Setelah sampai rumah sakit, Letty langsung mendapatkan perawatan intensif karena luka sayatan di pergelangan tangannya membuat darah keluar terlalu banyak. Untung saja tidak mengenai urat nadinya. Dyenn merasa cemas menunggu petugas medis menangani sahabat masa kecilnya di ruangan Instalasi Gawat Darurat.
Saat Dyenn masih dalam keadaan cemas, tiba-tiba ponselnya berdering. Mau tak mau lelaki itu harus mengangkat teleponnya karena saat dilihat layar ponsel itu menunjukkan nama Mr. Kim. Ketika bos menghubungi, sebagai anak buah harus sigap menjawab.
Dyenn mengangkat telepon. “Selamat petang, Mr. Kim. Ada yang bisa saya bantu?”
“Dyenn, nomor tadi tidak bisa dihubungi. Apakah ada nomor lain pemilik event organizer kemarin? Ini mendesak.”
“Saya akan cari, beri waktu lima belas menit, Tuan Kim.”
“Baiklah. Segera hubungi jika sudah dapat.”
“Baik, Tuan.”
Dyenn pun meletakkan kembali ponsel ke sakunya saat bos sudah mengakhiri percakapan. Dalam situasi genting menanti kabar dari dokter, mengapa bosnya menghubungi dan memberikan tugas? Lelaki itu masih berjalan mondar-mandir di depan Instalasi Gawat Darurat. Dalam hatinya berdoa untuk keselamatan Letty. Sahabat masa kecil dan orang yang dia cintai sejak masa-masa sulit di panti asuhan.
“Tuhan, tolong pastikan Letty selamat. Aku akan menjaganya lebih baik lagi,” batin Dyenn berusaha bernegosiasi dengan Tuhan.
Tepat saat itu, dokter pun keluar dari tempat penanganan Letty dan mencari walinya. “Wali dari saudari Letty?”
“Ya, saya, Dokter,” jawab Dyenn penuh harap.
“Saudari Letty sudah melewati masa kritis, tetapi belum sadarkan diri. Pendarahan di pergelangan tangannya sudah berhenti dan untung saja dibawa ke rumah sakit tidak terlambat. Kondisi saat ini memang tidak mengenai pembuluh nadi, tetapi akan fatal jika terlambat penanganan. Saudari Letty juga sudah mendapatkan transfusi darah dan saat ini siap dipindahkan ke bangsal setelah Anda mengurus administrasi di sebelah sana,” jelas dokter yang kemudian menunjuk tempat registrasi pasien.
“Baik, Dokter. Terima kasih banyak.”
Dyenn sangat bersyukur Letty selamat. Dia segera mengurus registrasi dan deposit p********n kamar terlebih dahulu agar Letty bisa dipindahkan ke ruangan bangsal. Dyenn memilih ruangan VIP A sebagai tempat perawatan Letty yang saat ini belum sadarkan diri. Lelaki tampan dengan senyum manis yang biasanya menghiasi wajahnya itu kini terlihat panik dan cemas.
Andai saja Dyenn terlambat datang, mungkin saat ini Letty sudah berada di tempat lain yang sangat jauh dan tidak bisa berjumpa lagi. Untung saja takdir membawa Dyenn sebagai penyelamat hidup Letty dan menjadikan alasan kuat untuk kembali semangat.
Setelah selesai mengurus regristasi hingga Letty ditempatkan pada ruangan bangsal, barulah Dyenn mengurus pekerjaannya. Dia mencari nomor dari pemilik event organizer yang dimaksud oleh Mr. Kim. Butuh waktu cukup lama mengurus hal itu, tetapi Dyenn berhasil mengirimkan nomor ponsel pemilik event organizer sebelum bosnya menelepon kembali. Dia pun bernapas lega dan bisa menemani Letty.
Tiga puluh menit kemudian, Letty membuka mata perlahan. Cahaya menyilaukan di depan matanya yang dia kira cahaya surga, ternyata lampu kamar. “Apakah ini yang dinamakan Surga?” gumam Letty membuat Dyenn segera berdiri di samping ranjangnya.
Saat Letty melihat ke arah kanan, dia kembali bergumam, “Apakah ini malaikat Tuhan yang menjemputku?”
Dyenn pun sadar kalau Letty masih belum paham berada di rumah sakit. “Letty .... ini aku, Dyenn. Bukan malaikat Tuhan. Tetapi memang wajahku tampan bak malaikat, sih,” ujar Dyenn sambil tersenyum menatap Letty.
Seketika kesadaran Letty kembali seutuhnya dan terkejut melihat yang di sampingnya bukan malaikat melainkan sahabat masa kecilnya. “Dyenn?! Malaikat tadi mana? Loh, kenapa aku di sini? Surganya mana?” tanya Letty dengan bingung.
Hal itu justru membuat Dyenn tertawa. Letty sangat lucu dan menggemaskan bagi Dyenn. “Iya, ini surganya sudah hilang. Kau ini membuatku khawatir. Maka dari itu Tuhan mengirim aku ke dunia untuk menjagamu dengan baik,” ujar Dyenn sambil tertawa. Dia pun mengetuk kepala Letty yang mengernyitkan dahi.
“Dyenn ... kamu ....”
“Iya. Aku datang di saat terakhir. Apa pun yang kamu pikirkan tadi, aku mohon jangan lakukan lagi seperti ini. Apa pun masalah yang kamu hadapi, aku akan menemanimu sampai titik akhir. Jangan ulangi lagi, oke?” ucap Dyenn yang berhenti tertawa dan justru mengusap lembut rambut sahabatnya. Dia takut, sangat takut kalau nyawa Letty tidak terselamatkan.
“Dyenn ... terima kasih. Maafkan aku merepotkan kamu. Seharusnya aku ....”
“Sudah, jangan berpikir seperti itu. Aku akan selalu di sampingmu. Kamu bisa menceritakan apa saja padaku. Aku akan mendengarkan, tetapi nanti setelah kondisimu pulih. Aku akan ke tempat perawat untuk memberi tahu kamu sudah sadar. Petugas medis harus memeriksa kamu,” kata Dyenn dengan senyum khas di wajahnya.
Letty merasa terharu dan menyesal dalam waktu bersamaan. Saat lelaki itu keluar dari kamar bangsal, Letty pun menangis. Dia menyesal hampir saja meninggal sia-sia karena putus asa. Memang miliknya yang paling berharga sudah direnggut oleh orang tak bertanggung jawab, tetapi bukan berarti masa depannya runtuh. Melihat senyum Dyenn membuat Letty malu dengan dirinya yang menyerah dan berpikir untuk jalan pintas dengan menyayat pergelangan tangan.
Dyenn menuju ke tempat perawat dengan hati lega. Dia sangat bersyukur Letty sudah sadar. Mungkin saat ini dia belum tahu kejadian apa yang begitu mengguncang kehidupan Letty hingga putus asa sedemikian rupa dan ingin mengakhiri hidup. Namun Dyenn sudah berjanji dalam hati akan selalu menemani Letty dan menjaganya semaksimal mungkin.
Tim medis pun segera memeriksa kondisi Letty yang sudah sadarkan diri. Semua kondisi Letty sudah membaik, tetapi butuh perawatan agar pulih total. Transfusi darah juga sudah selesai, sekarang infus mengalir dari selang yang tertancap di tangan kirinya. Petugas medis pun pergi setelah memastikan keadaan Letty membaik.
“Dyenn ....” bisik Letty yang merasa canggung karena kejadian ini terkesan sangat bodoh baginya.
“Ya? Ada apa?” Dyenn menarik kursi dan meletakkan di dekat ranjang Letty. Dia duduk di kursi itu dan menatap Letty sambil tersenyum.
“Terima kasih sudah menolongku. Kamu sahabat yang terbaik dan satu-satunya sahabatku,” lanjut Letty yang tak bisa menahan bulir bening menetes dari sudut matanya.
Dyenn pun mengusap air mata Letty. “Ingatlah satu hal, aku akan selalu menemanimu. Ini bukan hanya janji palsu, tetapi aku bersungguh-sungguh. Jangan berpikir untuk mengakhiri hidup lagi, oke?”
Letty menatap wajah sahabatnya yang terlihat sangat serius dalam berkata. Mungkin Letty akan menceritakan yang terjadi pada Dyenn. Apakah Dyenn akan tetap menerima Letty sebagai sahabatnya atau justru menghindari dirinya dan berpikiran buruk?
“Dyenn ... aku ....”
Letty pun menceritakan garis besar permasalahan yang menimpa dirinya dan membuatnya merasa tak layak untuk hidup. Dyenn terkejut dan menanyakan siapa lelaki itu.
“Siapa namanya, Letty? Di mana tempat dia tinggal? Aku akan memberikan perhitungan. Jebakan atau bukan, dia harus mendapatkan hukuman!” geram Dyenn tidak terima ada lelaki yang melecehkan Letty.
“Jangan! Kumohon ... jangan. Kau sudah janji tidak akan melakukan ini. Aku mohon ... Aku hanya ingin pergi jauh dari sini dan tidak bertemu orang itu lagi.”
Air mata mulai menetes di sudut mata Letty. Dyenn tidak tega melihatnya dan mengurungkan niat untuk mencari lelaki yang sudah merenggut mahkota perempuan yang dia cintai. Meski hal itu aneh seperti jebakan, tetap saja Dyenn merasa tidak terima karena hampir saja Letty meninggal dunia.
Di tempat lain, Mr. Kim yang sudah mendapatkan nomor telepon pemilik event organizer acaranya kemarin pun segera menghubungi dan menanyakan soal pengelola food and beverage. Ternyata pengelola khusus food and beverage adalah pihak ketiga yang memperkerjakan orang-orang freelance dan sangat sulit mengetahui data pribadi mereka. Bahkan saat Mr. Kim menayangkan nama Letty, pihak event organizer sama sekali tidak tahu.
“Letty ... sebenarnya siapa kamu? Mengapa kamu bisa bertemu denganku dan kejadian tak diinginkan itu terjadi? Lantas, ke mana aku harus mencarimu?” gumam Mr. Kim sambil memainkan ponselnya di atas meja. Dia pun akhirnya meminta bantuan para bodyguard untuk menyelidiki nama perempuan tersebut.
Mr. Kim bukan hanya penasaran, tetapi cenderung ke perasaan bersalah yang membuat dirinya tak tenang. Kejadian buruk malam itu memang tidak bisa dia ingat dengan jelas. Bahkan bagaimana dia bisa membawa perempuan itu ke apartemennya pun samar-samar antara ingat dan lupa. Namun satu hal yang pasti, dia sudah merenggut milik perempuan itu yang berharga, meski tak sadar dan tidak ingat yang terjadi. Rasa bersalah jelas hinggap di hati pemuda tampan yang menjadi CEO pintar dan tegas itu.