Senja merah naik di ufuk barat saat matahari perlahan menghilang dari horizon.
Benteng Barat mengalami kesibukan besar. Sepasukan serigala yang berjumlah seribu tiba di kastil Benteng Barat. Saat pasukan itu tiba, penduduk kota kecil di dekat sana ketakutan dan membunyikan diri mereka di rumah masing-masing. Bahkan tidak sedikit yang sudah bersiap pergi dari sana karena ketakutan pada kekacauan yang mungkin akan terjadi.
Ini adalah awal dari perang.
Di tengah ramainya anggota Almandine Duchy Pack yang mempersiapkan tenda-tenda mereka, seorang wanita muda berjalan menaiki tangga benteng. Langkahnya tidak goyah sedikit pun dan tubuhnya tegap. Namun pada sosok yang tegar itu, sekilas terlihat tatapan sedih di matanya yang jernih tanpa riak.
Sesampainya di puncak benteng, wanita itu melihat seorang pria tua berdiri tegak. Kepala pria itu telah dipenuhi uban dan keriput menghuni wajahnya. Ia adalah pemimpin seluruh pasukan serigala yang tiba di Benteng Barat ini, Sang Alpha, Old Duke Almandine, perlahan menoleh pada sang wanita muda.
Suara angin dan suara kesibukan Kastil Benteng terdengar di latar belakang, namun antara si wanita muda yang berjalan mendekat dan Old Duke yang terdiam, seolah hanya ada keheningan.
Saat wanita itu sampai dan membungkukkan tubuhnya dengan hormat, Old Duke hanya mengangguk. Old Duke dan wanita itu tidak terburu-buru memulai pembicaraan.
"Berapa usiamu, Marchioness?" Old Duke membuka pembicaraan dengan pertanyaan yang aneh, namun pria tua itu terdengar begitu lembut dan tenang.
Young Marchioness Harriet Goldlane mengerutkan alisnya, namun ia menjawab saja.
"Dua bulan lalu, saya menginjak usia 25 tahun, Your Grace," jawab wanita muda itu.
Old Duke mengangguk. Matanya menatap lurus ke barat di mana matahari dan batas antara langit dan daratan bertemu.
"Marchioness, mari kita membuat kesepakatan," ucap Old Duke tiba-tiba.
Harriet mengangkat wajahnya yang menunjukkan ekspresi kalut.
"Kau ingin menyelamatkan adikmu, kan?" tanya pria tua itu.
Harriet melebarkan matanya dan mengangguk.
"Aku bersumpah untuk mencarikan Mate adikmu dan membantu adikmu pulih sepenuhnya."
Kata-kata Old Duke membuat wajah Harriet perlahan kembali dipenuhi harapan. Matanya berkilau lavender, dan air mata mulai menggenang di pelupuknya.
"Tapi sebagai gantinya, Marchioness, aku menginginkan kau mengabdikan hidupmu pada keluarga Almandine dan Lycan Pack kami selama kau hidup," Old Duke bicara tidak lagi dengan nada lembut dan menenangkan. Ia bicara dengan nada datar dan tegas, membuat Harriet tertekan.
Kabar buruk terus menerus muncul seperti gelombang lautan yang mengikis karang... semuanya menghancurkan Harriet sedikit demi sedikit dalam waktu yang singkat.
Harriet mengatupkan kedua tangannya yang gemetaran, seolah dalam posisi memohon.
"Your Grace..." Harriet berlutut. Air mata meluncur jatuh di pipinya. "Saya mohon lindungi saya dan adik saya. Saya mohon selamatkan kami. Saya akan memberi anda segalanya. Saya bersedia melakukan segalanya... Your Grace..."
Harriet hanya wanita biasa. Saat ia mendongak, ia melihat wajah Old Duke yang keriput diterangi cahaya matahari sore. Ada sebuah senyum sedih di wajahnya.
"Nak, maafkan aku harus memaksamu melakukan semua ini," ucapnya lembut.
Harriet menatapnya bingung dengan wajah penuh air mata. Ia menyadari perubahan cara pria tua itu memanggilnya. Ia tidak lagi memanggilnya dengan gelar bangsawannya.
"Tapi aku adalah seorang Alpha. Aku bertanggung jawab melindungi keluargaku," lanjutnya dan dengan lembut membantu Harriet bangun dari lantai. "Dan mengenalmu memberiku harapan baru untuk menyelamatkan segala yang telah kuperjuangkan selama ini," pria itu bicara dengan menatap lurus ke mata Harriet yang mendongak ke arahnya.
"Jadilah menantu Almandine Duchy Pack," ucap pria itu.
Mata Harriet sekali lagi melebar. Kali ini ia terkesiap.
Ada alasan mengapa Old Duke Armandine telah menjadi Alpha pemimpin Pack selama 200 tahun. Bukan karena pria itu begitu kuat dan tidak tergantikan... tapi karena pria tua itu tidak memiliki pewaris.
"Lahirkanlah seorang Alpha baru dari cucuku. Dengan begitu, kita akan terikat oleh darah, dan aku bisa membantu adikmu mengatasi masa amukannya dan mencari Mate nya," ucap Old Duke.
Di detik itu, Harriet menjual jiwanya pada sang Monster.
***
Harriet terbangun dengan tubuh pegal-pegal.
Angin semilir dari jendela yang terbuka, matahari yang sudah hampir mencapai puncak cakrawala, dan ranjang yang berantakan menyambut Harriet.
Harriet menatap kesal pada pria yang tertidur pulas di sisinya. Tapi sedetik kemudian wajahnya merona. Memori tentang malam yang panjang memenuhi otaknya.
Saat ini, melihat sosok pria yang tertidur pulas itu membuat Harriet tidak bisa menyamakannya dengan monster yang semalam. Bisa dibilang ia memang sudah menjual jiwanya pada monster ini.
Wajah wanita itu kembali kesal dan ia menjentikkan jarinya pada dahi pria itu seperti ingin berpura-pura menghukumnya. Melihat tidak ada reaksi sama sekali, Harriet menyerah dan membaringkan kepalanya ke atas d**a pria itu.
Ia berdebat pada dirinya sendiri apakah ia mau bangun atau tidur lagi saja. Tapi kemudian ia merasakan sesuatu yang janggal. d**a Liam naik dan turun, menandakan pria itu bernapas.
Namun…
Harriet tidak bisa mendengar detak jantung.
Menyadari itu, Harriet bangun dan terkesiap. Ia mencoba mendengarkan lebih teliti lagi dan menutup matanya untuk berkonsentrasi, tapi ia masih tidak bisa mendengarnya. Bahkan setelah ia menunggu lama.
Harriet perlahan duduk. Matanya melebar melihat pria tampan yang sama sekali tidak bergerak itu. Ia tidak mengerti. Harriet berlari menuruni tangga menara tanpa mempedulikan tubuhnya yang pegal-pegal atau kedua kakinya yang masih belum mengenakan alas apapun.
Di dasar tangga, ia bertabrakan dengan seorang pria. Sekretaris Daniel mengerutkan alisnya melihat Harriet yang berlari seperti wanita gila turun dari menara, dengan wajah ketakutan dan napas terengah-engah.
"M-Madam?! Apa yang–"
"Sir Daniel–"
Harriet mencengkeram lengan baju Daniel dengan wajah yang begitu khawatir.
"Young Lord… aku tidak bisa mendengar detak jantung Young Lord," Harriet tidak sadar air mata sudah meluncur jatuh di pipinya.
Daniel terkejut mendengarnya.
"Bukankah kita harus mencari bantuan? Kita harus melakukan sesuatu, kan?" Harriet menatap penuh harap pada Daniel yang mengerutkan alisnya prihatin.
"Madam, maaf belum memberitahu Anda, dan maaf harus memberitahu Anda dengan cara seperti ini…" Daniel menatap sedih Harriet. "Young Lord, dia… hal yang membuatnya sekarat adalah karena ia kehilangan jantungnya 70 tahun yang lalu…"
Mata Harriet menatap Daniel bingung. Kemudian tatapannya menjadi ketakutan, kesedihan, dan ketidakpercayaan.
"Bagaimana seseorang bisa hidup tanpa…"
Daniel perlahan membantu Harriet menegakkan tubuhnya. Pria itu melepaskan jubahnya dan memakaikannya pada tubuh Harriet yang hanya mengenakan gaun tidur.
"Young Lord bisa bertahan hingga hari ini karena betapa kuatnya beliau," jawab Daniel. Pria itu kemudian tersenyum sedih.
Daniel tadinya mengira wanita ini kabur dari suaminya setelah menghabiskan malam yang terlalu berat untuk dilewati. Walau bagaimanapun, ia adalah seorang wanita yang menikah karena kesepakatan, bukan karena perasaannya.
Namun ternyata wanita itu ketakutan dan mengkhawatirkan kenyataan bahwa ia tidak bisa mendengar detak jantung suaminya.
Semalam, saat Harriet melihat pria itu bangun, bergerak dan bicara, ia bisa percaya bahwa pria itu hidup. Tubuhnya hangat dan ia bernapas, dan setiap orang yang hidup pasti memiliki detak jantung, jadi Harriet sama sekali tidak sadar meskipun tubuh mereka telah berdekatan sepanjang malam.
Namun, melihat pria itu terbaring dalam diam dan tidak merespons apa pun yang Harriet lakukan padanya membuat Harriet begitu ketakutan. Ya, memang benar pria itu masih bernapas, tapi…
Harriet perlahan menenangkan diri. Daniel melihat wajah pucat Harriet dan memutuskan untuk mengantarnya kembali ke kamarnya dulu. Namun Harriet menggeleng.
"Terima kasih, tapi aku akan kembali sendiri," Harriet menegakkan tubuhnya sepenuhnya dan menatap pada Daniel lurus-lurus. "Kembalilah bekerja, Sekretaris Daniel," ucap Harriet kemudian.
Daniel terkejut wanita itu telah pulih dari keterkejutannya hanya dalam hitungan menit. Ia masih melihat betapa pucatnya wajah wanita itu, tetapi sikapnya yang tegar hampir berhasil menutupi segalanya.
Pria itu membungkukkan tubuhnya dengan sopan dan menyaksikan Harriet berjalan dengan sedikit pincang. Sambil berpegangan pada tembok lorong, namun dengan punggung yang tegak.
Alis Daniel mengerut dan wajahnya menjadi merah. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya menghapus ingatan soal Harriet yang sekujur leher dan bahunya memiliki tanda merah.
Young Lord mungkin terlalu brutal semalam.