Bab 2 : Anak Yang Tidak Bisa Berbicara 2

1371 Kata
# Arruna memperhatikan saat anak yang dipanggil Gi itu memasuki toko rotinya. Anak itu terlihat tampan, sama seperti tadi pagi, padahal untuk anak-anak pada umumnya, seragamnya pasti sudah tidak karuan di jam pulang sekolah. Di luar seragamnya, ia mengenakan jaket berwarna biru abu-abu yang tidak dikancingkan. Gi—anak laki-laki itu melangkah ke meja kasir tempat Arruna berada dan menatap Arruna dengan tatapan malu-malu. Arruna tersenyum. "Halo apa kabar? Kita bertemu tadi pagi, kau ingat aku?" Tanya Arruna mencoba berbasa-basi. Gi mengangguk pelan. Tidak seperti pelanggan lainnya yang langsung menuju konter roti dan mengambil apa yang mereka inginkan, Gi tidak bergerak, ia hanya berdiri di depan meja kasir dan menatap Arruna. Saat ada pelanggan yang hendak membayar, ia hanya bergeser ke samping dan kembali memperhatikan Arruna melayani pelanggan. Di satu sisi, Arruna merasa ada keanehan dengan Gi, tapi di sisi lain, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena ia harus melayani pelanggan. Hari ini Alka, pemuda yang biasa membantu ibu dan kakaknya di toko tidak masuk karena sakit. Jadi karena itulah Arruna dan ibunya harus bergantian berjaga di meja kasir bersama Yani, pegawai yang satu lagi. Beberapa menit kemudian saat antrian selesai, Arruna keluar dari meja kasir dan menghampiri Gi. "Ada yang bisa tante bantu? Ada yang kau inginkan?" Tanya Arruna. Gi menatap Arruna sesaat dan kemudian menunjuk ke rak minuman dingin. Arruna akhirnya paham kalau Gi ingin mengambil s**u strawberry tapi tingginya tidak sampai ke rak dimana s**u itu berada. Arruna beranjak mengambilkan s**u itu, menscannya dan kemudian memberikannya kepada Gi. "Ada lagi yang kau inginkan?" Tanya Arruna. Gi menggeleng dan mengeluarkan uang seratus ribu rupiah dari kantongnya kemudian menyerahkannya pada Arruna. Arruna terpana menatap lembaran uang itu. Bagaimana bisa seorang anak yang tampaknya masih duduk di bangku kelas satu atau dua Sekolah Dasar sudah diberi uang jajan sebanyak itu? Arruna memberikan kembalian uang itu kepada Gi dan Gi langsung melangkah ke tempat duduk yang sama dengan yang ditunjukkan oleh ibu dan kakaknya tadi pagi. "Runa, kau sudah lapar? Mama sudah selesai memanggang roti terakhir pergilah makan." Arruna berpaling menatap ibunya dan mengangguk. " Ma, Gi itu....anaknya memang agak aneh ya? Dia sama sekali tidak bersuara saat aku bertanya." Tanya Arruna sambil berbisik. Ibunya berpaling menatap ke arah anak bernama Gi itu. "Bukan aneh. Dia tidak bisa berbicara. Dia bukan tuna rungu, dia hanya tidak bisa berbicara." Ucap Nyonya Wina. Arruna terdiam. Ia paham sekarang kenapa Gi sama sekali tidak mengatakan apa-apa saat ia bertanya. Arruna beralih menatap Gi dan anak itu tampak menunduk. Susunya masih di hadapannya tidak tersentuh sama sekali. Arruna perlahan menghampiri meja tempat Gi berada. "Boleh...tante duduk disini?" Tanya Arruna. Gi mengangguk. Arruna duduk di hadapan Gi. Matanya sekilas melirik jam dinding yang sudah menunjukkan jam makan siang. "Namamu Gi kan? Kau sudah kelas berapa?" Tanya Arruna berbasa-basi. Gi meraih tas sekolahnya yang tergeletak di samping tempat duduknya dan mengeluarkan sebuah tablet berukuran sekitar delapan inchi. "1" Gi menulis di notes tablet itu dan menunjukkannya pada Arruna. Sekarang Arruna yakin kalau tidak ada masalah dengan pendengaran anak laki-laki kecil di hadapannya ini. Arruna tersenyum. Gi kembali menulis di tabletnya. "Gi, panggil apa?" Gi menunjukkan tulisan di tabletnya pada Arruna. "Panggil saja Tante Runa. Oh ya, jam berapa jemputan Gi datang?" Tanya Arruna. Gi menggeleng. "Sudah makan siang?" Tanya Arruna lagi. Gi kembali menggeleng. Arruna mengernyit. Dengan uang seratus ribu, anak kaya ini seharusnya bisa jajan apapun yang ia inginkan. "Gi tidak makan siang?" Tanya Arruna. Gi meraih tasnya lagi dan mengeluarkan sebuah kotak bekal dan mengeluarkan isinya. "Sushi?! Astaga....." Arruna berseru terkejut melihat isi kotak makan Gi. Anak lain, kotak bekalnya pasti nasi goreng dan mie goreng, tapi anak ini kotak makannya malah sushi dan bahkan ditata sedemikian rupa di kotak bekal khusus agar bentuknya terjaga. Gi tertawa melihat reaksi Arruna. "Mau?" Tulis Gi di tabletnya. Arruna memang suka sekali dengan Sushi, tapi ia tahu porsi sushi yang dibawa oleh Gi hanya cukup untuk satu orang. Jadi ia menolak. "Tidak terima kasih Gi, ini pasti disiapkan oleh ibumu agar kau memakannya. Jadi makanlah." Ucap Arruna. "Ini buatan koki di rumah." Tulis Gi ditabletnya. "Ohhh." Arruna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Terjawablah sudah teka-teki kenapa sushinya masih terlihat segar. "Mama pergi, karena benci Gi." Gi menatap sejenak tulisan di tabletnya dan memberikannya pada Arruna. Arruna terdiam membaca tulisan di tablet milik Gi. Ada sesuatu dalam diri Gi yang membuatnya begitu tertarik, seakan ia sudah merasa sangat akrab dengan anak ini. Gi masih menatap Arruna lekat-lekat. Ia seperti berusaha mempelajari ekspresi yang ditunjukkan Arruna. Arruna menarik napas perlahan. "Ini jam makan tante juga, kau mau tante temani makan disini?" Tanya Arruna akhirnya. Wajah Gi langsung berbinar mendengar tawaran yang diberikan Arruna. Ia mengangguk dengan cepat berkali-kali. Arruna tersenyum, hatinya menghangat. "Tunggu sebentar ya? Tante ambil makanan tante dibelakang." Ucap Arruna. Gi kembali mengangguk Arruna menghilang ke belakang dan sesaat kemudian ia sudah kembali dengan makanannya. Ia juga membawakan sepiring kentang goreng dan meletakkannya di samping Gi. "Bonus." Ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Gi. Gi tampak gembira. Ia memakan makanannya dengan lahap. Ia bahkan menghabiskan kentang gorengnya dengan cepat. Beberapa saat setelah mereka selesai makan siang, pria yang tadi pagi membeli roti dan s**u untuk Gi tampak memarkir mobil BMW hitam yang sama dengan tadi pagi di halaman toko. Ia langsung menghampiri Gi dan Arruna saat masuk. "Tuan kecil, maafkan saya terlambat karena tadi jalan kesini macet sekali." Gi hanya tersenyum senang dan berlari keluar mendahului sopirnya. "Terima kasih sudah mengijinkan tuan kecil menunggu disini. Saya sopir tuan kecil, panggil saja Pak Yadi." Ucap Pak Yadi memperkenalkan diri pada Arruna. Arruna tertawa. "Tidak apa-apa Pak." Ucap Arruna ceria. Pak Yudi tampak tertegun mendengar kalimat Arruna. "Jangan khawatir Pak Yadi, Gi akan selalu diterima dengan tangan terbuka disini." Ucap Nyonya Wina menimpali. "Bagaimana menurutmu Runa?" Lanjutnya. Ia bertanya pada Arruna sambil terus sibuk merapikan pajangan roti. "Tentu saja. Aku suka dengan Gi. Dia manis sekali." Ucap Arruna. Pak Yadi tampak memandang Arruna dengan tatapan terharu. "Te..terima kasih kalau begitu Nyonya." Ucap Pak Yadi. Dahi Arruna berkerut sejenak saat Pak Yadi sudah pergi. Dia tidak salah dengar bukan? Apa tadi Pak Yadi memanggilnya Nyonya? # Arruna selesai membersihkan toko roti dan membalik tulisan tokonya menjadi 'CLOSED' kemudian melangkah ke ruang belakang dan naik ke tingkat dua. Disana ia melihat ibunya tengah menyulam sepasang sarung tangan untuk kakaknya Syeni. "Mama tidak membuatkan untukku?" Tanya Arruna. Nyonya Wina melirik ke arahnya sejenak. "Nanti setelah punya kakakmu jadi. " Jawabnya. Arruna tertawa. Ia tidak benar-benar menginginkan sarung tangan. Ia hanya ingin menggoda ibunya saja. Arruna meraih remote TV dan mulai mengganti channel TV beberapa kali tapi tidak menemukan acara yang ingin ia tonton. Akhirnya ia menyerah dan malah menonton acara kartun. "Ma, menurut mama, kenapa Gi tidak bisa berbicara? Seperti apa orang tua anak itu?" Tanya Arruna tiba-tiba. Nyonya Wina berhenti merajut untuk sesaat lamanya sebelum akhirnya ia menarik napas pelan. “Kau penasaran dengan kehidupan orang lain? Untuk sekarang kau harus fokus pada hidupmu sendiri." Ucap Nyonya Wina. Arruna mendesah pelan. "Aku merasa tidak asing dengan Gi. Wajahnya sangat tidak asing, tapi aku tidak ingat sama sekali. Apa dulu, sebelum kecelakaanku yang terakhir aku pernah bertemu dengan Gi juga?" Tanya Arruna. Nyonya Wina menggeleng pelan. "Tidak. Gi mulai datang kesini saat kau masuk RS setelah kecelakaanmu yang terakhir. Jadi kau belum pernah bertemu dengannya." Jawab Nyonya Wina. Arruna diam. Ia benar-benar merasa sangat familiar dengan Gi. Seperti seseorang yang mengalami deja-vu . “Gi itu, tampannya seperti ayah atau ibunya yah? Aku lupa bertanya apa dia punya adik atau tidak." Gumam Arruna. Nyonya Wina melirik putrinya diam-diam. Ia kemudian kembali fokus pada rajutannya yang sempat terabaikan selama beberapa saat. "Wajahnya lebih mirip ayahnya, tapi mata dan bibirnya….mirip ibunya." Ucap Nyonya Wina. "Mama sudah pernah bertemu kedua orang tua anak itu?" Tanya Arruna penasaran. Nyonya Wina mengangguk. "Ya,dulu." Ucapnya. Ada kesedihan yang tidak begitu kentara dibalik nada suaranya saat berbicara. Arruna mendesah pelan. Ia teringat tulisan Gi di tabletnya tadi siang. Mama pergi, karena benci Gi. "Ibu seperti apa yang tega membenci anaknya sendiri? " Gumam Arruna pelan. Ia sama sekali tidak menyadari saat Nyonya Wina terpaku beberapa saat lamanya mendengar kalimatnya. Bersambung.....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN