The Farewell | 4

1287 Kata
Usai kerja sama membersihkan dalam kelas, serta halaman depan dan belakangnya juga, anak-anak diarahkan kembali ke beberapa bagian tempat untuk melakukan penanaman. Dekat kantin, mushola, parkiran, ruang guru, serta ruang lainnya yang akan ditanami tumbuhan baru. Alby dan Galang mengarahkan anak-anak kelas X IPA 1--kelas Nurin dan kawan-kawan, menuju dekat kantin. "Tempat lo jatuh kemarin, Rin!" kata Clara sambil tertawa, seolah ada yang hal yang benar-benar lucu. Gila saja, gundukan tanah sialan itu yang kemarin membuatnya malu setengah mati di depan anak-anak. Nurin tidak tahu ini takdir atau kebetulan, ternyata Alby adalah kakak pendampingnya, bersama Galang. Kesal bukan main, tapi untung saja besok adalah hari terakhir mereka PLS. Setelah itu, kemungkinan bertemu Alby sedikit lebih kecil. "Nurin, tanam bunga melati jakarta lo di sebelah Naldo." Nurin menatap Alby beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk paham. Padahal dia ingin menanam bunga melati jakarta miliknya di samping bunga milik Clara. Agar nanti tanaman mereka tumbuh bersampingan. "Gali tanahnya lebih dalam." "Iya, ini juga lagi di gali, Kak!" desis Nurin mulai tak suka. Sedari tadi Alby selalu mengomentari kerjaannya. Seolah-olah apa yang dia lakukan salah terus. Mendengar bentakan Nurin yang terbilang berani itu membuat perhatian teman-teman teralih kepadanya. Clara memberikan kode agar Nurin lebih bisa mengontrol emosi. Galang tertawa melihat tingkah Alby. Kemudian berbisik, "Cewek yang jatuh kemarin kan?" tanyanya. Alby mengangguk pelan. Yap, dua orang cowok di balik tembok kemarin adalah Alby dan Galang. Sehabis rapat forum anak selesai, Alby sempat ke sekolah sebentar, dan tak sengaja melihat kejadian yang menurutnya langka. Seorang anak cewek jatuh di atas gundukan tanah. Lucu saja menurutnya. "Cantik?" Galang menaikkan sebelah alisnya. Alby tidak menjawab, membuat Galang mengetahui satu hal. Nurin adalah satu-satunya cewek yang berhasil mencuri perhatian Alby sejak pertemuan pertama mereka. Tiga tahun Galang berteman dengan Alby, tidak pernah dia lihat atau dengar cowok itu tertarik sama anak cewek satu sekolah dengan mereka. Tetapi tidak menutup kemungkinan Alby tidak pernah menyukai cewek di luar sana. Ada, dia seorang pelayan di salah satu kafe yang berada tak jauh dari sekolah. Dulu, sebelum cewek itu pindah tempat tinggal--entah ke mana. *** Sehabis melakukan kebersihan dan penghijauan bersama, siswa-siswi diberikan waktu tiga puluh menit untuk beristirahat dan mengisi perut. Setelah itu berkumpul di aula tertutup untuk mengikuti sosialisasi seperti kemarin, hari ini membahas mengenai disiplin dan tata tertib SMA Antares yang akan disampaikan oleh kepala sekolah dan salah seorang guru kesiswaan. Nurin melangkah menuju toilet, bersama Clara di sisi kanannya. Obrolan ringan menemani setiap langkahan mereka. Saat melangkah melewati koridor yang akan membawa mereka menuju toilet khusus kelas sepuluh, mata lebarnya yang berwarna cokelat pekat bersinar cerah karena melihat sesuatu. "Oh astaga, green house sekolah kita jadi bagus banget, Cla!" Nurin berdecak kagum. Dia dan anak yang lain berhasil menyulap green house SMA Antares menjadi lebih asri. Meski green house mereka tidak terlalu luas dan besar, semua tanaman di dalamnya tersusun dengan rapih, nampak indah jika dipandang. Clara menunjukkan ekspresi tak jauh berbeda, kemudian merangkul bahu Nurin yang memiliki postur tubuh sedikit lebih rendah dari dirinya. "Bangga gak tuh, jemari pemalas kita mampu menyulap semua ini?" tanyanya dengan menaik turunkan sebelah alis kiri--menunjukkan ekspresi songong. Dengan sebal Nurin menyikut pelan perut Clara. "Lo aja yang pemalas, gue enggak!" Lantas beranjak pergi meninggalkan Clara. Kaki panjang Clara dengan begitu mudah menyusul langkahan Nurin. Sebenarnya perbedaan postur tubuh mereka tidak terlalu jauh, hanya tujuh senti saja. Clara memiliki tinggi badan 160 sentimeter sedangkan Nurin berada di angka 153 sentimeter. Memiliki postur tubuh yang lumayan pendek membuat Nurin sering menjadi bahan candaan teman-temannya, Nurin sering dibilang anak kecil yang imut. Ya, kalau dilihat-lihat memang benar ... Nurin kelihatan lebih muda dari umurnya yang saat ini sudah menginjak angka lima belas. Usai buang air kecil, Nurin melangkah menuju cermin besar yang ada di ujung kanan ruangan, merapikan tatanan rambut lurus dan hitam sebahunya. Clara yang baru saja keluar dari bilik langsung mengambil posisi di samping kiri Nurin, menguncir kuda rambut cokelat panjangnya. Sebelum beranjak pergi, Nurin tersenyum sekali lagi melihat penampilannya yang sudah lebih rapih. Bibir tipis berwarna merah muda itu selalu membuat Nurin kelihatan cantik dan manis ketika mengulas senyum. "Kebiasaan, senyam-senyum sendiri!" Clara mencibir kebiasaan Nurin, senang sekali tersenyum dan berpose di depan cermin--apalagi cermin yang menampilkan seluruh tubuhnya. Nurin menjulurkan lidahnya, "Suka-suka gue!" Lalu memalingkan wajah, mereka segera meninggalkan toilet melangkah menuju kantin sebelum waktu istirahat berakhir. Satu langkah lagi kaki kanan Clara berhasil mendarat pada lantai kantin, namun Nurin segera menghentikannya secara tiba-tiba. "Stop, Cla! Kita lewat sebelah sana aja!" Lantas menarik tangan Clara, membawa gadis itu menjauh dari arah kantin 1 yang berada di sebelah kiri. "Rin, apa-apaan, sih? Apa bedanya lewat sebelah kiri atau kanan?" Clara berdecak sebal. Di depan kantin mereka terdapat dua pondopo untuk bersantai. Kantin 1 berada di sebelah kiri pondopo, sedangkan kantin 8 berada di sebelah kananya. Nurin menyuruh Clara diam, tidak mengizinkannya mengoceh lebih banyak. "Lo gak liat? Di kantin satu tadi ada Kak Alby!" Bibir Nurin sudah maju ke depan, cemberut. Mereka mengambil tempat di salah satu meja yang kebetulan masih kosong di kantin 8. "Apa yang salah? Kalau lo gak mau makan di kantin satu, kita bisa makan di kantin dua." "Diam deh!" "Atau jangan-jangan lo mau ingkar janji yang tadi pagi, ya?" Clara memicingkan matanya. Dia masih ingat dengan janji Nurin yang akan mentraktir Alby batagor sebagai upah atas tumpanganya. Nurin tidak menjawab. Dia langsung meninggalkan Clara menuju ibu kantin 8, memesan makanan untuk mereka. Bakso untuk Clara, dan lalapan ayam madu untuknya. Beberapa menit kemudian Nurin kembali ke tempat duduknya dengan membawa nampan berisi pesanan untuk mereka berdua. "Lalapan lagi?" Nurin mengangguk semangat. "Gue suka!" jawabnya dengan mata berbinar. Nasi putih, paha ayam madu, serta terdapat masing-masing satu potongan tempe, tahu, dan terong yang digoreng pakai tepung. Sebenarnya ada potongan timun juga, tetapi Nurin meminta ibu kantin untuk tidak memasukkannya. Darah yang selalu rendah membuat Nurin menghindari sayuran yang satu itu. Baru saja akan menyuap makanannya, seseorang datang dengan berpura-pura batuk. Nurin hanya melirik sepatu yang cowok itu kenakan sudah dapat mengetahui siapa pemiliknya. Nurin benci situasi seperti ini, dadanya berdebar tidak beraturan dan kencang. Sungguh, baru kali ini Nurin merasakan hal seaneh ini jika sedang berdekatan dengan seorang cowok. "A-ada apa ya, Kak?" tanya Nurin menunjukkan wajah polos tanpa dosa. Jujur saja, dia lebih suka mengomeli cowok itu untuk menutupi kegugupannya. "Mang Adi, batagor kayak biasa satu, ya." Alby langsung memesan batagor pada Mang Adi yang berada di kantin 7. Mengambil tempat duduk di samping Clara--berhadapan dengan Nurin. "Sesuai janji lo tadi pagi, upah gue." Alby menyunggingkan senyum, semakin membuat Nurin mati kutu. Clara hanya menjadi penonton yang setia mengunci mulut. "A-ah, oke, Kak." Nurin berusaha menunjukkan senyuman yang dia yakini pasti akan kelihatan sangat terpaksa. "Aku makan duluan, Kak." Alby mengangguk. Nurin langsung menyuap makanannya dengan gerakan cepat, agar dapat segera menghindari Alby. "Uhuk! Uhuk!" Nurin langsung meraih gelas air putihnya, meminum hingga setengah bagian. Helaan napas panjang penuh kelegaan terdengar, membuat Alby menahan tawa. Di bawah meja, kaki Clara menyenggol kaki Nurin memberikan kode untuk bersikap biasa saja. Nurin menghembuskan napasnya sekali lagi, lebih pelan agar tak menimbulkan bunyi. "Kak, aku sama Clara permisi duluan, ya. Hem ... seperti janji tadi pagi, batagornya aku yang bayarin." Tanpa menunggu persetujuan dari Alby, Nurin segera bangkit dari tempat duduknya. Setelah membayar makanan mereka, Nurin dan Clara meninggalkan kantin. Nurin berhenti di balik tembok, menghentakkan kakinya beberapa kali sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan. "Pipi gue merah gak, Cla?" Clara mengangguk. "Seperti biasa." Nurin meringis. Kenapa pipinya selalu tidak bisa dikondisikan jika sedang gugup dan malu? No, bukan hanya pipi ... dahi dan telinganya pun juga selalu kompak. "Ayo ah, nanti kita telat ke aulanya." Sepanjang perjalanan menuju aula tertutup Nurin berusaha menetralkan detak jantungnya, memegangi kedua pipi untuk mengurasi kadar kemerahannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN