Haifa terlonjak. Dengan cepat mendekati Ibu dan memegang tangan perempuan yang teramat dihormatinya. Wajah lembut Haifa berubah sangat khawatir melihat napas Ibu yang terlihat turun naik.
"Ibu?" Haifa dengan lembut menuntun Ibu mertuanya, perlahan membujuknya agar kembali masuk.
"Ibu, masuk yuk."
"Tunggu." Sekar yang masih memegang pipinya yang masih terasa panas, tampak belum puas. Apalagi barusan dia dengan jelas mendengar Ibu menyebutnya wanita s****l. Menyebalkan.
Perempuan tua, kurang ajar. Kamu pikir aku perempuan rendah yang bisa kau injak begitu saja? Gerutunya nampak sangat tersinggung.
"Ada apalagi? Cukup, pergi dari rumah ini. Akhiri keributan ini , Sekar." Haifa menatap ke arah kekasih suaminya dengan tajam, memohon pengertian agar Sekar segera pergi.
Suasana yang panas dan tegang tak baik buat kesehatan Ibu.
"Pergi?"
Sekar tersenyum sinis.
"Aku kesini ingin menemui calon Ibu mertuaku. Aku ingin memperlihatkan, akulah yang pantas menjadi pendamping Mas Yudha, bukan perempuan kampungan sepertimu. Aku pintar, kaya dan berpendidikan."
Astaghfirullah.
Bukannya menggubris Sekar malah makin ngeyel, apalagi Meri dan Shila malah memberi isyarat dukungannya.
Dasar para lalat ini tidak tahu adab dan sopan santun, dengan kecantikan dan kekayaan yang mereka miliki, sudah terbiasa mendapatkan apapun yang mereka mau.
"Mbak Meri." Haifa melirik pada Meri, memberi isyarat agar Sekar diajak pergi.
"Biarkan dia bicara sama Ibu." Meri membantah.
Haifa menggeleng.
"Bu, ayo kita masuk. Ibu tidak sedang baik-baik saja."
Haifa menuntun Ibu dan tidak memperdulikan Sekar yang mendelik.
"Baiklah, Fa. Ibu tak suka keributan," jawab Ibu.
"Tunggu, beri aku waktu bicara sebentar saja." Sekar ngotot. Ibu menghentikan langkahnya.
"Apa yang akan kau bicarakan?"
"Kita bicara di dalam, Bu. Aku juga kan tamu, masak ngomong di sini."
"Bu..., Sekar pulanglah. Aku mohon."
"Biarkan dia masuk, Fa."
Sekar tersenyum lebar, sedikit menoleh ke arah Haifa dengan sinis.
Sekar di ikuti Meri dan Shila akhirnya masuk ke dalam rumah dan berbicara panjang lebar mengenai statusnya sebagai perempuan yang dicintai Yudha.
"Bu, Yudha tidak bahagia dengan pernikahannya dengan Haifa. Sampai kapan Ibu memaksanya mempertahankan, pernikahan yang laksana neraka ini?" Meri ikut menjelaskan panjang lebar.
"Betulkah Yudha?" tanya Ibu berwibawa.Setelah Bapak meninggal, Ibu terbiasa memegang kendali.
Haifa menegang menanti jawaban suaminya.
Akankah dia mengatakan tidak? Atau bahkan mengakui kalau dia tidak pernah mencintainya?
"Bagaimana Yudha?"
"Be-betul, Bu. Aku mencintai Sekar bukan Haifa."
Kresss.
Haifa menelan ludah, lagi-lagi menahan perih akibat sayatan kalimat Yudha yang setajam sembilu. Matanya mengembun, melempar tatapnya ke arah lain, agar tidak seorang pun tahu kalau jiwanya runtuh dan terburai.
Ibu tersenyum.
"Aku mengerti Yudha. Tapi satu hal yang kalian harus tahu, aku tidak merestui pernikahanmu dengan Sekar."
"Bu, kenapa aku tidak bisa menikahi Sekar? Aku mencintainya." Yudha maju ke depan, memohon. Berkali-kali Haifa mengusap dadanya, sakit sekali melihat pria yang teramat dicintainya berjuang untuk perempuan lain.
"Yudha, cinta saja tidak cukup. Cantik dan kaya saja juga tak cukup untuk menjadi istri yang bisa membahagiakanmu. Ibu mohon, jaga pernikahanmu dengan Haifa."
"Bu..."
"Cukup, Yudha. Jangan merajuk, Meri...bawa pelakor itu pergi."
"Bu." Yudha menegang.
"Yudha sekali lagi kukatakan padamu, kau mau memilihku sebagai Ibumu atau perempuan murahan itu, hah?" Napas Ibu tersengal.Ibu murkabdengan sikap Yudha yang keras kepala.
"Dengar Yudha, tak ada pelakor yang berhati permata, pilihanmu cuma satu aku atau perempuan Jahan*m itu?"
Suasana berubah tegang, Sekar tampak berusaha menentang tapi terpaksa ditahan oleh Meri dan Shila. Kalau sampai ada apa-apa dengan Ibu, mereka yang akan disalahkan.
Yudha terdiam. Wajahnya terlihat menahan amarah.
"Dengar Sekar, sampai langit terbelah pun aku tidak akan mengizinkan putraku menikahimu. Pergilah dari kehidupan Yudha. Dan kau Yudha, sekali kau menentang ku, aku tidak akan pernah memaafkan mu.."
Suasana semakin tegang, Sekar tampak meraung, saat diajak keluar dengan paksa oleh Meri dan Shila.
Sementara Yudha diam membisu dengan pandangan penuh murka menatap Haifa.
Haifa mencelos.
Duh, Gusti...izinkan aku mampu melewati ujian Mu, bisik hatinya sendu.
***
"Puas?"
Suara Yudha terdengar menggelegar memenuhi kamar yang sepi. Hari sudah agak sore saat mereka kembali dari rumah Ibu.
"Puas kau permalukan aku di depan Ibu dan menjadikan Ibu sangat membenci Sekar?" lanjut Yudha, rupanya hasutan Sekar dan dua kakak iparnya lewat pesan WA mereka, cukup ampuh membuat d**a Yudha rasanya mau meledak karena membenci Haifa.
"Ini bukan masalah puas dan tidak puas, ini masalah salah dan benar. Kamu membawa perempuan bukan mahram di saat yang tidak tepat itu salah, Mas."
"Sejak kapan kamu menjadi pembangkang, hah?" Yudha makin emosi, teringat pesan Meri dan Shila juga Sekar yang memenuhi gawainya.
"Yudha, makin lama istrimu makin lancang dan berani."
"Dia makin kurang ajar."
"Dia pasti sudah menghasut Ibu agar membenci kita semua."
Pesan-pesan Meri dan Shila membayang di benaknya.
"Mas, bagaimana mungkin ibu menolakku dengan keras, kalau tidak makan omongan istrimu yang jahat itu." Rengek Sekar.
"Ceraikan saja dia Yudha." Pesan Meri berapi-api.
"Selama aku masih hidup, berani kau menceraikan Haifa, dunia akhirat aku tidak akan memaafkan mu." Pesan terakhir Ibu sebelum pulang membuat kepalanya terasa pecah.
Yudha benar-benar pusing.
"Haifa."panggilnya dingin.
"Iya, Mas."
"Kita bicara." Yudha menatapnya tak ramah.
"Mulai hari ini, jangan urusi lagi hidupku."
"Maksudmu?" Suara Haifa menggantung.
"Kau menceraikanku?" tanya Haifa ragu.
"Tidak. Ibu memintaku untuk bertahan dengan perkawinan tanpa cinta ini."
Ah. Haifa menelan ludah. Sakit sekali mendengarnya.
"Aku hanya ingin, tolong jangan campuri kehidupanku."
"Bagaimana mungkin, aku masih istrimu. Aku masih berkewajiban berbakti padamu. Aku..."
"Cukup Haifa, aku tidak akan menuntut mu dari segala tugasmu sebagai istri. Lakukan apa yang kau mau di rumah ini, pergi dan datanglah sesuka yang kau mau, aku tidak perduli. Satu hal...jangan usik hidupku. Kita bertahan karena Ibu sakit."
"Mas?" Haifa tercekat.
"Bagaimana mungkin aku tidak menunaikan kewajibanku, jika aku masih istrimu?"
" Kita memang masih suami istri. Tapi Haifa, aku lelah ..."
Duh Gusti, betapa pun aku tak bahagia dalam pernikahanku, tapi betapa sakit mendapati diri seolah tak ada arti di hadapan suamiku. Haifa terisak.
"Kalau begitu, apa tugasku sebagai istri?"
"Tidak ada. Kau hanya harus menunggu sampai Ibu sembuh untuk pergi dari hidupku."
"Cukup Mas. Aku mengerti." Haifa menyeka air matanya.
Cukup sudah harga diriku kau rendahkan, Yudha.Cukup dua tahun menunggu cinta yang sia-sia. Haifa bangkit.
"Aku merekam semua ucapanmu di hatiku Mas. Terimakasih sudah memberiku kesempatan menjadi wanita yang merdeka. Satu hal, jika kau pikir aku akan menangis saat kau membuang ku dari hidupmu, kau salah besar. Camkan, sehina apapun aku di matamu, aku bukan pengemis cinta."
Haifa tersenyum, perlahan bangkit dan berlalu ke arah lemari pakaian.
"Mas, mulai hari ini aku tidur di kamar sebelah."
Tangannya cekatan memindahkan baju-bajunya ke dalam tas besar.
Tak butuh lama, separuh lemari Haifa sudah kosong.
"Aku permisi. Mulai hari ini izinkan aku menulis hariku di sini dengan warnaku sendiri." Tanpa menunggu jawaban, Haifa gegas keluar dari kamar suaminya
Blug.
Yudha mengerjap, dia pikir Haifa akan menangis dan memohon untuk tidak berlalu. Ah, ternyata dirinya salah.
Entah mengapa pula hatinya sedikit sakit, saat mendengar suara pintu kamarnya yang perlahan tertutup dan menelan bayangan Haifa, seolah menegaskan, kalau dinding diantara dirinya dan Haifa kini menjulang begitu tinggi.
Yudha menghela nafas, tak adalagi sosok Haifa yang selama ini setia menemani malamnya dengan penuh ketulusan dan cinta.
Kok, aku nelangsa? Entah mengapa ada yang hampa di sudut hatinya yang paling dalam.