukan anak di dalam kandungannya. Dia menikahi Amira saat itu juga. Apa dia mempercayainya begitu saja?
"Mungkin malu karena Paman terus membuat keributan," ucapnya.
Karena lelah, Amira langsung terlelap disana. Mengingat hari sudah malam, dan banyak kejadian hari ini yang benar-benar menguras tenaganya. Dari Soraya yang mengurungnya, pamannya yang menampar dan membuat keributan disusul dengan Ibu Desi yang pingsan setelah kelelahan melarang Dharma menikahi Amira.
Bahkan masih terngiang-ngiang perkataan wanita sepuh itu, "Dia mungkin bukan mengandung anakmu! Dia pasti p*****r yang ingin menjebakmu, Dharma! Jangan menikahinya!"
"Dia bukan dari keluarga terpandang, mereka pasti hanya menginginkan uangmu."
Dan itu benar-benar membekas dalam ingatan Amira.
Amira yang sudah terlelap tidak sadar seseorang masuk ke kamar tersebut, Dharmawangsa; seorang CEO Real Estate dan pemilik Yayasan tempat dirinya kuliah.
Pria yang sudah berusia 44 tahun itu membuka jasnya sambil menatap Amira yang terlelap. Dharma tidak menghiraukannya, dia masuk ke kamar mandi untuk membilas tubuh.
Merasakan keberadaan orang lain, Amira terbangun. Dan terkejut ketika melihat sosok yang baru saja keluar dari kamar mandi. Hanya dengan memakai handuk yang melilit di pinggang, memperlihatkan tubuh yang atletis dan dipenuhi oleh otot.
"Sudah makan malam?" tanya Dharma dari arah walk-in closet.
Amira menggeleng sebagai jawaban. "Bagaimana keadaan Nyonya Besar?"
"Panggil dia ibu, dia mertuamu."
Amira menggigit Bibir bawahnya, kemudian kembali bertanya, "Bagaimana keadaan ibu?"
"Soraya sedang menemaninya, dia akan pulang besok."
"Soraya tahu?"
"Tahu apa?" tanya Dharma sambil melangkah keluar dari tempat ganti.
"Kalau Bapak menikahi saya?" tanya Amira dengan suara yang sangat pelan, dia bahkan menarik kakinya untuk lebih dekat dengan anggota tubuhnya yang lain. Duduk dengan posisi yang membuatnya terlihat begitu mungil.
"Dia tahu."
Jawaban itu membuat jantung Amira berdetak lebih kencang, tentu saja dia takut. Khawatir Soraya tidak akan menerimanya.
"Dan jangan memanggil saya dengan panggilan bapak, saya bukan ayahmu. Panggil saya dengan sebutan Mas."
"Huh?" Amira masih belum bisa fokus, ada banyak kekhawatiran, dan juga rasa takut ketika sosok itu mendekat dan duduk disampingnya.
Tanpa apa-apa dia menyentuh perut Amira. "Berapa minggu?"
Amira menggeleng.
"Belum diperiksa ke dokter?"
"Belum."
"Besok kita periksa, sekarang kamu harus makan dulu."
"Tapi ini sudah malam."
"Kamu tidak boleh tidur dalam keadaan kelaparan, terlebih ada anak saya di perut kamu," ucapnya mengulurkan tangan.
Awalnya Amira berdiri tanpa menghiraukan tangan sang suami. "Kita mau ke mana?"
Tapi Dharma menggenggam tangan Amira tanpa persetujuan perempuan itu. "Saya tidak tahu makanan apa yang kamu suka."
***
Tidak seburuk yang Amira pikirkan, pria itu menerimanya dengan tangan terbuka. Memperlakukannya dengan baik, meskipun belum meminta maaf atas kesalahannya. Melemparinya uang? Sudah seharusnya Dharma meminta maaf.
Namun semalam, Dharma menemaninya sampai menghabiskan makanannya. Mereka berdua tidur bersebelahan semalam, tanpa melakukan apapun, membuat Amira merasa aman.
Dan semuanya terasa begitu canggung untuk Amira, dia tidak tahu harus melakukan apa. Terlebih ketika dirinya bangun lebih dulu, Amira hanya diam dan menatap sekeliling kamar yang ukurannya sekitar 100 M2, begitu luas dan memiliki pemandangan yang sangat indah.
Ketika Amira masih memperhatikan sekelilingnya, dia tiba-tiba merasa mual. Dia menutup mulutnya dan berlari ke kamar mandi seketika.
"Hoekk.... hoek....."
Amira yang muntah itu membangunkan Dharma, membuat pria itu bergegas mendekati istrinya, dan mengurut tengkuknya dari belakang.
"Masih mual?"
"Sudah mendingan," ucap Amira membasuh wajahnya
Dharma membantu perempuan itu untuk duduk di sofa, kemudian memberikannya segelas air.
"Hari ini kita akan ke rumah sakit untuk memeriksa kandunganmu dan menjenguk ibu saya."
Amira mengangguk. "Apakah saya boleh kuliah setelah melakukannya?"
"Tidak, kamu tidak boleh kuliah dalam keadaan yang hamil."
Hal itu membuat Amira berkaca-kaca, jangan yang tidak mudah untuk mendapatkan beasiswa tersebut.
"Kamu boleh kuliah lagi jika sudah melahirkan nanti, untuk saat ini fokus aja di rumah dan menjaga kandungan."
"Tapi....."
"Bukan hal yang sulit untuk saya menguliahkan dirimu lagi."
Setelah perdebatan hal itu, akhirnya Amira menerima keputusan Dharma. Perempuan itu terdiam sambil menunduk, memainkan jemarinya.
"Saya akan bertanggung jawab atas semua yang saya lakukan," ucap Dharma. "Bersiaplah," lanjutnya. "Saya akan mandi di kamar mandi luar."
Setelah Dharma keluar dari kamar itu, Amira menghela nafasnya dalam. Dia memegang perutnya yang masih datar, meminjamkan matanya berharap nasib buruk nya tidak menurun pada anak itu.
Dia mandi dan bersiap, setelahnya keluar dari kamar itu. Di mana Amira berpapasan dengan seorang pelayan.
"Nyonya Amira, baru saja saya ingin menemui Anda."
"Ada apa memangnya?" Amira masih belum terbiasa dengan panggilan itu.
"Sarapan sudah siap, Tuan Dharma sudah menunggu Anda di sana."
Amira melangkah dengan ragu-ragu, belum terbiasa dengan semua ini. Tapi berbeda dengan pria yang kini menjadi suami, seolah tidak terganggu dengan keberadaannya.
Hanya ada keheningan ketika mereka sarapan, berdua saja. Setelahnya Dharma mengajak Amira untuk pergi ke rumah sakit.
Digenggamnya tangan itu saat menuruni tangga, kemudian saat dalam perjalanan kembali diisi oleh keheningan.
Jantung Amira tidak karuan ketikan Dharma mengajaknya memeriksakan kandungannya. Memperlihatkan keadaan janinnya yang baik baik saja, berusia 3 minggu dan sangat sehat.
"Vitamin dan susunya bisa diambil di apotek ya, Pak."
"Terima kasih," ucap Dharma kembali menggenggam tangan Amira.
"Kita lihat Ibu dulu."
Kalimat itu membuat senyuman Amira luntur, dia takut.
Dimana ketika pintu ruang VIP itu terbuka, memperlihatkan dua sosok wanita yang menatap Amira dengan tajam. Terlebih lagi Soraya, yang sedang memegang pisau untuk mengupas buah di tangannya.
Wajahnya mengeras ketika melihat bagaimana sang ayah menggenggam tangan Amira.