BAB 13

2298 Kata
“Hah? Kau bertemu dengan Raiden di mini market?!!”  Rie refleks membekap mulut Mai yang berteriak kencang hanya karena mendengar ceritanya yang kemarin bertemu dengan Raiden di mini market dekat rumah mereka. Rie meringis dan membungkuk meminta maaf karena suara Mai mengganggu orang-orang yang kini sedang makan di kantin kantor mereka karena jam istirahat telah tiba. Tatapan para polisi yang sedang santai menyantap makanan, kini tertuju pada meja yang ditempati Rie dan Mai.  “Sstt, pelankan suaramu, Mai. Kau ini kebiasaan, lihat semua orang menatap ke arah kita sekarang.”  Mai melepaskan tangan Rie yang membekap mulutnya, lalu seolah tak merasa bersalah sedikit pun, wanita itu memperlihatkan cengiran lebar khasnya.  “Jadi benar kau bertemu dengan Raiden di mini market? Kenapa bisa?”  Rie memutar bola mata, jadi menyesal karena sudah menceritakan hal ini pada Mai. “Tentu saja bisa, buktinya aku bertemu dengannya tanpa sengaja di mini market.”  Tiba-tiba Mai terkikik geli, membuat Rie mengernyitkan dahi merasa heran dengan respon Mai. “Kenapa kau tertawa?” “Aneh saja karena kalian sering sekali kebetulan bertemu. Yang namanya kebetulan itu jika kalian sekali bertemu tanpa disengaja, tapi ini sampai dua kali, aku ragu ini hanya kebetulan.” Rie kini memicingkan mata, sebal luar biasa mendengar penuturan Mai ini. “Jadi kau berpikir aku dan Raiden sengaja ingin bertemu begitu? Mana bisa begitu, toh kami sama-sama tidak mengetahui rumah masing-masing.” “Maksudku pertemuan kalian bukan lagi kebetulan tapi sebuah takdir.”  Rie tercekat dan kali ini tak mampu membalikkan kata-kata Mai karena dirinya kini kehabisan kata-kata untuk membalas,  “Lalu apa yang terjadi setelah itu?” Mai tentu saja bertanya demikian dengan penuh semangat karena dia penasaran bukan main ingin mengetahui kelanjutan yang terjadi antara Rie dan Raiden kemarin.  “Dia mengajakku sarapan bersama di mini market itu.”  Mai melongo dan semakin bersemangat meneruskan pembicaraan ini. “Benarkah? Terus kau menerima ajakannya?” “Tentu saja. Dia sudah begitu baik padaku mana mungkin aku menolak tawarannya.”  Mai mengangguk-anggukan kepala, setuju dan mendukung tindakan Rie yang menurutnya sudah benar dengan menerima ajakan pria itu.  “Pasti banyak yang kalian bicarakan kan saat sarapan bersama?” Kali ini Rie menggelengkan kepala, “Tidak juga. Kami hanya membahas tentang hutangku padanya.” “Hutang? Hutang apa maksudmu?”  Rie tak heran Mai bisa seterkejut ini karena dia memang belum menceritakan tentang Raiden yang membayarkan biaya operasinya kala itu, bahkan pria itu juga yang bersikukuh meminta Rie ditempatkan di ruang VIP.  “Rie, kenapa diam? Maksudmu hutang budi karena dia menyelamatkan nyawamu atau bagaimana?” Mai mengulang pertanyaannya karena Rie tak kunjung menjawab.  “Iya, itu salah satunya. Aku berhutang budi padanya karena dia sudah menyelamatkan nyawaku dengan membawaku tepat waktu ke rumah sakit.” “Salah satu kau bilang? Berarti kau masih punya hutang yang lain padanya?”  Meski Mai terkadang ceroboh dan tak bisa menjaga mulutnya tapi Rie akui wanita itu memang cerdas. Tentu saja Mai memiliki otak yang cerdas karena mustahil dia bisa terpilih sebagai agen khusus kepolisian jika tak memiliki kecerdasan yang memadai.  Karena tahu Mai tidak akan berhenti merongrongnya dengan pertanyaan jika dia tak kunjung memberikan jawaban, Rie pun akhirnya memutuskan untuk menceritakan semunya pada Mai. Dia pun mulai bercerita tanpa merahasiakan apa pun dari Mai.  “Hah? Serius? Raiden yang membayar biaya operasimu waktu itu?”  Rie meletakan jari telunjuknya di depan bibir, lagi-lagi memperingatkan Mai agar memelankan volume suara karena sekali lagi mereka menjadi pusat perhatian di dalam kantin karena semua orang kini menatap ke arah meja mereka.  “Mai, mulutmu itu ya, berisik sekali. Aku jadi malas menceritakan apa pun lagi padamu sekarang.”  Mai menangkupkan kedua tangannya di depan d**a sebagai bentuk permintaan maaf. “Maaf, Rie. Kadang mulutku memang sulit dikontrol. Tapi jangan khawatir, aku akan lebih berhati-hati mulai sekarang.” Mai menyengir lebar di akhir ucapannya. “Jadi bagaimana? Kemarin kau membicarakan masalah uang itu dengan Raiden?” tanya Mai yang kali ini memelankan volume suara karena takut Rie tak mau lagi bercerita padanya.  Rie mengembuskan napas pelan sebelum membuka mulut untuk melanjutkan ceritanya, “Begitulah. Tapi dia menolaknya. Dia melarangku untuk mengembalikan uang itu.” “Wow, benarkah? Dia baik sekali padamu ya, Rie.” “Bukan hanya padaku, aku rasa dia memang baik para semua orang.” “Dari mana kau tahu itu padahal kau baru mengenalnya?” Giliran Mai yang memicingkan mata penuh curiga.  Rie gelagapan di tempat duduknya, “Karena … ya, sekilas pun terlihat dia sepertinya orang yang baik.” “Huh, alasan, bilang saja kau merasakan sesuatu yang tidak biasa padanya?”  Karena Rie kembali menunjukan raut kesal dan malas, Mai pun meralat ucapannya. “OK, OK. Abaikan kata-kataku barusan. Terus akhirnya bagaimana? Kau menerima begitu saja dia membayarkan biaya operasimu dengan cuma-cuma?” “Tentu saja tidak. Mana mungkin aku menerimanya begitu saja. Aku tetap memaksanya agar mau menerima uang ganti dariku.” “Lalu dia menerimanya?”  Rie tiba-tiba tertegun karena ragu untuk menceritakan pada Mai tentang kesepakatan yang sudah dia buat dengan Raiden kemarin.  “Rie, bagaimana? Dia akhirnya menyerah?”  Tentu saja Rie sudah tahu mustahil baginya untuk merahasiakan sesuatu dari Mai yang tidak akan berhenti bertanya jika belum mendapatkan jawaban sesuai keinginannya.  “Ya, dia akhirnya bersedia menerima uang ganti dariku tapi dengan cara lain.” Kening Mai mengernyit curam, “Maksudnya?” “Dia memintaku mengganti uang itu dengan …” Rie tiba-tiba menggulirkan mata, malu sendiri untuk melanjutkan ucapannya. Tapi melihat raut wajah Mai begitu menantikan jawabannya, Rie hanya bisa menelan ludah dan kembali membuka mulutnya untuk melanjutkan ucapannya yang menggantung di tenggorokan.  “… makan malam bersama di restoran kelas atas.”  Detik itu juga kedua mata Mai membulat sempurna. “Benarkah? Wow, sudah kuduga pria itu memang ada rasa padamu, Rie. Hah, aku jadi iri padamu karena ada dua pria tampan sekaligus yang tertarik padamu.” “Jangan bicara sembarangan, Mai. Berapa kali harus kukatakan ini padamu.” “Tapi ini fakta, kau saja yang terlalu polos sampai tidak menyadarinya. Hiro dan Raiden, aku yakin mereka tertarik padamu, sudah terbukti dari sikap mereka.”  Rie menggelengkan kepala, malas menanggapi Mai jika sudah berulah seperti ini. “Terserah kau saja, yang pasti aku menyesal sudah berbagi cerita denganmu.”  Mai tertawa, lucu menurutnya melihat Rie yang pura-pura kesal padahal nyatanya sedang menahan malu jika dilihat dari rona merah yang bermunculan di kedua pipinya.  “Jadi kalian sudah memutuskan akan makan malam dimana?” tanya Mai, masih penasaran ingin mengetahui kelanjutan cerita Rie. “Dia yang menyuruhku menentukan tempatnya.” “Oh, ya? Lantas kau sudah menentukan restorannya? Kalau belum, biar aku membantumu memilihkan restoran yang bagus dan berkelas untuk menghabiskan momen makan malam yang romantis berdua.”  Mai memperlihatkan cengiran lebarnya seperti biasa namun senyum itu memudar begitu melihat reaksi Rie yang tampak lesu dan murung. Wanita itu tiba-tiba menundukan kepala dan tak mengeluarkan suara sepatah kata pun.  “Kenapa, Rie? Kau tidak percaya aku bisa memberikan rekomendasi restoran yang tepat?” “Bukan begitu,” jawab Rie sembari menggelengkan kepala. “Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menghubungi Raiden karena aku lupa meminta nomor teleponnya.”  Dan Mai hanya bisa melongo, merutuki sahabatnya yang bisa jadi sebodoh itu. Semangatnya yang menggebu-gebu tadi untuk merekomendasikan restoran yang tepat untuk Rie, seketika langsung berubah lesu, ekspresi sama seperti yang diperlihatkan Rie saat ini.   ***     Rumah mewah bak istana itu dijaga ketat oleh beberapa pria berbadan tinggi besar yang mengenakan kimono sembari menyampirkan samurai di pinggang mereka. Ada pula beberapa orang yang mengenakan jas dan celana serba hitam sembari memegang senapan laras panjang di tangan layaknya bodyguard. Yang mereka semua lakukan sama yaitu menjaga dengan ketat rumah yang berdiri kokoh dengan begitu megah tersebut.  Pintu gerbang yang tinggi menjulang tiba-tiba terbuka lebar, beberapa mobil mewah berwarna hitam beriringan memasuki gerbang tersebut. Dan saat mobil paling depan berhenti melaju lalu sesosok pria keluar dari mobil, seketika semua pria yang berjaga tadi kini membungkukan badan sebagai bentuk penghormatan.  Pria itu mengenakan hakama hitam dan berjalan tegap memasuki pintu utama rumah megah di depannya yang kini terbuka lebar. Dia berjalan santai, melewati anak buahnya yang sedang membungkuk memberi hormat padanya tanpa mengatakan apa pun. Bahkan di saat ada yang menyapanya, dia tetap menutup mulut, tak ada suara yang keluar dari bibir tebalnya yang kasual.  “Selamat datang, Bos.”  Langkah pria itu baru berhenti begitu melihat sosok pria paruh baya menyapanya dari arah depan begitu dia menginjakan kaki di dalam rumah.  “Aku ingin mendengar laporan terbaru. Kumpulkan semua anggota di ruang utama,” titah pria itu tegas. Suara baritone-nya yang berat sudah sangat mampu mengintimidasi lawan bicaranya sehingga si pria paruh baya hanya bisa mengangguk patuh tanpa berani menatap wajah pria tersebut.  “Baik, Bos.”  Pria itu menyeringai seram sebelum kedua kakinya yang sempat berhenti kini kembali melangkah menuju ke ruangan utama yang baru saja dia sebutkan.  Ruangan utama yang dimaksud oleh pria itu merupakan ruangan menyerupai aula yang menampung banyak orang bisa berada di dalamnya. Kini ruangan itu sudah penuh dengan semua pria berbadan besar yang masing-masing di antara mereka tengah memegang senjata. Sedangkan si pria tadi yang mereka panggil bos, tengah duduk santai di kursi yang diletakan di atas undakan tangga layaknya kursi singgasana seorang raja.  “Siapa yang akan memberikan laporan padaku?”  Satu pertanyaan itu meluncur dari mulut sang bos, dan seketika seorang pria berkepala pelontos dan memiliki jambang yang sangat lebat, melangkah maju ke depan.  Pria yang sedang duduk di atas kursi singgasana itu mengubah posisi duduk bersandarnya menjadi tegak sambil bertolak pinggang dengan angkuh. “Laporan apa yang akan kau sampaikan? Aku harap bukan kabar buruk.”  Pria berkepala pelontos itu menggeleng cepat, “Tidak, Bos. Tapi ini kabar yang bagus. Sesuai prediksi kita, pihak kepolisian memang terus melakukan penyelidikan di reruntuhan hotel. Tapi tentu saja kami sudah menghilangkan semua jejak.Oh, iya. Kami sengaja meninggalkan satu kamera CCTV karena di sana tidak terekam apa pun yang akan membahayakan kita, sebaliknya rekaman itu akan menjadi peringatan untuk mereka agar berhenti memburu kita atau mereka akan bernasib sama dengan wanita yang kita serang kemarin. Semua berjalan sesuai dengan rencana kita. Aku yakin sekarang mereka akan berhenti memburu dan menyelidiki tentang kelompok kita,” ucapnya sambil tersenyum lebar, seolah-olah dia begitu yakin laporannya ini akan membuat sang bos merasa senang dan puas.  Sang bos mendengus keras sambil mengulas senyum sinis dan hal itu membuat senyuman si pria pelontos seketika memudar.  “Kau bilang ini kabar yang bagus?” “Iya, Bos. Kita berhasil menghilangkan jejak seperti biasa. Kita juga sudah berhasil menghancurkan hotel itu. Semua polisi yang mengintai di sekitar hotel bahkan kelimpungan karena tidak memprediksi hotel itu akan kita ledakan.”  Kini sang bos tertawa dan hanya suaranya saja yang membahana di dalam ruangan karena tak ada seorang pun yang berani menyahuti.  “Dasar bodoh kalian semua! Terutama kau!” bentak pria itu sembari memelototi si pria pelontos yang kini sedang menundukan kepala dengan badan bergetar hebat karena takut bukan main setelah menyadari perkiraannya salah besar. Pemimpin mereka itu sama sekali tidak senang atau puas, sebaliknya dia tampak marah besar setelah mendengar laporannya.  “Kau bilang misi kita berhasil tapi kita kehilangan empat anggota yang mati terbunuh saat mengejar wanita sialan itu.”  Si pria pelontos semakin menundukan wajah, bukan hanya tubuhnya yang gemetaran tapi wajahnya kini mulai memucat.  “Wanita itu juga berhasil lolos. Dan hotel itu juga masih berdiri, sama sekali tidak rata dengan tanah seperti yang aku perintahkan. Apa ini yang kalian sebut misi kita berhasil?”  Pria itu kini berdiri dari duduknya, “Kau bilang apa tadi? Dengan sengaja meninggalkan satu rekaman karena kau ingin memperingatkan mereka? Jangan membuatku tertawa,” tambahnya sembari melangkah menuruni undakan tangga.  “Tapi Bos, maksudku baik. Aku melakukan itu agar kepolisian berhenti memburu kita. Aku muak pada mereka yang terus saja mencari petunjuk tentang kita. Jadi aku …” “Apa aku memberimu perintah untuk melakukan itu?”  Si pria pelontos tak mampu berkata-kata, dia hanya bisa meneguk ludah karena tindakan gegabahnya itu sama sekali bukan perintah dari pemimpin mereka, melainkan atas inisiatifnya sendiri.  “Tindakanmu justru sebuah kesalahan tak termaafkan. Kau mau tahu kenapa?”  Si pria pelontos masih tak berani mengeluarkan suara, dia hanya menelan ludah berulang kali dengan napasnya yang naik-turun dengan cepat.  “Karena tindakan bodohmu, kau hanya membuat mereka lebih berhati-hati lagi. Kau pikir mereka akan berhenti memburu kita hanya karena peringatan yang kau berikan? Bodoh! Tentu saja ini justru membuat mereka lebih bersemangat dan teliti menyelidiki kita. Tindakanmu itu bukan melindungi kelompok kita tapi justru membuat kita berada dalam bahaya.”  “Bos, maafkan aku. Aku …”  Namun belum sempat si pria pelontos melanjutkan ucapannya, sang bos dengan gerakan kilat mengambil samurai yang tersampir di pinggang si pria pelontos lalu menebaskannya tepat ke arah leher sehingga darah memuncrat dari luka tebasan di leher si pria malang dengan kepala pelontos itu. Dia pun jatuh tersungkur ke lantai dengan kondisi tak lagi bernyawa. Semua orang terenyak dan seketika tubuh mereka gemataran saking takutnya melihat pemimpin mereka rupanya memang sedang marah besar.  “Ini peringatan untuk kalian semua, jangan pernah coba-coba melakukan sesuatu tanpa seizinku! Kalian hanya perlu mematuhi perintahku! Apa kalian mengerti?!” “Mengerti Bos!” sahut mereka semua dengan serempak. “Kalian tahu tujuan utama misi kita kemarin sampai aku harus turun tangan langsung menghadiri acara pesta itu. Tapi kebodohan kalian membuat rencana kita gagal total. Kali ini aku mengampuni kalian, tapi jika sampai kegagalan terulang lagi di masa depan, lihat saja … kupastikan kalian bernasib sama dengannya.” Pria itu menusukkan samurai di tangannya tepat ke d**a jasad si pria pelontos, di akhir ucapannya.  Lantas dia berjalan pergi dengan wajah memerah karena kesal dengan tindakan gegabah anak buahnya yang akan membahayakan kelompok mereka. Dan itulah pemimpin Kitsune yang teramat kejam dan tak pernah mentolerir anak buahnya yang melakukan kesalahan, meski hanya kesalahan kecil sekalipun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN