Willy turun ke bawah dan langsung pamit kepada Laura yang berusaha ditenangkan oleh Anna. Laura sudah pintar salim sendiri sekarang tanpa harus diinteruksi oleh Anna. Willy mendekat dan mencium kening Laura, setelahnya ia melirik ke arah Anna yang menatap dirinya dengan d**a berdebar-debar tak karuan. Pandangan mata mereka yang bertemu membuat keduanya terdiam dan saling gelisah. Diperhatikannya baik-baik bibir Anna oleh Willy dan ia ingat kejadian tak sengaja semalam yang terjadi diantara mereka berdua. Jika bisa dan boleh, Willy pasti sudah mencium Anna lagi sekarang, keinginannya untuk memiliki Anna dan menjadikannya sebagai ibu Laura sudah sangat besar.
“Aku berangkat,” kata Willy dan Anna hanya mengangguk. Bibir Anna terasa sangat kelu sekali, ia tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya, ia mendadak menjadi salah tingkah karena sikap Willy tadi saat dikamar yang mengunci gerakannya dan memandangnya dengan seksama.
“Hati-hati, Papa,” suara Anna yang mengajarkan pada Laura untuk mengucapkan selamat tinggal itu membuat Willy terdiam melangkah, tapi kemudian ia kembali melanjutkan langkah kakinya menuju mobil yang siap dikendarai oleh Pak Supri ke kantor.
Sepeninggalan mobil sang majikan, Anna menghela napas lega dan Laura tertawa melihatnya saat menarik dan menghembuskan napas dengan kasar.
“Gak boleh mengejek bu Anna, Laura,” kata Anna protes pada Laura yang tersenyum jahil ke arahnya, “eh, dibilangin sama ibu gak boleh mengejek kok malah mengejek ibu, sih?” tanya Anna gemas seraya menciumi wajah Laura yang gembul di pangkuannya tersebut. Laura malah terkekeh dengan sikap Anna tersebut.
***
Sebelum benar-benar pergi ke kantor, Willy mampir ke klinik dan memeriksakan tubuhnya yang pegal-pegal akibat dipukuli oleh Anna secara tak sengaja semalam. Dokter memberikannya resep pereda nyeri dan memintanya beristirahat untuk beberapa hari dan Willy hanya mengangguk saja, hari ini pekerjaannya cukup banyak dan ia harus ke Bandung untuk menemui salah satu kliennya.
Sementara itu, Anna bingung harus mengenakan baju apa untuk nanti malam saat Willy mengajaknya makan malam bersama. Anna sudah mempersiapkan baju untuk Laura yang menggemaskan dan lucu. Tak berselang lama, ponsel Anna berdering dan ia kaget karena Willy yang tengah meneleponnya. Mau tak mau, Anna mengangkat panggilan video call tersebut dengan d**a berdebar-debar dan wajah Willy langsung terlihat.
“Anna, mana Laura?” tanya Willy pada Anna yang wajahnya terlihat di seluruh kamera ponselnya. Rasa rindu di d**a Willy terbayarkan sudah. Sejak tadi ia tak bisa mengenyahkan wajah Anna meski ia sudah berusaha berkonsentrasi pada pekerjaannya.
“Sebentar, pak,” jawab Anna pada Willy seraya membalikkan kamera dan mengarahkannya pada Laura yang sedang bermain di playmate. Tak ada suara diantara mereka lagi, keduanya sama-sama canggung, kamera ponsel masih mengarah ke Laura yang merangkak dan mengambil bola-bola kecil lalu menggelindingkannya di sekitarnya.
“Nanti malam jangan lupa,” kata Willy akhirnya dengan perasaan yang tak menentu.
“Baik, pak,” jawab Anna.
“Saya pulang dan saya harap kamu sudah siap,” kata Willy lagi.
“Baik, pak,” jawab Anna.
“Ya sudah Anna, saya harus kembali bekerja,” kata Willy dan ia menunggu kamera ponsel mengarah ke wajah Anna, sayang kamera ponsel tetap mengarah pada Laura.
“Laura, papa mau kembali kerja, lihat sini, nak,” kata Anna pada Laura yang menoleh ke arahnya dan menatap ponsel di tangan Anna dengan wajah polosnya. Laura mendekat ke arah Anna dan langsung mengambil ponsel itu dari tangan Anna, membuat ponsel tersebut jatuh dan wajah Anna terlihat. Willy tersenyum kecil karena bisa melihat wajah dan leher Anna yang jenjang. Darahnya berdesir kembali.
“Jangan seperti itu, sayang, bilang sama bu Anna, pinjam … begitu,” kata Anna mengajarkan pada Laura yang hanya diam saja. “Maaf pak, saya matikan ya ponselnya,” kata Anna dan Willy mengangguk. Anna tak berani menatap wajah majikannya yang menatapnya dengan intens dan langsung mematikan ponselnya tanpa menunggu persetujuan dari Willy. Willy terkekeh melihat tingkah konyol Anna tersebut.
Usai menyelesaikan semua pekerjaannya dan keluar kantor, Ruby mendatangi Willy.
“Pak, saya punya beberapa kandidat dari yayasan terkenal untuk menggantikan Anna,” kata Ruby pada Willy yang mengerutkan kening karena bingung.
“Menggantikan Anna?” tanya Willy lagi dan Ruby mengangguk.
“Iya, kan bapak sendiri yang meminta saya untuk tetap mencari baby sitter buat Anna,” ujar Ruby yang kini juga bingung dengan sikap Willy yang terlihat lupa dengan perintahnya sendiri.
“Batalkan saja,” kata Willy yang membuat Ruby melongo dengan sikap bosnya tersebut. setelah mengatakan itu, Willy berlalu dari hadapan Ruby, “jangan hubungi aku mala mini, Ruby, aku tidak ingin diganggu,” kata Willy dan Ruby hanya mengangguk patuh.
Setibanya di rumah, Willy masuk dan melihat Laura sudah rapi dengan Anna yang juga berpakaian sopan dengan rambut yang diikat jadi satu hingga lehernya yang putih jenjang terekspos, membuat Willy memalingkan wajahnya karena dadanya berdebar-debar. Meski Anna mengenakan setelan kemeja berwarna biru dengan celana kain panjang, tetap saja pesona Anna benar-benar luar biasa. Anna tidak terlihat seperti gadis umur sembilan belas tahun melainkan umur dua puluhan karena badannya yang tinggi dan berisi itu.
“Lepaskan ikatan rambutmu, Anna,” kata Willy meminta Anna melepaskan ikatan rambutnya. Anna tak paham kenapa Willy meminta melepaskan ikatan rambutnya tapi Anna menurut saja dengan perintah Willy itu. Rambut Anna yang tergerai dan bergelombang itu menambah kecantikannya dan Laura mulai memainkannya.
“Jangan, sayang …” kata Anna saat Laura mulai memainkan rambut Anna. Sekarang Willy paham kenapa Anna suka menguncir rambutnya, itu karena Laura suka memainkan rambut Anna saat tergerai.
“Sini, sama Papa,” kata Willy seraya menggendong Laura dari Anna. “Ayo kita berangkat,” ajak Willy dan Anna mengangguk.
Anna dan Willy masuk ke dalam mobil dan pak Supri segera menjalankan mobil ke restaurant mewah dimana Willy sudah melakukan reservasi. Saat sampai, Laura digendong oleh Willy memasuki restaurant tersebut dan Anna mengekor jauh di belakangnya, merasa sungkan jika harus mensejajarkan langkah kakinya dengan Willy.
“Anna!” seru Willy pada Anna yang tertinggal jauh di belakangnya. Anna buru-buru mendekat.
“Ya, pak? Butuh sesuatu?” tanya Anna.
“Kenapa kamu jauh sekali berada di belakang saya?” tanya Willy.
“Saya masih bisa dijangkau kalau bapak kerepotan dengan nona Laura. Saya bisa tunggu di sana, bapak dan nona Laura silahkan makan malam bersama. Oh ya, pak, pesankan saja nona Laura rawon dengan potongan daging kecil-kecil, nanti ketika makanan sampai, saya akan menyuapinya,” kata Anna. Willy gemas dengan sikap Anna.
“Saya ini ajak kamu ke sini buat makan malam, ayo duduk,” kata Willy pada Anna yang masih bingung. “Tunggu apa lagi?” tanya Willy heran.
“Rasanya saya gak pantas duduk di sini, pak,” kata Anna sungkan. Willy mendekat, menarik kursi dan menatap Anna dengan tatapan yang memintanya untuk duduk di sana. Dengan perasaan tak menentu, Anna akhirnya menuruti permintaan Willy untuk duduk di meja makan itu.
Pelayan datang sembari membawakan kursi bayi untuk Laura dan mendudukkannya di sana. Laura terlihat senang duduk di kursi bayi, berulang kali ia mengoceh dan tertawa sendiri dan Anna menanggapinya dengan senyuman dan keramahan layaknya seorang ibu yang pas untuk Laura.
“Mau makan apa, Anna?” tanya Willy seraya menyerahkan buku menu pada Anna yang membuat Anna bingung harus makan apa, ia makin kaget melihat nominal dari setiap makanan yang tersedia di sana.
“Pak, saya tadi sudah makan di rumah, bapak dan nona Laura saja,” kata Anna berbisik pada Willy agar tak didengar oleh pegawainya.
“Pilih yang kamu suka,” kata Willy.
“Tapi, harganya ….”
“Pilih!” tekan Willy lagi dan Anna akhirnya menjatuhkan pilihannya pada sup buntut agar bisa ia makan berdua dengan Laura.
“Laura makan apa?”
“Itu saja pak, sama dengan saya, harganya sudah mahal, pasti porsinya banyak,” kata Anna.
“Dua sup buntut dan satu steak,” kata Willy pada pelayan yang menunggu pesanan mereka. Anna menelan ludah, tak pernah menyangka sebelumnya akan duduk di meja makan restaurant mewah seperti ini dengan majikannya. Rasanya seperti mimpi.
“Anna, saya mau tanya pendapat kamu,” kata Willy pada Anna.
“Pendapat apa, pak?” tanya Anna.
“Tentang saya, apa pendapatmu tentang saya?” tanya Willy pada Anna yang membuat Anna melongo dan bingung mencari jawaban yang pas.
“Bapak …”
“Katakan saja, Anna, apa kesan pertama kamu melihat saya dan bagaimana kamu menganggap saya sekarang jika saya bukan majikan kamu,” kata Willy. Anna menelan ludah, pertanyaan yang sangat sulit untuk Anna jawab.
Ini kenapa pak Willy mendadak bertanya kayak gitu, sih?
“Ayo, Anna,” kata Willy.
“Bapak … menyeramkan,” kata Anna jujur yang membuat Willy mendelik tapi kemudian ia bisa paham kenapa Anna mengatakan itu, ia yakin bukan hanya Anna saja yang menganggapnya menyeramkan tapi semua karyawan di perusahaannya.
“Kalau sekarang masih menyeramkan?” tanya Willy dan Anna menggeleng. “Lalu?”
“Bapak membingungkan,” jawab Anna.
“Kenapa begitu?”
“Bapak ajak saya makan di sini bukan ingin memecat saya jadi pengasuh Laura, kan, pak?” tanya Anna was-was, “soal semalam, saya benar-benar minta maaf, pak,” kata Anna dengan gugup.
“Saya memang ingin memecat kamu Anna,” kata Willy yang membuat Anna kaget bukan main dan matanya seketika membola karena rasa terkejut luar biasa, air matanya juga mulai menggenang.
“Pak … saya ….”
“Saya ingin memecat kamu karena mau kamu jadi ibu Laura,” kata Willy yang membuat Anna melongo mendengarnya dan terpaku di tempatnya.