Feiza tidak dapat mendeskripsikan perasaannya. Entah terkejut, sedih, kecewa, takut, terluka, atau bahkan perasaan lainnya. Yang jelas perasaan campur aduk itu ia yakini bukanlah perasaan bahagia.
Feiza merasa ingin menghilang saja dari dunia saat ini juga. Ia benar-benar tidak ingin berurusan dengan laki-laki yang kini ada di hadapannya. Hanya berdua.
Ya, hanya ada mereka berdua di ruang tamu berukuran 4 x 6 meter itu. Ayah dan ibu Feiza baru saja pergi beberapa menit yang lalu dengan alasan hendak ke pasar untuk berbelanja. Padahal Feiza rasa, tidak ada kebutuhan rumah atau dapur yang harus ibunya beli hari ini. Semuanya masih mencukupi.
"Feiza," panggil laki-laki itu lembut. "Kamu melamun?" tanyanya penuh perhatian menatap ke arah Feiza.
Feiza mengerjapkan matanya, balas menatap laki-laki yang duduk tepat di depannya hanya berbataskan meja kayu ruang tamu dengan bentangan jarak berkisar satu meteran itu lalu menundukkan kepala.
Feiza tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakannya. Ia benar-benar hanya ingin menghilang dari hadapan laki-laki yang sekarang diketahuinya berstatus resmi secara agama sebagai suami sahnya.
"Aku tahu kamu terkejut. Tapi aku janji akan menjadi suami yang baik untukmu dan membahagiakanmu," ucap laki-laki itu halus.
Feiza masih diam dengan kepala tertunduknya. Tiba-tiba saja ia merasakan setetes air mata sudah basah di pipi kirinya.
Kenapa harus dia?
Kenapa harus laki-laki itu yang menjadi suaminya?
Kenapa harus Feiza yang menjadi istrinya?
"Ini." Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah menyala dari saku celana dan meletakkannya di atas meja. "Cincin pernikahan kita," terangnya yang membuat Feiza tidak lagi sanggup membendung cairan larikmanya.
Dada Feiza terasa sesak.
"Kenapa harus aku, Gus?" Bibir kemerahan Feiza bergetar menyuarakan pertanyaan itu.
Laki-laki yang ditanyai Feiza mengangkat sebelah alisnya. "Apa?" tanyanya.
"Kenapa Gus menikahi saya?" Feiza memperjelas pertanyaannya dan menggunakan kalimat formal kepada laki-laki yang ada di depannya.
Laki-laki yang merupakan anak seorang kiai itu pun mengulas senyumnya. Ia terdiam selama beberapa lama. "Singkatnya, karena saya menyukai kamu," jawabnya ikut-ikutan menggunakan bahasa formal seperti Feiza.
Feiza langsung terkesima.
Tapi, tidak tidak! Ia tidak boleh larut dalam senyuman kelewat manis dan jawaban berisi pengakuan suka laki-laki berwajah rupawan yang ada di depannya.
Bisa saja itu hanya tipu daya setan yang sedang menggoda imannya. Ya, imannya---keyakinan Feiza untuk keukeuh menolak pernikahan ini.
Feiza pun mengesatkan air mata yang ada di wajahnya dengan ujung kain kerudung yang ia kenakan. "Tapi saya nggak mau menerima pernikahan ini," katanya mengangkat kepalanya lagi yang semula masih tertunduk.
Laki-laki itu mengernyitkan dahinya. "Apa alasannya?"
Feiza memutar bola mata mencari alasan yang beberapa waktu ini mengganggunya. "Saya belum siap jadi istri orang." Gadis itu berterus terang. "Saya masih mau menuntaskan pendidikan saya dan membanggakan orang tua saya. Saya mau jadi perempuan mandiri. Banyak hal yang saya impikan dan mau saya kejar. Dan saya rasa, hal-hal itu nggak akan bisa saya capai kalau menjadi seorang istri." Gadis itu membuat jeda.
"Menikah seharusnya belum menjadi porsi dalam hidup saya saat ini, Gus," lanjutnya. "Telebih, saya juga terancam nggak akan bisa lanjut kuliah karena akan kehilangan beasiswa akibat pernikahan ini dan berakhir langsung jadi ibu-ibu rumah tangga, yang saya sendiri, sama sekali nggak siap melakukannya." Panjang kali lebar Feiza berhasil mengutarakan keresahannya.
Laki-laki yang ada di depannya tersenyum tipis. "Saya bisa membiayai kuliah kamu," katanya. "Insyaallah saya juga mampu memenuhi apa pun yang kamu mau."
Feiza langsung tersenyum sumir. "Njenengan nggak ngerti, Gus," selorohnya sembari menggeleng. "Menikah akan membatasi pergerakan saya. Saya baru akan berumur 20 tahun. Banyak pengalaman di luar yang ingin saya cecap dan rasakan. Saya masih ingin jadi perempuan merdeka yang mandiri di atas kaki saya. Benar, saya memang ingin jadi perempuan sukses, tapi dengan jerih payah sendiri. Bukan bantuan orang lain."
Laki-laki itu terkekeh. "Saya nggak akan batasi pergerakan kamu, Feiza!" katanya. "Kamu bisa mengejar mimpi dan mencari pengalaman sebanyak apa pun yang kamu mau. Saya temani kamu. Kepribadian kamu yang seperti ini jugalah yang saya cintai. Dan satu hal lagi, saya bukan orang lain. Saya suami kamu."
Feiza membeku. Lidahnya tiba-tiba terasa kelu karena tidak menemukan argumen lain yang bisa ia gunakan untuk mematahkan kata-kata laki-laki yang ada di hadapannya. Kepalanya juga terasa sedikit berdenyut secara tiba-tiba.
"Bagaimana, Feiza? Kamu tidak lagi ragu, kan, dengan pernikahan kita?" tanya laki-laki itu seraya tersenyum kepadanya. "Setelah lulus kuliah, kita resmikan dan daftarkan pernikahan kita di negara. Saya akan menunggumu. Keluarga besar kita pun begitu. Sekarang, tolong pakai cincin ini, ya?"
Feiza hanya bergeming mendengarnya.
Ia baru sadar, kenapa laki-laki ini tiba-tiba jadi begitu ramah dan sabar kepadanya? Sangat berbeda jauh dengan kepribadiannya di kampus yang cenderung dingin dan tidak sabaran alias sedikit pemaksa sepanjang Feiza mengetahuinya.
Namun, kenapa yang di depannya ini seolah bertolak belakang?
Laki-laki ini ... orang yang sama dengan yang dikenalnya di kampus mereka, bukan?
Apa yang sebenarnya dia rencanakan?
"Kamu melamun lagi, Fe?!"
Laki-laki itu menggoyangkan telapak tangannya beberapa senti di depan wajah Feiza, yang kontan, langsung mengembalikan kesadaran dan fokus gadis itu.
"Ah. Nggak ada." Feiza menggelengkan kepalanya. "Maaf, Gus. Tapi sepertinya aku belum bisa pakai cincin itu," katanya lagi yang kini sudah kembali berbicara dengan aku-nya.
Laki-laki yang ada di depan Feiza merekahkan senyum pemaklumannya. "Oke. Nggak pa-pa. Tapi kamu simpan, ya." Ia menyodorkan kotak beludru merahnya lebih dekat ke arah Feiza. "Aku akan sabar menunggumu memakainya." Ia sudah kembali memakai aku-nya juga.
Feiza pun menghela napas menatap kotak beludru merah yang ada di depannya itu. Meraihnya dan pelan membukanya.
Seketika mata Feiza langsung membola ketika melihat benda berkilauan yang ada di dalamnya. Itu bukan cincin biasa. Namun, sebuah cincin emas putih bertahtakan berlian di tengah-tengahnya.
Jantung Feiza langsung bertalu-talu.
"Semua ini nggak akan berhasil, Gus," ucapnya kemudian menutup kembali kotak yang dipegangnya dan menyodorkannya lagi ke depan pemiliknya.
"Kenapa lagi, Feiza?" tanya laki-laki itu.
"Aku nggak bisa menerima cincin itu. Itu terlalu mahal. Kalau hilang, aku nggak akan mampu segera mengembalikan." Feiza beralasan. "Semua ini sangat terlalu mendadak, Gus. Aku nggak tahu alasan njenengan mau menikah denganku yang bahkan nggak sekufu dengan njenengan. Entah apa yang sebenarnya bisa njenengan suka dariku yang seorang gadis biasa. Tapi kurasa, pernikahan ini nggak akan berhasil pada akhirnya. Toh, kita nggak saling cinta. Aku sendiri ragu apakah benar njenengan menyukaiku. Dan jujur, aku tidak mencintai njenengan. Bagaimana mungkin pernikahan ini dipertahankan? Belum terlambat. Kita menikah hanya secara agama. Kalau berpisah, nggak perlu ngurus surat ataupun lain-lainnya." Ia berusaha meyakinkan laki-laki yang ada di depannya.
Laki-laki itu diam-diam menghela napas. "Nurul Faizah Az-Zahra." Ia tiba-tiba menyebut nama lengkap Feiza dengan suara beratnya. "Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu yakin bertahan di sampingku, hm?" Gus muda itu menjeda. "Cinta, ya? Bagiku bukan masalah jika kamu belum mencintaiku dalam pernikahan ini. Aku yakin, cepat atau lambat aku akan membuatmu jatuh cinta. Lagi pula, aku pernah mendengar seseorang menyebutkan sebuah kutipan yang menurutnya dia suka dan langsung kusuka juga. Orang itu bilang, sungguh indah menikah dengan orang yang kamu cintai. Tetapi, lebih indah lagi mencintai orang yang kamu nikahi."
Feiza langsung tercekat.
"Dan kamu tahu siapa orang yang mengatakannya? Itu adalah kamu, Feiza." Laki-laki itu menunjukkan seringaiannya. "Saat itu kamu sedang menjadi pemantik di acara diskusi yang diadakan organisasi eksternal fakultas kita yang bertemakan wanita dan gerakannya."
Feiza langsung tidak dapat berkata-kata.
Bagaimana bisa?
Bagaimana bisa argumentasi panjang yang disusunnya untuk membuatnya kembali bebas dari pernikahan yang tidak diinginkannya dengan mudah dipatahkan seperti itu oleh laki-laki yang ada di depannya?
Terlebih, laki-laki itu mematahkan argumennya menggunakan kalimat yang dikutip dan diucapkan oleh Feiza sendiri.
Sungguh sangat sial sekali!
Bagaimana bisa dirinya juga lupa dengan siapa ia tengah berurusan?
Muhammad Furqon Al-Akhyar. Most wanted boy di kampus yang kini tengah menjabat sebagai salah satu ketua himpunan mahasiswa di fakultasnya. Senior satu tingkat di atas Feiza yang meski tidak berada di jurusan yang sama. Namun, masih cukup sering bersinggungan dengannya karena berada di fakultas dan mengikuti organisasi mahasiswa eksternal kampus yang sama pula. Contohnya di acara diskusi yang sudah disebutkan oleh laki-laki itu tadi.
Dia yang sering dipanggil Gus Furqon karena memang putra sekarang kiai itu adalah ketua HMJ yang sedang berada di akhir masa jabatannya dan kini sedang digadang-gadang akan menjadi presiden mahasiswa fakultas dalam pemilihan tahun ini. Pemilihan yang sama, yang sebenarnya akan Feiza ikuti juga dengan ia yang akan mencalonkan diri sebagai ketua HMJ di jurusannya dan Fahmi yang akan maju sebagai wakilnya.
Feiza lupa kalau Furqon seorang veteran yang juga sangat mahir dalam debat. Ia begitu terkenal dengan ilmu, pemahaman, dan retorikanya. Tidak mungkin bagi Feiza yang masih seorang pemula bisa begitu mudah menang darinya.
"Jangan mencari-cari alasan lagi, Feiza. Ambil cincinnya. Simpanlah jika kamu memang belum mau memakainya."
Kalimat bernada halus yang diucapkan oleh Furqon itu kemudian malah terdengar seperti ultimatum di telinga Feiza, yang pada akhirnya, gadis itu sama sekali tidak bisa menolaknya.
Ya Allah Gusti ... kenapa harus laki-laki menyebalkan ini?
Tbc.