BAB 8

2364 Kata
“Maaf, ada bumbu menempel di bibirmu jadi aku membersihkannya.” Hiro berujar demikian memberitahukan alasannya mengusap bibir Rie, ibu jarinya terangkat untuk memperlihatkan bumbu makanan yang awalnya menempel di bibir Rie sekarang berpindah ke ibu jarinya.  Rie berdeham, lalu memundurkan kepala untuk membuat jarak sejauh mungkin dengan wajah Hiro. Menyadari ketidaknyamanan yang sedang dirasakan Rie, Hiro pun ikut memundurkan wajah.  “Terima kasih, Hiro,” sahut Rie sambil menundukan kepala, kesepuluh jemarinya saling meremas di atas pangkuan, kegugupan yang sedang dirasakannya tidak main-main. “OK, ini lanjutkan makannya.”  Hiro kembali mengulurkan sumpit yang sudah menyapit makanan namun kali ini Rie menggelengkan kepala alih-alih membuka mulutnya.  “Aku sudah kenyang.” “Kau baru makan sedikit.” “Tapi aku sudah kenyang.” “Satu suap lagi, aku janji ini yang terakhir.”  Rie mengembuskan napas pelan, “Sebenarnya aku tidak menyukai rasanya. Jadi tolong jangan memaksaku memakannya lagi.”  Hiro mendengus, tak terkejut mendengar ucapan Rie karena dia sudah menduga memang itu alasan Rie ingin menyudahi makannya. Tak ingin memaksa dan mencoba memahami perasaan Rie, Hiro menuruti keinginan wanita itu. Dia membantu memindahkan nampan yang diletakan di depan Rie oleh perawat tadi.  “Terima kasih, Hiro. Maaf jadi merepotkanmu.” “Sama sekali tidak merepotkan, senang bisa membantumu. Aku ke toilet sebentar untuk cuci tangan.”  Rie mengangguk-anggukan kepala, memberikan izin pada pria itu untuk pergi ke toilet. Di saat Hiro masuk ke dalam toilet, seketika Rie memegang d**a kirinya. Jantung malang di dalam sana sedang berdetak cepat karena efek kejadian tadi. Diam-diam Rie menggeram kesal, bertekad akan membuat perhitungan dengan Mai nanti karena wanita itu sudah membuatnya seperti ini. Padahal biasanya dia nyaman mengobrol dengan Hiro, tapi sekarang … entahlah, jika disuruh memilih dia lebih baik sendirian di ruangan ini daripada ditemani Hiro. Tapi tak mungkin juga dia mengusir Hiro yang sudah berbaik hati bersedia menemaninya bahkan sampai akan menginap di rumah sakit malam ini.  Begitu sosok Hiro kembali muncul dari balik pintu toilet, Rie kembali menjatuhkan tangan yang sejak tadi memegangi d**a kirinya, dia bersikap senormal mungkin agar Hiro tak mencurigai dirinya sedang dilanda kegugupan yang amat sangat.  Hiro kembali mendudukan dirinya di kursi di dekat brankar Rie, tanpa mengatakan sepatah kata pun, membuat suasana di antara mereka menjadi canggung.  Tak menyukai keheningan di antara mereka, Rie memutar otak untuk mencari bahan pembicaraan dengan Hiro. Saat dia tanpa sengaja melihat Hiro sedang mengeluarkan ponsel, Rie tersenyum tipis karena sepertinya dia mendapatkan ide sekarang.  “Hiro,” panggil Rie, membuat Hiro yang sedang memainkan ponsel itu pun menoleh padanya. “Ya, kenapa?” tanya pria itu seramah biasanya. Rie meringis dalam hati, lagi-lagi Hiro memperlihatkan perbedaan dalam memperlakukan dirinya dan Mai tadi.  “Hm, tentang adikmu. Jadi dia sedang jatuh cinta pada teman sekelasnya?”’  Terdengar Hiro mengembuskan napas kasar, “Begitulah.” “Kau mengenal pria itu?” “Tidak. Tapi aku pernah melihatnya sekali saat mengantar adikku ke sekolah.”  Rie mulai tertarik membahas tentang adik Hiro yang sedang kasmaran, karena itu dia terus melontarkan pertanyaan. “Bagaimana orangnya? Dia pasti tampan karena itu adikmu sampai jatuh cinta padanya, iya, kan?”  Hiro mendengus kali ini, “Menurutku dia biasa saja. Hanya saja sepertinya dia kapten tim sepak bola di sekolah mereka.”  Seketika wajah Rie berbinar, “Wow, berarti pria itu cukup keren. Pantas adikmu menyukainya.” “Tapi jujur aku tidak menyetujui jika mereka sampai berpacaran.”  Rie tertegun kali ini, merasa heran mendengar Hiro yang tak mendukung hubungan adiknya dengan pria yang disukainya. “Memangnya kenapa? Jangan bilang kau ini tipe kakak posesif yang tidak suka jika adikmu didekati pria lain?”  Hiro memicingkan mata, tampak tersinggung mendengar tuduhan Rie. Sedangkan Rie hanya terkekeh kecil menyadari dirinya baru saja salah bicara. “Maaf kalau tebakanku salah,” katanya, cepat-cepat meralat.  “Tidak sepenuhnya salah karena aku mengakui cukup posesif pada adikku. Tapi bukan berarti aku akan marah jika dia dekat dengan seorang pria, hanya saja aku ingin memastikan dia tidak salah memilih pria. Sedangkan pria itu … pria yang dicintai adikku itu, entah kenapa aku tidak suka padanya.” “Kenapa memangnya kau tidak suka padanya?” tanya Rie, penasaran bukan main. “Anak itu … sepertinya populer di sekolah mereka. Ketika aku mengantar adikku, tidak sengaja aku melihat dia sedang dikerumuni banyak gadis.” “Wah, bukannya itu bagus. Berarti adikmu hebat karena bisa membuat pria sepopuler dia jatuh cinta dan memilih adikmu itu.”  Hiro tersenyum miring, dia yang awalnya duduk tegak kini menyandarkan punggung pada sandaran kursi sembari bersedekap d**a. “Bagus jika pria itu bukan tipe pria yang senang menebar pesona ke sana-sini karena dari yang aku tangkap, dia sepertinya pria yang senang dan meladeni saat ada gadis yang mendekatinya. Sekilas pun aku bisa melihatnya, dia bukan pria yang baik untuk adikku.”  Di mata Rie, Hiro hanya sedang membandingkan pria yang disukai adiknya itu dengan dirinya sendiri. Karena selama ini Hiro selalu mengabaikan semua wanita yang mendekatinya jadi baginya pria yang ramah pada penggemarnya seperti pria itu merupakan pria yang tidak baik. Rie mengulum senyum dan sialnya senyumannya itu tertangkap jelas oleh mata Hiro.  “Kenapa kau senyum-senyum sendiri?” tanya pria itu sembari mengangkat salah satu alis. “Hiro lucu sekali ya.” “Lucu? Lucu apanya?” “Pemikiran Hiro lucu,” jawab Rie sembari terkekeh. “Lucu bagaimana?” “Karena berpikir pria itu tidak baik untuk adikmu hanya karena dia baik pada semua wanita yang menyukainya. Padahal itu belum tentu. Mungkin pada dasarnya dia memang ramah pada semua orang. Karena tidak semua orang memiliki karakter dan sifat seperti Hiro, kan?”  Hiro tertegun, tiba-tiba terpaku di tempat karena berulang kali melihat Rie mengulas senyum hari ini, karena yang sering dilihat Hiro adalah sosok Rie yang selalu serius saat bekerja. Wanita itu sangat jarang tersenyum melainkan selalu tegas saat berbicara dengan siapa pun. Dan hari ini Hiro melihat sisi lain dari seorang Rie. Padahal mereka sudah hampir dua tahun saling mengenal semenjak dipasangkan sebagai rekan satu tim, bertiga bersama Mai. Tapi siapa sangka baru sekarang dia mengetahui sisi lain Rie. Wanita itu ternyata bisa juga bersikap layaknya wanita normal alih-alih wanita yang gila kerja.  “Jadi menurutmu pemikiranku salah tentang pria itu?” tanya Hiro, memastikan. Rie mengangguk-anggukan kepala, “Jangan terlalu cepat menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya, kau harus mengenalnya dulu baru setelah itu kau akan bisa menilai karakter sebenarnya orang itu.” “Hm, begitu ya,” gumam Hiro. “Apa aku kabulkan saja permintaan adikku untuk bertemu dengan pria itu?” “Aku sarankan kau kabulkan saja, itu kesempatanmu untuk mengenal pria itu, kan? Jangan disia-siakan.” “Baiklah. Aku akan menuruti saranmu.”  Rie mengangkat ibu jari sembari tersenyum lebar, senang karena berhasil membujuk Hiro.  “Ngomong-ngomong soal jatuh cinta … kapan kau pertama kali jatuh cinta pada seseorang?”  Senyuman Rie luntur seketika digantikan keterpakuan karena dia begitu terkejut mendengar pertanyaan Hiro yang tiba-tiba. Terlebih pria itu menanyakan tentang kisah percintaannya. Rie tak ingin membahas ini karena menurutnya sangat memalukan jika sampai Hiro tahu dia belum pernah merasakan jatuh cinta.  “Hm, kau sendiri bagaimana? Ceritakan dulu kisah percintaanmu sebelum bertanya pada orang lain.”  Dengan sengaja Rie membalikkan keadaan karena dia yakin Hiro tipe orang yang tak akan mau menceritakan kisah percintaannya pada orang lain, jadi dia berharap setelah ini tak ada lagi pembahasan tentang kisah asmara di masa lalu. “Aku pernah jatuh cinta pada seseorang saat duduk di bangku senior high school.”  Hiro mulai bercerita, yang mana hal itu sukses membuat Rie terbelalak tak percaya karena perkiraannya salah. Ternyata Hiro dengan gamblang menceritakan kisah percintaannya di masa lalu. Pria itu tak malu atau sungkan bercerita di depannya. Tanpa sadar Rie meneguk ludah karena ini artinya akan tiba gilirannya untuk bercerita juga.  Rie menghela napas panjang, semakin ingin membuat perhitungan dengan Mai karena wanita itu yang membuatnya terjebak dalam situasi yang menyebalkan ini.  “Dia adik kelasku,” tambah Hiro. “Oh, ya? Dia pasti cantik sekali karena itu kau jatuh cinta padanya.” Rie menyahuti untuk menghargai Hiro yang sudah mau berbagi cerita dengannya.  Di detik berikutnya Rie tercekat karena melihat Hiro tersenyum tipis, sangat tipis sehingga tak akan terlihat jika tidak diperhatikan dengan seksama. Sepanjang dia mengenal Hiro, baru sekarang dia melihat Hiro berekspresi seperti ini. Ekspresi wajah yang menunjukan rasa malu, cinta yang besar terpancar di kedua matanya namun menyiratkan kesedihan dan rasa rindu yang begitu dalam. Rie tak tahu kenapa Hiro bisa berekspresi seperti itu, dia menebak mungkin hubungan Hiro dan gadis yang dicintainya tidak berjalan mulus.  “Dia cantik tapi wajahnya terlihat pucat,” jawab Hiro, akhirnya kembali bersuara setelah beberapa menit lamanya terdiam seolah sedang bernostalgia dengan si gadis cinta pertamanya.  “Dia juga sangat pendiam dan jarang bicara. Pertama kali bertemu dengannya saat aku pergi ke rooftop sekolah untuk tidur di jam istirahat dan aku melihat dia sedang duduk sendirian sembari memeluk kedua lututnya di sudut rooftop, dia membenamkan wajah di antara kedua lututnya yang terlipat. Aku pikir dia sedang tidur.”  “Lalu apa yang terjadi setelah itu?” Rie mulai tertarik dan serius mendengarkan cerita Hiro. “Aku mendekatinya karena udara saat itu begitu dingin. Sedang musim gugur dan angin berhembus sangat kencang. Aku sedikit kasihan padanya karena dia juga tidak mengenakan pakaian hangat. Aku ingat dia hanya mengenakan seragam olahraga sekolah kami.”  Rie meringis, bisa membayangkan betapa kedinginan gadis itu terlebih dia duduk sendirian di rooftop sekolah.  “Aku mencoba membangunkannya. Tapi dia sama sekali tidak bergerak.” “Hah? Apa dia pingsan karena terlalu kedinginan?” Hiro terkekeh, “Aku juga sempat berpikir seperti itu. Aku berniat membawanya ke UKS, tapi saat aku ingin menggendongnya ternyata dia tidak tidur ataupun pingsan. Saat kedua matanya terbuka, aku benar-benar terkejut.”  Rie ikut terkekah, bisa membayangkan bagaimana terkejutnya Hiro saat itu. “Setelah itu apa yang terjadi?” “Dia sangat galak. Dia memarahiku. Saat itu baru pertama kalinya aku bertemu dengan gadis galak, tegas dan menyebalkan sepertinya. Dia cantik tapi kulitnya sangat pucat mungkin karena dia memang sedang kedinginan saat itu.” “Apa setelah itu kau dan dia menjadi dekat?”  Hiro menggelengkan kepala, “Tidak. Itu pertemuan kami yang pertama dan terakhir kalinya. Tapi pertemuan pertama itu membuatku langsung jatuh cinta padanya.”  Rie tercengang sekarang, “Hah? Kenapa bisa begitu? Padahal kau bilang dia sangat galak?” “Justru karena dia galak dan tegas itu yang membuatku jatuh cinta padanya. Sudah kukatakan, baru pertama kali aku melihat gadis sepertinya karena selama ini yang kutemukan adalah gadis-gadis yang melakukan hal konyol hanya untuk menarik perhatianku.”  Rie menipiskan bibir, terang-terangan mencibir ucapan Hiro, “Itu karena kau populer, mereka menyukaimu karena itu selalu berulah demi bisa menarik perhatianmu.”  Hiro mengangkat kedua bahunya, acuh tak acuh. Pria itu tak berminat jika sudah membicarakan tentang para wanita yang selalu mengejarnya.  “Kau bilang itu pertemuan terakhir kalian, memangnya setelah kejadian itu kalian tidak pernah bertemu lagi?” Hiro mengangguk, “Tidak pernah.” “Kenapa? Padahal kalian satu sekolah walau dia itu adik kelasmu.” “Dia pindah sekolah.”  Rie ber-oh panjang sambil mengangguk-anggukan kepala, mengerti.  “Sampai sekarang aku selalu mengingat gadis itu dan masih mencintainya. Aku bahkan tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita mana pun karena bayangan gadis itu tidak bisa pergi dari pikiranku.”  Rie terbelalak mendengar pengakuan Hiro ini, tapi sekaligus menampik perkataan Mai yang mengatakan Hiro jatuh cinta padanya karena sekarang Hiro sendiri yang mengakui dia sudah mencintai adik kelasnya di masa lalu. Seketika Rie mengembuskan napas lega karena kini dia tak perlu lagi merasa khawatir Hiro memiliki perasaan padanya. Dengan ini dia juga bisa bersikap seperti biasa lagi saat bersama Hiro. Rie senang bukan main mendengar pengakuan Hiro ini, bersyukur karena dia tadi menanyakan tentang kisah percintaan pria itu.  “Sekarang giliranmu,” ucap Hiro yang sukses membuat semua lamunan Rie buyar seketika. “Ceritakan kisah percintaanmu.”  Rie meringis sambil memiringkan kepala, padahal dia berharap Hiro tidak akan membahas masalah ini lagi. Tapi mengingat pria itu juga sudah bercerita panjang lebar tentang kisah cinta pertamanya, Rie merasa dia pun tak memiliki pilihan selain mengakui yang sebenarnya.  Sambil menyampirkan rambutnya ke belakang telinga, Rie pun mulai bercerita, “Aku tahu ini memalukan, tapi aku belum pernah jatuh cinta pada siapa pun,” jawab Rie dengan semburat merah yang bermunculan di kedua pipi tanpa kehendaknya.  “Benarkah?” Rie mengangguk tanpa ragu. “Iya, benar. Memalukan sekali ya karena aku tidak memiliki pengalaman cinta.” “Kenapa kau tidak pernah jatuh cinta? Apa selama ini kau tidak pernah dekat dengan satu pun pria?” Rie mengembuskan napas pelan, mengingat tentang masa lalunya selalu membuatnya tak nyaman, tapi karena dia sudah memutuskan untuk bercerita pada Hiro, Rie pun dengan terpaksa mengatakan yang sebenarnya pada pria itu. Tentang masa lalunya yang sangat menyebalkan.  “Aku tidak sempat dekat dengan pria mana pun.” “Kenapa?” tanya Hiro, semakin penasaran. “Kau mungkin tidak tahu, tapi ayahku seorang inspektur di kepolisian pusat. Dia selalu ingin memiliki anak laki-laki tapi kakak laki-lakiku meninggal saat usianya masih kecil, dia tertabrak ketika bermain sepeda saat berangkat ke sekolah. Saat itu usia kakakku baru delapan tahun. Hanya menyisakan aku saja setelah kakakku meninggal.” Rie menjeda ucapannya, sedangkan Hiro hanya diam, tak berkomentar sedikit pun.  “Ayah begitu terobsesi menjadikan anaknya sebagai penerusnya. Karena kakakku yang awalnya ingin dia jadikan sebagai penerus sudah tidak ada, sehingga ayah tidak memiliki pilihan selain membuatku menjadi penerusnya.”  Rie menerawang ke depan, menatap deretan sofa kosong yang diletakan di dalam ruang perawatannya. “Ayah selalu mendidikku dengan tegas sejak aku masih kecil. Mengajarkan hidup disiplin, berkatnya aku bisa merasakan kerasnya kehidupan. Ini alasanku tidak sempat memikirkan tentang seorang pria apalagi sampai dekat dengan mereka. Aku terlalu sibuk menghadapi ayahku.” Wajah Rie tampak sendu saat mengatakan ini.  “Dulu aku selalu sendirian. Jangankan jatuh cinta atau dekat dengan seorang pria, aku bahkan tidak memiliki teman. Karena itu aku senang saat mengenal Mai dan bisa berteman dekat dengannya. Dia itu teman pertamaku.” Tatapan Rie kini tertuju pada Hiro. “Dan kau juga, Hiro. Aku senang bisa bertemu denganmu dan menjadi temanmu.”  Rie mengulas senyum, namun Hiro hanya menatap wajah wanita itu dengan ekspresi wajah yang sulit untuk dijelaskan. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN