Liam menatap kagum ke seluruh penjuru ruangan. Segalanya begitu terang dan gemerlapan, jauh berbeda dengan kegelapan malam di bawah sinar purnama yang sudah biasa ia lihat saat ia terbangun sekali sebulan.
Karena sudah terbiasa, ia mengira ia baru terbangun di bulan purnama selanjutnya, namun segalanya begitu berbeda setelah ia membuka mata. Ia begitu silau dan agak sulit beradaptasi dengan segalanya.
“Milord…?”
Di sisi Liam di ranjang, duduk seorang wanita yang hanya mengenakan gaun tidur sederhana. Liam mengenalnya sebagai istrinya, Harriet.
“Apakah aku sedang bermimpi, Madam?” tanya pria itu menyipitkan mata emasnya dengan tidak percaya.
“Sa-saya ingin menanyakan hal yang sama…” kata Harriet pelan.
Liam turun dari ranjang dan berjalan perlahan ke arah jendela timur. Matahari telah memanjat tinggi di angkasa, dan dari atas menara itu, ia bisa melihat pemandangan daratan Utara di bawah langit yang terang benderang.
Kapan terakhir kali ia menyaksikan pemandangan ini?
Harriet turun dari ranjang dan perlahan mendekati suaminya dari belakang. Pria itu terdiam takjub, terkejut pada apa yang terjadi, bahkan mungkin lebih terkejut dari dirinya.
Saat itu, kemudian ia mendengar tawa rendah pria itu. Harriet mengintip ekspresi wajah Liam yang disinari cahaya matahari pagi. Kelopak mata teduh dan tajam Harriet melebar. Mata emas dan rambut pirang pria itu bersinar memantulkan cahaya dari timur.
Harriet seketika merasa bahwa pria ini paling cocok berdiri di bawah cahaya mentari, bukan cahaya rembulan. Tidak. Lebih tepatnya, Liam Almandine terlihat seperti personifikasi matahari itu sendiri.
“Madam… apa yang sebenarnya… terjadi?” pria itu menoleh pada Harriet.
Wanita di sisinya menggeleng bingung.
“Apakah ada hal yang berbeda… atau ada sesuatu yang kau lakukan padaku saat aku tidur?” tanya pria itu dengan nada polos, tapi Harriet mengerutkan alisnya kesal.
“Kalau memang saya yang menyebabkan hal ini, bukankah seharusnya Anda berterimakasih pada saya?” tukas Harriet.
Liam tertawa kecil, puas menggoda istrinya. Tapi ia menambahkan beberaapa pertanyaan beruntun lagi.
“Berapa hari ini semenjak malam pertama kita? Apakah kau tidur di sisiku setiap malam setelah malam itu? Oh, dan apakah kau merindukanku?”
Harriet tahu bahwa selain dengan pertanyaan terakhir, pria tampan ini tidak bermaksud menggodanya. Namun, dengan ekspresi nakal dan tatapan intens pria itu, Harriet mau tidak mau tidak bisa menyembunyikan rona di wajahnya.
“Ini sudah delapan hari semenjak bulan purnama. Saya baru tidur di sisi Anda semalam dan di malam bulan purnama, dan di malam lainnya saya selalu tidur di kamar saya sendiri,” jawab Harriet dengan serius.
Liam mengangguk. Pria itu berbalik untuk kembali ke ranjang. Namun tiba-tiba, dadanya terasa bagai tertusuk benda tajam. “Ugh!”
Harriet melihat Liam tiba-tiba mencengkeram kemeja di dadanya dan membungkukkan tubuhnya.
“Milord?!” Harriet menopang Liam dengan cepat.
Di saat yang sama, Daniel telah tiba membawa dua orang tabib bersama beberapa pelayan. Mereka melihat Liam bangun dan berdiri dengan kedua kakinya sendiri di bawah cahaya matahari.
“Young Lord!”
Harriet segera dibantu oleh Daniel membawa Liam kembali ke ranjang. Daniel dan dua tabib yang dibawanya masih menatap penuh keheranan pada Liam yang jelas-jelas sadar. Mereka dengan cepat memeriksa tubuh Liam.
Mata Liam terasa berat. Rasanya ia akan tidak sadarkan diri lagi.
Di tengah para tabib yang memeriksa tubuhnya, Liam mengulurkan tangan pada Harriet, menghentikan gerakan semua orang.
Jantung Harriet berdebar keras melihat betapa pucatnya wajah Liam. Otaknya tidak berani menduga, namun ia takut bahwa Liam tiba-tiba bangun karena ia sedang mengalami komplikasi yang lebih buruk dari sebelumnya. Apakah ia akan ditinggal secepat ini oleh suaminya?
Harriet mengulurkan tangannya pada Liam di ranjang dan berlutut di sisi ranjang, dekat padanya. “Ya, Milord?”
Pria itu tersenyum tidak berdaya.
“Maukah kau tidur di sisiku setiap malam, Madam?” tanya Liam.
Wajah sedih dan ketakutan Harriet perlahan berubah dengan bertambahnya sebuah senyum perih. “Saya tidak suka tempat yang tinggi, Milord…”
“Ugh,” Liam mengeluh kesal. “Jadi aku tidak bisa tidur dengan istriku setiap malam?”
Wajah Harriet merona merah dengan ekspresi yang rumit.
“Lupakan saja. Kau bisa tidur di mana pun kau suka,” ucap Liam, perlahan memejamkan matanya. “Tidurlah di sisiku saat kau merindukanku…”
Dan seolah waktunya telah habis, Liam kembali tertidur pulas dengan tangan yang masih bertautan dengan Harriet.
Keheningan kembali menyelimuti ruangan di puncak menara itu.
Entah mengapa, segalanya terasa sedikit lebih menyesakkan dari keheningan yang biasa di menara itu.
Harriet bangun dari lantai perlahan, lalu menarik selimut untuk Liam. Ia menoleh pada para tabib untuk mulai kembali memeriksa Liam. Ia tidak bergerak seinchipun dari tempatnya berdiri. Begitu banyak orang di sekeliilngnya, tetapi entah mengapa ia merasa begitu kesepian. Belum begitu lama, tetapi anehnya ia sudah mulai merindukan pria itu.
***
“Madam…” Daniel terlihat serba salah melihat ekspresi Harriet yang begitu sedih sejak Liam kembali tertidur.
“Tabib mengatakan Young Lord tidak menunjukkan penurunan kesehatan. Dan apalagi, sudah hampir 40 tahun semenjak Young Lord bisa bangun saat siang hari tanpa bantuan cahaya rembulan…” Daniel memilih kata-katanya dengan hati-hati.
“Tapi sepertinya yang terjadi hari ini hanya kebetulan. Aku khawatir ini justru adalah tanda-tanda sebelum sesuatu terjadi. Semoga hal yang baik,” ucap Harriet sambil tersenyum.
Namun Harriet dan Daniel tahu hal seperti itu tidak mungkin. Meskipun mereka Lycan, meskipun Liam adalah seorang Alpha yang kuat, dan meskipun mereka memiliki regenerasi yang membuat mereka hampir immortal, tidak ada makhluk di dunia ini yang bisa bertahan hidup tanpa jantung.
Harriet menghela napas.
“Baiklah. Kau datang ke menara untuk mengantarkan surat dari ibukota kepadaku lagi, kan?” tanya Harriet, berdiri dari meja kerjanya dan berjalan ke sofa. Daniel memberikan surat dari balik saku jasnya dan berdiri di sisi Harriet dengan setia.
Saat Harriet merobek amplopnya dengan pisau saladnya, Daniel merinding ngeri. Harriet sama sekali tidak memperlakukan surat itu dengan penghormatan.
Harriet membaca isinya sekilas dan langsung berdiri, lalu melemparkan suratnya ke perapian tanpa ragu.
“M-Madam?” Daniel mengerutkan alisnya dan terperangah melihat apa yang baru Harriet lakukan.
“Kaisar memintaku datang ke ibukota,” ucap Harriet santai. Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa dan melanjutkan ucapannya, “Mari kita jadwalkan untukku untuk pergi ke ibukota beberapa bulan lagi,”
“Beberapa bulan lagi? Tapi Madam…?” Daniel semakin bingung.
Harriet tersenyum menenangkan. Ia lalu berkata dengan suara lembut untuk menenangkan Sekretaris Daniel, “Mari kita pastikan adikku bisa sembuh dulu sebelum aku bersedia merespon pada permintaan Kaisar.”
“Aku sudah mengirimkan surat untuk mengundurkan diri dari dunia pemerintahan dan politik. Aku juga sudah menyerahkan tanggung jawabku pada Benteng Barat pada kewenangan Putra Mahkota. Karena peperangan masih berlangsung di daerah itu, Old Duke sendiri jugalah yang mengawasinya, jadi tidak ada masalah,” ucap Harriet dengan kata-kata yang cepat.
Daniel tidak lagi bisa mencoba mengubah pendirian Harriet.
Walau bagaimanapun, Harriet telah cukup tertekan sepanjang hidupnya. Ditambah belakangan ini, segalanya seolah menyerang Harriet dari berbagai sisi. Adiknya pulang dalam keadaan terluka parah dan berubah menjadi Lycan, peperangan datang tiba-tiba, dan pilihan yang diberikan oleh Old Duke merubah seluruh hidupnya.
“Jangan terlalu khawatir soal ibukota, Sekretaris Daniel. Karena peperangan di Barat sedang terjadi, mereka juga pasti tidak akan menganggap menghilangnya aku dari dunia politik dan pemerintahan adalah hal penting. Saat ini, mereka pasti sedang berfokus untuk bersiaga dari segala sisi dengan kekuatan militer mereka,” jelas Harriet.
Tetap saja, Daniel merasa kata-kata Harriet terdengar sedang merendahkan dirinya dan perannya dalam pemerintahan. Padahal, Harriet cukup terkenal di Kekaisaran ini sebagai wanita yang cakap dalam menjadi orang kepercayaan Kaisar.
“Kalau begitu, Madam, maukah Anda menyantap sarapan Anda sekarang?” Daniel tersenyum hangat, mengalihkan pembicaraan.
Harriet mengangguk dan tersenyum.