Furqon membawa Feiza masuk ke dalam sebuah bangunan rumah yang begitu besar dan megah setelah melepas alas kaki masing-masing di depan teras rumah yang berundak. Tembok rumah itu berwarna cream nyaris putih tulang senada dengan lantai keramiknya dengan pintu dan jendela yang berbahankan kayu jati bercatkan warna cokelat tua.
Sofa yang ada di ruang tamu berwarna putih gading dengan beberapa kaligrafi indah yang menghiasi dinding, juga sabuah gambar Ka'bah berukuran besar di salah satu sisinya. Karpet dan permadani yang tak kalah bagusnya juga menyelimuti lantai pada sebagian besar ruangan berukuran 5 x 6 meter itu.
"Assalamu'alaikum."
Furqon berujar mengucapkan salam. Tangan kirinya masih menggenggam tangan kanan Feiza dengan tangan kanan laki-laki itu yang menenteng kresek dan paper bag berisi oleh-oleh jajanan khas Jombang yang sebelumnya telah dibelinya.
"Assalamu'alaikum, Umi." Furqon mengucap salamnya lagi.
"Wa'alaikumussalam."
Tak berselang lama, suara seorang wanita menyahut kemudian memunculkan sosoknya dari pintu penghubung ruang tamu dan ruang keluarga.
Seorang perempuan paruh baya bergamis cokelat dan berkerudung lebar dengan warna hitam yang terlihat begitu cantik. Seolah-olah, kecantikannya itu menolak dimakan usianya yang tidak lagi muda.
"Masyaallah, Furqon, Zahra. Kalian sudah sampai?" Perempuan yang Feiza yakini sebagai umi Furqon itu berjalan mendekat sembari mengulas senyuman.
Tapi, tunggu! Furqon dan Zahra? Siapa itu Zahra? Kenapa Umi Furqon menyebut nama perempuan itu setelah nama putranya?
Feiza langsung menatap linglung bergantian ke arah Furqon dan uminya.
Di sisi lain, Furqon langsung meletakkan barang bawaannya yang ada di tangan kanan ke atas lantai dan melepas tangan Feiza yang dipegang tangan kirinya untuk menyalami sang umi yang sudah ada di hadapannya. Ia juga sedikit membungkukkan tubuh untuk mencium dalam punggung tangan perempuan yang telah mengandung dan melahirkannya itu.
"Zahra." Umi Furqon kemudian beralih menatap antusias ke arah Feiza.
Meski Feiza tidak paham mengapa Umi Furqon memanggil nama Zahra sembari menatapnya, gadis itu tetap meraih tangan perempuan paruh baya itu dan mengecupnya. Ia bahkan dibuat terkejut ketika belum selesai salamannya, perempuan paruh baya itu malah mengajaknya cipika-cipiki kemudian merangkul erat tubuhnya.
Feiza benar-benar tidak mengerti akan apa yang terjadi. Namun meski begitu, ia kemudian tetap menyerahkan buket bunga mawar yang ada di tangannya pada Umi Furqon begitu perempuan itu melepas pelukan mereka.
"Niki ... kagem, Bu Nyai," kata Feiza memberikan bunga itu.
"Masyaallah. Matur nuwun ya, Nduk." Perempuan paruh baya itu dengan senang hati menerimanya. "Kenapa memanggil Umi Bu Nyai? Panggil Umi, ya! Kamu sekarang kan anak Umi juga," lanjutnya tertawa.
Furqon langsung tersenyum kecil di samping Feiza.
"I-iya, Umi," jawab Feiza mencicit.
Jika Feiza sedang tidak memakai masker di wajahnya, pasti akan terlihat jelas bagaimana ekspresi syok, bingung, dan terkejut Feiza yang tampak lucu di balik masker berwarna putih itu.
"Ya sudah, kamu pasti capek habis perjalanan jauh, Nduk. Istirahat dulu, ya. Abah juga masih ada di pondok putra mulang ngaji cah-cah santri. Nanti kita ngobrol lagi. Terima kasih sudah membawakan Umi bunga secantik ini," tutur Umi Furqon kepada Faiza. "Le, istrimu ajak'en istirahat dulu sana! Kalian pasti capek," lanjutnya menatap sang putra.
"Nggeh, Mi." Furqon langsung mengangguk. "Ayo!" Ia kemudian kembali menggandeng tangan Feiza lantas mengajaknya masuk ke dalam setelah mengambil kresek dan paper bag oleh-oleh yang sebelumnya Furqon taruh lantai.
Feiza yang masih tidak mengerti atas apa yang baru saja terjadi hanya diam dan menurut pada Furqon yang membawanya. Mereka berhenti sebentar di ruang tengah untuk meletakkan oleh-olehnya ke salah satu meja yang ada di pinggir ruangan itu lalu Furqon menggandeng Feiza menaiki tangga untuk pergi lantai dua.
Feiza baru mendapat kembali kesadarannya saat ia dan Furqon sampai di depan pintu salah satu ruangan.
Dengan cepat, Feiza melepaskan tangannya dari genggaman tangan Furqon. "Ki-kita di mana, Gus?" tanyanya.
Furqon menatap Feiza dengan sebelah alisnya yang terangkat heran. "Di depan kamarku," jawabnya.
"Hah?" Mata Feiza langsung melebar. Ia menatap horor ke arah Furqon.
"Ayo masuk! Umi menyuruh kamu istirahat dulu tadi," ucap Furqon lagi yang kini sudah membuka pintu kamarnya lebar-lebar dan menyuruh Feiza masuk ke dalam bersamanya.
Feiza langsung menelan keras salivanya. "Ke-kenapa harus di dalam kamar?" tanyanya.
Furqon mengerutkan kening lalu tertawa kecil mendengar pertanyaan Feiza itu. "Ya, memangnya mau di mana lagi," jawabnya. "Sudah. Ayo masuk, Fe!"
Tanpa menunggu respons Feiza, Furqon kembali menggandeng tangan gadis itu dan membawanya masuk ke dalam kamarnya.
Sampai di dalam, Furqon langsung menutup pintu dan menguncinya kemudian berjalan ke arah jendela dan menyingkap tirai-tirainya, membuat pemandangan yang ada di luar terlihat jelas dari kaca jendelanya yang besar.
Jantung Feiza langsung berdebar-debar ketakutan. "Pintunya kenapa njenengan kunci, Gus?" tanya gadis itu masih dengan tatapan horornya.
Furqon kembali menghadap Feiza lalu mengangkat sebelah alisnya menatap gadis itu. Kedua tangannya bersedekap di depan d**a. Ketika menyadari tatapan ketakutan Feiza, ia langsung terkekeh.
"Kamu takut aku macam-macam?" tanya Furqon menebas jarak yang ada di antara dirinya dan Feiza.
Feiza yang sadar Furqon semakin berjalan mendekat ke arahnya langsung memundurkan langkahnya hingga punggungnya menabrak badan pintu. Ia tidak bisa bergerak ke mana-mana lagi karena wajah Furqon sudah ada tepat di depan wajahnya saat ini.
Laki-laki itu menunduk dan sedikit merendahkan kepalanya agar wajahnya bisa sejajar dengan Feiza. Hidung bangir mereka bahkan nyaris bersentuhan karenanya dan Feiza bisa merasakan wangi mint menguar dari tubuh laki-laki yang ada di depannya. Sedangkan Furqon, ia juga bisa mencium harum Feiza yang serupa vanila.
Keduanya saling berpandangan.
Klek ... Klek ....
Tak lama kemudian, Feiza dibuat terhenyak ketika mendengar suara kunci pintu seperti sedang terbuka di belakang tubuhnya.
Gadis itu langsung melirik tangan kanan Furqon yang ada di samping pinggangnya dan menemukan tangan itu yang baru saja membuka kunci pada pintu itu.
"Mengunci pintu adalah kebiasaanku ketika masuk ke dalam kamarku, Fe," gumam Furqon tiba-tiba masih ada di depan wajah Feiza.
Feiza kembali menatap Furqon dan langsung menahan napas ketika hidung mereka bersinggungan tanpa disengajanya.
Furqon tersenyum melihat wajah Feiza yang memerah. Ia mengusap puncak kepala gadis itu dengan sayang beberapa kali menggunakan tangan kanannya lalu mundur dua langkah sembari kembali menegakkan badannya.
"Jangan takut! Aku nggak akan macam-macam." Furqon menjeda. "Setidaknya untuk saat ini." Laki-laki itu menambahi. "Lagi pula ini masih siang. Aku nggak mungkin macam-macam dengan kaca jendela yang tirainya kubuka lebar-lebar, Feiza."
Feiza bisa melihat Furqon yang tersenyum dengan cara menyeringai menatapnya.
Sedangkan di sisi lainnya, gadis itu juga bisa merasakan jantungnya yang berdetak dengan begitu cepat dan semakin menggila.
Ya Allah Gusti, jangan bilang laki-laki itu akan mengajaknya tidur bersama dan melakukan malam pertama?
Tidak. Feiza tidak siap. Ia tidak mau!
Tbc.