SIAPA WINARSIH

971 Kata
Winarsih duduk bersila. Rasanya sudah lama sekali ia menanti, saat ini kehidupan yang ia jalani begitu berat dan menyakitkan. Ia masih bisa bernapas , namun ia tidak hidup. Seperti mati tapi ia masih bisa merasakan sakit. Winarsih menghela napasnya, “Sebentar lagi, Winarsih. Kau hanya tinggal menunggu dan bersabar sampai keturunanmu datang membebaskan dari ilmu itu. Sekarang ilmu itu telah tersirap, maka sebentar lagi saja, hanya tinggal sebentar lagi,” gumam Winarsih perlahan . Sudah 80 tahun berlalu,rasanya seperti baru kemarin. **** _1910_ Perawan itu bernama Winarsih usianya baru 16 tahun.Dia gadis perawan kembang desa Dukupuntang. Juga seorang penari jaipong yang paling cantik di desa itu. Wajahnya cantik dengan kulit putih dan hidung yang mancung. Bibir yang mungil, sepasang mata yang bulat. Tubuh yang begitu langsing padat berisi. Rambut hitam legam panjang terurai dan lesung pipi yang tampak menambah keindahan senyumannya. Seperti biasa pagi itu Winarsih pergi mencuci ke sungai bersama kedua kawan baiknya. Mereka hanya mengenakan kemben untuk mencuci. Tentu saja ketiga gadis itu tidak hanya sekadar mencuci. Tapi, juga mandi pagi. Mereka mandi dan mencuci sambil bersenda gurau bersama. Kulit putih mulus Winarsih tampak mencolok dibandingkan dengan Surti dan Marni yang memiliki kulit sawo matang. "Kau ini, Sih. Lain kali, kau bawa selendang untuk menutupi punggungmu itu. Nanti ada kompeni yang lewat lalu melihat kau begitu cantik apa kau mau?" kata Surti. Winarsih hanya tersipu malu, "Ah, aku kan pergi bersama kalian. Masa kalian tega membiarkan aku sendirian," jawab gadis itu. "Eh, Ngomong-ngomong kau sudah tau kalau anak pak lurah baru kembali dari Batavia. Dia sekarang sedang mencari calon istri, kau kan cantik. Siapa tau di lirik," ujar Marni. "Kang Toriq maksudmu?" kata Winarsih. "Iya, bukannya kau sering bermain dengannya waktu kalian kecil dulu?" kata Surti. "Iya, tapi waktu itu kami kan masih kecil sekali. Aku sudah lupa karena Kang Toriq kan sekolah di Batavia." "Eh, sudah ah ngobrolnya, ayo kita segera pulang. Aku takut kalau kompeni- kompeni itu lewat," kata Marni sambil bergegas. "Kalian duluan saja, aku tinggal dua potong pakaian lagi," kata Winarsih. Marni dan Surti saling pandang. "Sudahlah, nanti kan bisa lagi. Ini sudah siang. Biasanya para tentara kompeni turun ke kali setelah matahari sedikit tinggi," kata Surti. "Rumahku kan dekat juga. Jadi, jangan khawatir," jawab Winarsih. "Beneran, Sih? Kamu nggak takut?" tanya Marni. "Nggak, wes kalian pulang duluan. Udah mau selesai kok." Dengan berat hati, Marni dan Surti pun melangkah meninggalkan Winarsih di sungai. Winarsih pun segera bergegas mencuci dua potong pakaiannya. Dan, setelah selesai ia pun bergegas pulang. Saat melalui kebun cengkeh,Winarsih tersentak saat tiba-tiba sepasang tangan kekar menarik lengannya dengan keras membuat tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh. Keranjang cucian miliknya jatuh terlempar dan pakaian yang sudah ia cuci bersih berhamburan ke tanah. Saat melihat siapa yang menarik tangannya itu Winarsih hanya terbelalak. Seorang pemuda tinggi dan tampan tersenyum menggodanya. "Ka-kang Toriq?" "Ah, kembang desa rupanya mengenali diriku. Kau tambah cantik saja Winarsih," kata Toriq. Pemuda itu tak lain adalah putra pak lurah yang baru saja ia dan kawan-kawannya bicarakan. Namun, karena kelakuannya yang kurang sopan itu membuat Winarsih menjadi kurang simpatik. "Akang sedang apa di sini? Permisi, kang saya harus pulang," kata Winarsih sedikit ketus. Jujur saja gadis itu sedikit takut menatap mata Toriq yang sedikit jelalatan. Terlebih saat ini ia bersama dengan tiga orang tentara Belanda. Hati Winarsih bertambah takut dan gelisah. Dalam hati ia menyesal mengapa ia tadi tidak mengikuti ucapan kedua kawannya. Alih-alih membiarkan Winarsih lewat, Toriq malah berusaha untuk memeluk Winarsih. Namun, gadis itu memberontak hingga tak sengaja kemben yang ia kenakan melorot karena tidak sengaja tertarik. Hal itu tentu membuat keempat lelaki dewasa yang ada di hadapannya menelan saliva mereka. Bagaimana tidak jika mereka melihat tubuh mulus seorang gadis perawan terpampang di hadapan. Panik karena tubuhnya kini polos tanpa sehelai benangpun Winarsih spontan menutupi d**a dan area intim miliknya. Ia pun berjalan mundur, saat ia berbalik dan hendak berlari, seorang serdadu Belanda menghadangnya. "Mau ke mana kamu nona manis?" "Minggir kalian, aku mau pulang, kembalikan jarik milikku, kang! Tolong! Tolong! To... Mmmgfft... Mmmft! Mendengar Winarsih berteriak, Toriq segera membungkam mulut gadis itu dan langsung membopongnya. Keempat pemuda itu membawa Winarsih ke sebuah gubuk kosong yang terletak tak jauh dari kebun itu. Apalah arti tenaga Winarsih, gadis bertubuh mungil itu tak kuasa melawan keempat pemuda yang bertubuh tinggi kekar itu. Kedua tangannya di pegangi kanan dan kiri kemudian diikat dengan tali. Seorang serdadu Belanda berjaga di pintu gubuk dan Toriq pun langsung maju dan merentangkan kedua kaki Winarsih dan dengan leluasa ia mereguk manisnya madu milik Winarsih. Sementara Winarsih hanya bisa menjerit kesakitan dan menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Air mata sudah membasahi wajahnya yang cantik itu. Berulang kali ia mencoba menarik ikatan di tangan dan kakinya tapi gerakannya itu hanya membuat para pemerkosa itu merasa lebih bersemangat lagi. Winarsih hanya bisa pasrah dan menangis saat tubuh indahnya dijadikan bulan-bulanan oleh keempat pemuda itu. Pandanganna nanar, ia merasa kesakitan tapi hanya bisa mengigit bibirnya dan mengepalkan tangannya untuk menahan rasa sakit yang mendera tubuhnya. Mereka melakukan Winarsih dengan brutal, secara bergantian. Keempat nya. Tidak hanya sekali bahkan Toriq sampai dua kali menggagahi tubuh Winarsih. Hingga akhirnya tubuh lemah dak berdaya Winarsih itu diam tak bergerak lagi. Toriq yang sedang memacu hasratnya dengan cepat menuntaskan hajatnya dan mengguncang tubuh Winarsih. "Celaka, gadis ini mati. Rupanya dia tidak kuat melayani kita berempat hahahah..." tawa salah seorang serdadu Belanda yang bernama meneer Berg. Toriq memegang pergelangan tangan Winarsih, masih ada denyut nadi meski lemah. "Kita buang saja tubuh gadis ini ke sungai Meneer. Toh, tidak ada yang melihat perbuatan kita tadi." "Aku setuju, ayo kita segera buang. Sebelum ada warga yang melihat." Toriq pun menggendong Winarsih dan keempat pemuda Belanda itu membawa Winarsih ke sungai kemudian membuang tubuh gadis itu begitu saja tanpa rasa belas kasihan. Mereka tidak tau bahwa apa yang mereka lakukan itu akan membawa kehancuran bagi mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN