Perlakuan Romantis

1302 Kata
Taksi yang ditumpangi Rie kini berhenti di depan sebuah restoran yang cukup terkenal di Tokyo. Walau dilihat dari luar, kondisi restoran tampak ramai, tapi Rie yakin Raiden sudah memesan meja untuk mereka sehingga dia tak perlu khawatir mereka tak akan mendapatkan meja yang kosong. Rie yang tampak sangat cantik dan elegan malam itu pun turun dari taksi setelah membayar uang untuk ongkos. Kini tatapan Rie tertuju sepenuhnya pada restoran di depannya, mengembuskan napas berulang kali karena bisa dikatakan ini pengalaman pertamanya makan malam di sebuah restoran bersama seorang pria. Hei, Rie memang bukan tipe wanita yang sering berdekatan dengan seorang pria, dia yang terlalu fokus dan serius bekerja membuatnya nyaris tak memiliki waktu untuk berdekatan dengan pria mana pun. Ah, mungkin pengecualian untuk Hiro karena pria itu satu-satunya lawan jenis yang cukup dekat dengan Rie. Kedekatan mereka juga bukan tanpa alasan, melainkan karena Hiro merupakan rekan satu timnya sehingga mereka pun sering berinteraksi dalam berdiskusi atau bekerja sama dalam menyelesaikan berbagai kasus yang mereka hadapi. Rie mengembuskan napas pelan sebelum akhirnya kedua kakinya melangkah memasuki restoran. Pintu pun terbuka karena pelayan yang bertugas di depan pintu baru saja membukanya saat melihat ada pengunjung yang datang. “Silakan, Nona. Apa anda sudah memesan meja sebelumnya?” tanya pelayan laki-laki yang masih tampak muda itu pada Rie yang baru saja masuk. Rie tertegun, ditanya seperti itu tentunya dia kebingungan sekarang. “Aku …” “Nona ini bersamaku. Kami sudah memesan meja sebelumnya.” Hingga Rie tersentak bukan main karena tiba-tiba ada suara yang mengalun, menjawab pertanyaan sang pelayan. Saat dia menoleh ke arah kiri, Rie menemukan sosok Raiden berdiri di sana. Pria itu sangat mempesona malam ini. Mengenakan setelan jas formal berwarna serba hitam yang sukses membuatnya terlihat gagah dan semakin tampan tentu saja. Membuat Rie menatapnya lekat seolah lupa cara berkedip karena terpesona oleh sejuta pesona yang pria itu tunjukan malam ini. Raiden berdeham seolah menyadari Rie sedang menatapnya, tentu saja tindakan pria itu membuat Rie mengerjapkan mata karena tersadar dari keterpanaannya. “Ah, kau sudah datang ternyata?” tanya Rie, berbasa-basi karena sekarang dia tak tahu harus berkata apa pada pria itu. “Ya, begitulah. Aku sudah datang sejak 30 menit yang lalu karena takut terlambat. Aku tidak ingin membuat seorang wanita cantik menungguku lama, jadi biarkan aku saja yang menunggu.” Rie tersentak mendengar ucapan manis penuh rayuan yang dilayangkan Raiden, terutama saat pria itu menangkap salah tangannya dan mendaratkan ciuman ringan di punggung tangannya. “Malam ini kau cantik sekali. Aku sampai nyaris tidak mengenalimu tadi,” ucap Raiden pelan dan hal itu sukses membuat Rie gugup bukan main. Semburat merah kini bermunculan di wajah wanita itu hingga menjalar ke telinganya. “K-kau terlalu memuji. Atau kau sedang menggombaliku sekarang?” Dituduh seperti itu bahwa dirinya sedang menggombal, Raiden tak terlihat tersinggung, dia justru tengah terkekeh geli. “Aku mengatakan yang sebenarnya. Lagi pula aku bukan tipe pria yang pandai memuji atau menggombal. Karena itu apa yang aku katakan artinya itu yang aku rasakan dan pikirkan. Kau memang secantik itu malam ini.” Gantian Rie yang berdeham untuk menenangkan diri dari rasa gugup itu. “Jadi, di mana meja yang sudah kau pesan?” “Ah, di lantai atas karena kupikir duduk di meja itu bisa membuat kita melihat pemandangan sekitar sini.” Rie mengangguk setuju dan tampak senang karena pria itu memilih tempat yang tepat sesuai dengan harapannya. “Kalau begitu mari aku antar kau ke meja kita.” Rie melebarkan mata saat melihat Raiden mengulurkan tangan padanya, pria itu berniat menggandengnya menuju lantai dua restoran tersebut. Awalnya, Rie berniat menerima uluran tangan dari pria itu hingga dia pun ikut mengulurkan tangannya. Namun, saat menyadari banyak orang di restoran itu dan karena Rie tak suka dirinya menjadi pusat perhatian serta memiliki rasa malu yang sangat besar, Rie pun kembali menurunkan tangannya. Dia berubah pikiran dan tak ingin menerima uluran tangan Raiden tersebut. Rie berdeham. “Kita jalan masing-masing saja, toh aku bisa jalan sendiri.” Raiden terkekeh, dia lalu menurunkan kembali tangannya yang sudah terulur. “Baiklah. Kalau begitu mari ikut aku.” Pria itu pun kini berjalan di depan, sedangkan Rie mengikutinya dari belakang. Mereka menaiki anak tangga menuju lantai dua hingga akhirnya tiba di meja mereka yang berada tepat di pinggir dinding kaca sehingga pemandangan malam Tokyo yang indah karena penuh dengan gemerlap lampu-lampu bisa dilihat dengan jelas. Rie tampak takjub saat dirinya berdiri di dekat meja mereka dan dari sana bisa melihat indahnya pemandangan sekitar. “Silakan duduk.” Rie yang sedang terpukau oleh keindahan pemandangan sekitar itu pun tersentak ketika mendengar suara Raiden, terutama ketika pria itu memundurkan kursi yang akan diduduki Rie. Rie merasa tersipu karena baru kali ini dia mendapatkan perlakuan manis dan romantis dari seorang pria. Meskipun dirinya gugup bukan main, Rie pun mendudukan diri di kursi yang sudah disiapkan Raiden untuknya. “Makanan apa yang ingin kau pesan?” tanya Raiden saat seorang pelayan menghampiri meja mereka dan menyerahkan buku menu. “Huh, harusnya aku kan yang bertanya demikian karena malam ini aku yang akan mentraktirmu makan?” “Ah, kau benar juga. Aku sampai melupakan hal ini.” “Aku harap kau akan memesan makanan seharga dengan uang yang kau keluarkan untuk membiayai pengobatanku di rumah sakit.” “Ck, kau ini tetap saja membahas masalah itu.” “Ya, karena itu alasan kita berdua duduk di sini sekarang. Tidak lain karena makan malam ini untuk mengganti biaya rumah sakit waktu itu.” Raiden mengembuskan napas pelan, berharap Rie tak akan membahas masalah itu saat ini, rupanya sifat Rie yang dingin dan tak suka berhutang budi pada orang lain itu tak bisa dihindari. “Baiklah, kalau begitu aku pesan makanan terbaik di restoran ini,” ucap Raiden pada sang pelayan. “Juga minuman terbaik yang restoran ini miliki.” “Baik, Tuan. Dan anda, apa pesanan anda, Nona?” Rie tersenyum penuh arti. “Samakan saja pesananku dengannya. Makanan dan minuman terbaik di restoran ini.” “Baik, Nona. Mohon ditunggu sebentar, kami akan segera menyiapkannya.” Setelah mendapat anggukan dari Raiden dan Rie, sang pelayan pun pergi meningggalkan meja mereka, juga meninggalkan Raiden dan Rie yang kembali canggung. “Aku masih terkejut kau mengetahui pekerjaanku sebagai seorang polisi?” tanya Rie karena masih ingat Raiden yang menunggunya di depan kantornya. “Karena melihat rekan-rekanmu yang menjengukmu di rumah sakit, sudah membuktikan segalanya. Lagi pula saat kita bertemu pertama kali, aku melihatmu terluka dan sedang memegang pistol. Jadi, kusimpulkan pekerjaanmu merupakan yang berhubungan dengan senjata dan sesuatu yang berbahaya seperti melakukan penyusupan demi menangkap penjahat. Sudah pasti kau seorang polisi.” “Tunggu sebentar, dari mana kau tahu aku melakukan penyusupan waktu itu?” “Hm, hanya asal menebak. Hanya saja alasanku berada di tempat kejadian waktu itu karena pekerjaanku yang harus meliput pesta. Aku seorang wartawan, aku pernah mengatakannya padamu, kan? Tentu aku tahu di pesta itu banyak orang-orang penting yang berkumpul, mungkin ada juga penjahat di antara mereka jika melihat kejadian mengerikan itu.” Rie mengembuskan napas lelah, mendengar ucapan Raiden membuatnya teringat pada tragedi penyerangan saat dia dan Mai melakukan penyamaran di pesta para petinggi saat itu. “Ya, karena kau sudah tahu pekerjaanku, mana mungkin aku bisa mengelak.” “Sepertinya mulai sekarang aku harus mencari tahu semua hal tentangmu.” “Hah? Kenapa begitu?” tanya Rie terheran-heran mendengar ucapan Raiden tersebut. “Karena …” Raiden tak melanjutkan ucapannya, dia justru menyeringai lebar membuat rasa penasaran Rie semakin naik ke permukaan. “… maaf itu rahasia. Nanti juga kau akan tahu kenapa aku mengatakan ini. Yang jelas, Rie, setelah ini mungkin kita akan sering bertemu.” Raiden pun mengulas senyum penuh makna, yang coba Rie terka artinya tapi sayang wanita itu tak memahaminya sedikit pun. Hanya saja jantung Rie kini berdetak cepat memikirkan … benarkah dia dan Raiden akan sering bertemu setelah ini?

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN