Setelah membuat teman-teman sekelas Sakugo terdiam oleh segala perkataan sadis dan kejam dari Karlia, lelaki berambut merah pendek itu langsung ditarik oleh gadis mungil itu untuk pergi dari kelasnya dan keluar dari halaman sekolahnya, meninggalkan segala tugasnya sebagai siswa yang sedang belajar, mengikuti gadis itu ke suatu tempat. Entah Sakugo mau dibawa kemana, tapi insting bocah itu merasa dia akan di bawa ke sesuatu yang aneh. “Hey! Hey! Tunggu sebentar, kau mau membawaku ke mana sebenarnya?”
“Lebih baik kau diam dulu, Sakugo,” kata Karlia dengan suaranya yang begitu halus dan menenangkan. “Aku tidak bisa fokus sekarang.” Rambut panjang perempuan itu terumbai-umbai saat dirinya berlari dengan menarik lengan kanan Sakugo untuk mengikutinya. Sementara dua kakinya sekuat tenaga berlari kencang, kedua mata Karlia tertutup rapat dan bibir tipisnya yang imut tengah mengucapkan sebuah mantra yang entah apa itu.
Dalam sekejap, kepala Sakugo tiba-tiba pening, rasanya seperti pusing tujuh keliling sampai akhirnya, badannya tumbang dan ambruk begitu saja ke permukaan tanah. Karlia menghentikkan pergerakannya dan melepaskan tangan Sakugo dari genggamannya. Gadis itu memandangi Sakugo yang sedang terbaring lelap di permukaan tanah, bola-bola matanya yang tajam menyoroti tiap lekuk dari wajah bocah lelaki tersebut. Kemudian, tanpa alasan apapun dia tersenyum tipis, menyunggingkan bibirnya membentuk lengkungan ke atas, seolah-olah sesuatu yang diidam-idamkannya kini telah terwujud.
“Baiklah, sepertinya cukup sampai di sini dulu.” Gumam Karlia dengan menatap dalam wajah Sakugo. “Aku benar-benar merasa bersalah, karena telah memaksa bocah polos sepertimu untuk mewarisi gelar Labeldo dari ayahmu, tapi aku tidak punya pilihan lain. Hanya ini cara satu-satunya agar kau bisa membuat ayahmu bangga.”
Beberapa menit kemudian, Sakugo membuka kelopak matanya dan mengerjap-erjapkannya sejenak, sebelum akhirnya dia terkejut karena dirinya berada di ruangan yang asing yang sama sekali tidak pernah ia kenali sebelumnya. “Di mana ini? Kenapa aku bisa berada di sini?”
“Tenanglah, kau tidak perlu tegang begitu, Sakugo,” Tiba-tiba, Sakugo mendengar suara yang tidak asing di telinganya, dan dia terkejut karena wujud dari Karlia, gadis mungil berambut panjang itu, muncul dan masuk ke dalam ruangan ini melalui pintu dengan membawa sekeranjang buah-buahan, hingga kemudian keranjang itu ia letakkan di samping nakas dari ranjang yang Sakugo tempati dan mulai berdiri memandangi Sakugo dengan mengunyah sebuah apel merah. “Sekarang, kau sedang berada di rumahku, atau bisa kusebut sebagai, rumah keduamu.”
“Tunggu, aku tidak mengerti. Mengapa aku bisa berada di sini? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku hampir tidak ingat apa-apa soal ini!”
“Sakugo, makan ini.” Tanpa mempedulikan kegelisahan yang kini dirasakan oleh Sakugo, Karlia dengan santainya mengambil apel merah lain di keranjang dan melemparkannya pada Sakugo. Sakugo menangkapnya dan hanya melihat apel itu dengan bertanya-tanya, dan kembali mengalihkan pandangannya pada Karlia. “Bisakah kau jawab dulu pertanyaanku? Aku masih tidak paham soal semua ini.”
“Kubilang, makan.”
Karena ekspresi dan intonasi yang diberikan Karlia terkesan sangat menindas dan memaksa, akhirnya mau tidak mau Sakugo mengunyah apel tersebut dengan perasaan yang masih berkecamuk, saat ia sedang mengunyah apel pemberian dari Karlia, gadis mungil itu dalam sejenak menghela napasnya dan mulai duduk di tepian ranjang, tepat setelah apel yang dikunyahnya habis.
“Aku paham kau sedang kebingungan sekarang, tapi aku tidak mau kau mati kelaparan disaat kau baru saja bangun dari tidur panjangmu.”
“Apa!? Baru saja bangun dari tidur panjang!? Apa maksudnya itu!?”
“Bisakah kau membiarkanku berbicara sampai selesai? Aku ingin bicara panjang sekarang, dan kuharap kau habiskan dulu apelmu itu sebelum memotong pembicaraanku dengan pertanyaan-pertanyaan bodohmu.” Seketika Sakugo terdiam dengan menegukkan ludahnya, saking tersentak mendengar omongan tajam dari Karlia.
Menuruti perkataan dari gadis itu, Sakugo mulai menahan segala pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya, dan lebih fokus untuk mendengar apa yang akan dikatakan oleh Karlia, sembari memakan dan mengunyah apel merah manis, pemberian dari gadis tersebut. “Seperti yang pernah kujelaskan padamu, alasan kau bisa berada di sini, itu karena darah ayahmu yang mengalir di seluruh tubuhmu. Karena Ayahmu dulunya adalah seorang Labeldo, maka secara tidak langsung, ia mewariskan gelar tersebut kepada anak kandungnya sendiri, saat dirinya telah tiada dari muka bumi. Aku tahu itu terkesan tidak masuk akal, tapi begitulah adanya. Sekarang, kau boleh melemparkan pertanyaan-pertanyaan bodohmu padaku, kuizinkan.”
Mendapatkan izin untuk berbicara, akhirnya Sakugo menunda sesi makan apelnya dan mulai mengeluarkan segala kegelisahan dan kebingungan dengan sebuah pertanyaan yang muncul di kepalanya. “Jujur, aku masih tidak mengerti, mengapa sebuah gelar, bisa diwariskan hanya karena memiliki darah yang sama? Lagipula, kalau aku menolak untuk menjadi seorang Labeldo, itu akan berakhir bagaimana? Karena aku tidak suka dipaksa untuk melakukan hal yang tidak ingin kulakukan!”
“Oke, pertanyaanmu jadi terdengar begitu emosional sekarang, tapi akan kujawab sejelas mungkin agar kau bisa paham,” ujar Karlia dengan menghela napasnya, menatap wajah kesal Sakugo karena telah dipaksa oleh dirinya untuk mewarisi gelar ayahnya yang merupakan seorang Labeldo. “Sudah kubilang, kan? Ini semua terkesan sangat tidak masuk akal, tapi begitulah adanya. Aku tahu itu memang sangat tidak adil, mengingat tidak semua orang ingin menjadi seorang Labeldo, meskipun sedarah dengan Para Labeldo yang telah pensiun atau wafat, tapi itu harus dilakukan agar sesuatu yang membahayakan tidak terjadi pada orang-orang tersebut, termasuk pada dirimu.”
“Apa maksudnya?” Sakugo jadi semakin terheran-heran dengan penjelasan yang masih tidak terdengar begitu jelas. Jujur, entah kenapa perasaannya mengatakan bahwa apa yang sedang dialaminya saat ini, tidak baik dan bisa membuatnya berada dalam bahaya. Itulah kenapa keringat basah jadi mengucur deras di seluruh tubuh Sakugo.
“Maksudnya, jika orang-orang yang telah mewariskan gelar Labeldo, menolak atau tidak ingin melanjutkan perjuangan, maka aku yang merupakan seorang Labeldo yang belum pensiun, harus membunuhmu karena kau secara tidak langsung telah memutuskan untuk mengkhianati ayahmu sendiri.”
“H-Hah!?” Labeldo melotot, ia begitu tercengang mendengarnya, semua itu benar-benar aneh dan tidak masuk akal. “Mengapa aku harus dibunuh!? Bukankah itu adalah hak semua orang untuk menolak sesuatu yang tidak ingin dilakukannya! Aku sama sekali tidak tertarik untuk menjadi seorang Labeldo atau apapun itu namanya! Aku hanya ingin hidup normal seperti orang-orang pada umumnya tanpa harus terlibat dengan hal-hal yang membayangkan! Apakah Labeldo-Labeldo sepertimu tidak tahu soal hak asasi manusia!? Lagipula, hanya karena aku tidak mau menjadi seorang Labeldo, bukan berarti aku mengkhianati ayahku sendiri!”
“Sepertinya kau masih belum memahaminya dengan baik, tapi terserahlah, sekarang aku hanya ingin memastikannya saja, apakah benar, itu keputusan akhirmu, Sakugo Kiwasaki? Kau menolak untuk melanjutkan gelar ayahmu sebagai seorang Labeldo?”
Saat mendengar pertanyaan itu, seluruh tubuh Sakugo jadi merinding, karena sorotan mata Karlia jadi tampak begitu tajam dan mengerikan, seolah-olah gadis itu bisa membunuhnya kapan saja dari sekarang. Itu benar-benar menyeramkan.