Bab 3

907 Kata
"Fe," panggil Fahmi setelah beberapa saat. "Iya?" sahut Feiza yang kini sibuk memasukkan pentol goreng tusuk ke dalam mulut dan mulai mengunyahnya. "Jadi, kamu belum pernah pacaran, ya?" Uhuk! Feiza hampir tersedak. "Fahmiii." Gadis itu langsung memelototi Fahmi dan menggeram. "Aku lagi makan!" protesnya. Fahmi menahan senyumnya. "Jawab aja, Fe," katanya. Feiza langsung menyambar gelas teh tawarnya dan menenggaknya tanpa sisa. "Iya lah. Kenapa tanya-tanya?" jawabnya kemudian dengan begitu tidak santainya. "Masa iya calon istrinya laki-laki salih, kaya, penyayang, cerdas, perhatian, dan yang gantengnya jiddan jiddan gini punya mantan? Nggak dong. Makasiih." Feiza kemudian kembali menyuap sebuah pentol goreng ke dalam mulutnya dan mengunyahnya. Fahmi dibuat tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan gadis yang ada di depannya itu. "Sombong amat," ejeknya. Feiza tidak menghiraukannya. "Biarin. Bodo amat." Feiza tetap menyantap pentol gorengnya dengan tenang. "Sombong dalam hal kebaikan itu jaaauh lebih baik daripada sombong dalam kemaksiatan," tambahnya melirik sebentar ke sejoli non-halal beberapa meter di sisi kanannya. Fahmi mengikuti arah pandang Feiza lalu lagi-lagi mengulas senyum kecilnya. "Tahu, nggak, Fe? Kamu yang terus ngomongin Wisnu sama Tiara itu kayak cewek yang lagi cemburu," ucap Fahmi. "Hah? Enak aja! Buat apa cemburu sama mereka?" Feiza langsung tidak terima. Lagi-lagi Fahmi memasang senyum cerahnya. "Semua orang tahu, Wisnu dulu nyoba deketin kamu ketika Maba." Feiza merotasikan bola matanya. "Nggak usah bahas itu deh. Udah berlalu juga." Fahmi malah terkikik mendengarnya. "Nah, kamu julidin Wisnu sama Tiara karena masih nggak nyangka kan kalau setelah kamu tolak Wisnu malah jadian sama Tiara?" Feiza diam tidak mau membalasnya. "Kamu suka Wisnu, ya? Nyesel udah nolak pernyataan cintanya? Kamu sebenernya pengen nyobain yang namanya pacaran juga kan, Fe?" "Ya, enggak lah," bantah Feiza cepat atas pertanyaan beruntun yang dilontarkan Fahmi kepadanya. "Kalau aku mau pacaran, udah dari dulu kali, Mi," gumamnya. Fahmi menganggukkan kepala. "Aku heran, kenapa, ya, banyak banget yang menormalisasi pacaran? Padahal sebenernya mereka ngerti, loh, gimana hukumnya." Feiza menopangkan kepalanya di atas meja dengan tangan kanannya. Gestur yang tanpa disadarinya membuat Fahmi tersenyum kecil menatapnya yang menatap ke arah lain, seolah menerawang. "Hm." Fahmi memberi tanggapan hanya dengan menggumam dan masih menatap gadis yang ada di depannya. "Di kalangan santri-santri pondok aja, behh gila, kebanyakan mereka pacaran padahal tahu aturannya. Aku nggak habis pikir soal itu." Feiza melanjutkan. "Padahal di pondok malah ada hukumannya dari pengurus juga lho kalau ketahuan, tapi kok masih banyak yang nggak jera." Tidak mendengar sahutan dari orang yang diajaknya bicara, Feiza menghentikan acara topang dagunya, menatap laki-laki yang ada di depannya sembari menegakkan duduknya kembali. "Ngapain lihat aku kayak gitu?" tanyanya dengan gestur antipati kepada Fahmi. "Nggak pa-pa." Laki-laki itu menggeleng. "Aku jadi bertanya-tanya, oh jadi ini yang bikin Nurul Faizah nggak mau pacaran?" Ia mengulas senyuman. "Em." Feiza kembali mengangguk. "Tapi kamu pernah mikir nggak sih, Fe?" Fahmi sengaja menjeda. "Bisa aja, orang yang kita kira pacaran malah udah punya hubungan yang lebih jauh dari itu? Ya, cuma nggak di-publish aja. Contohnya Wisnu dan Tiara, siapa tahu mereka udah tunangan dan dikhitbah. Husnuzan aja. Atau, bisa jadi udah sah menikah, cuma kita aja yang nggak tahu. Makanya mereka berani berbuat mesra seperti itu." Feiza mengerutkan kening. "Hipotesis yang bagus," pujinya. "Masuk akal," bibir kemerahannya melengkungkan senyuman. "Tapi tetep sih, maaf, aku orang yang suka nyinyir kalau ada anak tokoh agama pacaran. Nggak make sense banget buat aku. Ya, karena aku nggak mau menormalisasi hal itu." Fahmi terkekeh. "Lalu kalau bukan anak tokoh agama, nggak pa-pa gitu, ya?" "Ya, bukannya gitu. Sama aja maksiat namanya." "Tapi buktinya kuperhatiin beberapa temen deket kamu pacaran tuh. Gimana kalau itu? Kamu nyinyir nggak?" Feiza diam sebentar. "Enggak sih. Cuma mbatin aja. Aku nggak mau ngerusak hubungan pertemananku," jawabnya lirih. "Kalau gitu kamu naif, Fe. Kamu menerapkan standar ganda namanya. Kamu menormalisasi temen-temenmu sendiri yang pacaran. Tapi kamu mengutuk orang lain melakukan hal yang sama, dengan dalih, orang lain itu anak tokoh agama yang seharusnya paham bagaimana hukumnya. Padahal nggak menutup kemungkinan, temen-temenmu yang katanya 'orang awam' juga sebetulnya paham, hukum laki-laki dan perempuan menjalin kasih sebelum sahnya ikatan pernikahan. Cuma mungkin, mereka nggak peduli aja kalah sama hawa nafsunya." Feiza menatap Fahmi sambil menggigit pipi bagian dalamnya. Apa yang dikatakan laki-laki berwajah tegas yang ada di hadapannya ini terasa seperti tamparan telak untuk dirinya. Kepala Feiza sedikit tertunduk. "Aku cuma nggak mau kehilangan temenku lagi," lirihnya. "Dulu, aku udah tahu gimana rasanya," lanjutnya lagi. Fahmi diam menatap Feiza. "Bukan temen sih. Tapi saudari sepupuku sendiri." Feiza melanjutkan. "Sejak kecil kami selalu bersama ke mana-mana. Kayak anak kembar. Setelah beranjak dewasa dan aku tahu dia pacaran sama seorang cowok, aku nggak terima. Aku marahin dia. Negur sih, sebenernya. Tapi kemudian, aku dikatain sok paling alim dan suci. Kami bermusuhan selama beberapa hari. Akhirnya tetep damai. Dia ngelanjutin hubungannya sama cowok yang menjadi pacarnya. Tapi, semenjak itu hubungan kami udah nggak sama lagi. Meski pada akhirnya, sepupuku itu putus juga sama pacarnya setelah beberapa bulan." Feiza menutup ceritanya dengan seulas senyuman sembari menatap Fahmi. "Karena itu, aku nggak pernah nyinyir langsung sama temen-temenku. Cuma, aku tetep berusaha ngingetin mereka semampuku dan negur mereka kalau tindakan pacarannya keterlaluan. Dengan cara yang halus tentu aja." Fahmi manggut-manggut menganggukkan kepala. Laki-laki itu meraih cangkir kopinya di atas meja dan pelan menyesapnya. Diam. "Inspiratif sekali cerita Anda, Nona," ucap Fahmi kemudian bernada jenaka sambil kembali meletakkan gelasnya. Feiza pun langsung dibuat tertawa mendengarnya. "Nggak usah ngece yaa, Anda!" cicitnya sambil menyipitkan mata. Fahmi langsung memasang ekspresi pura-pura takut, lantas bersama, keduanya sama-sama tertawa. Tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN