The Farewell | 1

1443 Kata
Seorang gadis menghempaskan tubuhnya ke atas sofa yang berada di ruang keluarga rumahnya. Wajahnya memberengut--nampak sedang kesal. "Lho, Sayang ... kok bajunya kotor banget?" tegur seorang wanita yang kelihatan masih cantik sekali diumurnya yang tak lagi muda--Bu Abraham. Gadis itu menghela napasnya panjang. "Iya nih, Bun ... tadi Irin jatuh di sekolah," balasnya dengan raut sedikit kesal mengingat kesialannya. Nurin Putri Abraham. Itulah nama lengkap gadis dengan perawakan mungil tersebut. Biasa dipanggil Irin sejak kecil. Nurin adalah putri sematawayang keluarga Abraham. "Kok bisa jatuh?" "Keserempet temen yang lagi buru-buru, Bun." Nurin memelas. "Malu banget dilihatin semua orang tau, Bun, dikira pak Abbas juga Irin lagi main gelindingan pas jatuh tadi! Pak Abbas mah dari dulu gak bisa berhenti ngeselinnya," decak dan desisnya mengingat kejadian memalukannya tadi siang di sekolahnya--jatuhnya sama sekali tidak elit. Kesan pertamanya benar-benar buruk dan memalukan. [Flashback] "Rin, abis ini kantin yuk?!" ajar Clara pada Nurin. Saat ini mereka tengah berada di aula terbuka, sedang mengikuti sosialisasi siswa-siswi baru mengenai n*****a. Heran, selalu saja kalau acara pembukaan masa pengenalan lingkungan sekolah selalu mengadakan sosialisasi mengenai n*****a. Kenapa tidak tentang bahayanya p********i? Padahal jaman sekarang, penggemar video maupun foto tak benar itu hampir sama rata banyaknya dengan pemakai n*****a. Bahayanya malah lebih parah. Nurin yang sedari tadi diam memerhatikan dengan betul bagaimana pihak kepolisian menerangkan mengenai berbagai macam jenis n*****a serta bahayanya untuk kesehatan, mengalihkan pandangannya pada Clara yang berada di samping kirinya. Gadis itu menyunggingkan senyum, lantas mengangguk. "Iya, gue udah laper banget," balasnya dengan berbisik kecil pada telinga Clara. Clara mengacungkan jempolnya. Setelah mengikuti limabelas menit untuk sosialisasi, siswa-siswi dipersilakan bubar--kini waktunya istirahat. Semua anak berlarian dengan riang menuju kantin, waktu yang sedari tadi mereka nantikan. Clara asik bercerita mengenai liburannya, tak sadar telah melangkah lebih dulu meninggalkan Nurin. Pekikkan dari arah belakang langsung menyadarkan gadis itu kalau sahabatnya tertinggal jauh dari posisinya yang hampir sampai di kantin. "Astaga, Irin!" pekik Clara tak kalah keras. Dia mendapati Nurin yang sudah terjatuh mengenaskan di atas galian tanah yang baru saja di gali untuk menanaman beberapa pohon dekat kantin. "Lo kenapa bisa jatuh?!" tanyanya kemudian sambil membantu sang sahabat itu bangun. Lutut dan sikunya berdarah akibat benturan pada semen dan bebatuan kecil. "Airin?! Kamu kenapa main gelindingan di sini? Belum puas dengan masa kecilnya main tanah liat?" pekik seorang bapak guru bertubuh besar dari arah kanan, yang sepertinya baru saja dari halaman belakang--bernama Abbas. Bercerita sedikit, pak Abbas ini adalah guru kesenian, pembina pramuka, dan pelatih menari. Kalian pasti kaget mendengarnya. Tentu saja. Meski bertubuh gemuk, ia sangat lihai dalam menari tarian daerah manapun. Tubuh pria berumur hampir setengah abad tersebut sangat lentur, namun tidak mengurangi ketegasannya dalam mengajar. Nurin dan Clara sangat mengenal pak Abbas walaupun mereka masih murid baru. Pak Abbas adalah guru mereka di bangku sekolah menengah pertama kemarin, yang kemudian dipindah tugaskan ke sekolah menengah atas--wakty mereka naik ke kelas sembilan. "Bapak suka ngasal kalo ngomong," decak Nurin tak suka dikatai demikian. Anak lain nampak memerhatikan kesialannya. Pak Abbas tertawa kecil. Beliau senang sekali bercanda pada Nurin yang merupakan anak tetangganya tersebut. "Sudah, kamu bersihkan dulu seragam kamu. Dan kalian ... ngapain masih berdiri di sana, ini bukan pertunjukan sirkus. Bubar semua!" Sepeninggal pak Abbas, Clara memicingkan matanya pada Nurin. "Lo kenapa?" Nurin mendengkus kesal. "Bantu gue ke UKS dulu kenapa, sih?! Sakit kaki gue nih!" Clara terkikik geli tanpa dosa, kemudian membantu Nurin ke ruang kesehatan sekolah. Tanpa Nurin dan Clara sadari, dua orang lelaki tengah berdiri memerhatikan mereka sedari tadi. "Sudah ngeliatinnya?" tanya lelaki yang lebih kurus dari lelaki satunya. Meski lebih kurus, kadar kegantengannya tak ikut kalah. Lelaki berkumis tipis serta memiliki alis tebal itu tersenyum miring, kemudian mengangkat sebelah bahunya tanpa berniat menjawab pertanyaan dari temannya. Di ruang kesehatan, kak Putri memberihkan luka Nurin terlebih dahulu, baru memberikan obat luka. Gadis manis itu adalah kakak kelas yang merupakan salah satu anggota PMR di sekolah mereka. "Lo kenapa? Gak masuk akal kalau lo tiba-tiba jatuh tanpa sebab?" Nurin mendesis. Lukanya saja belum selesai dibersihkan, tetapi gadis itu sudah kesekian kalinya memberikan pertanyaan yang sama. Dasar mengesalkan! "Lo sih jalannya cepat banget, gue diserempet sama anak cowok. Kelihatannya dia lagi buru-buru, bawa kertas gitu, menuju ruang guru." Clara membulatkan mata. Dia teringat akan cerita di w*****d yang sering dibacanya. Awal bertemu dengan bertabrakan manja, kemudian saling cinta. "Siapa? Kakel, ganteng gak?" "Seangkatan kita. Biasa aja. Dia kacamataan. Kelihatannya pendiam. Udahlah, lupain. Dia juga udah minta maaf, ya walaupun suaranya kecil banget. Gue hampir gak denger dia ngomong apa, selain kata maaf di akhir kalimat." "Beneran biasa aja? Biasanya kalau di cerita yang gue baca sih, berawal dari tabrakan gak disengaja, berlanjut dengan jatuh cinta." Clara menaik turunkan alisnya. Muka songongnya benar-benar minta ditimpuk pakai parutan kelapa. "Lo kebanyakan baca n****+! Sengklekkan otaknya ...!" [Flashback off] Bu Abraham terkekeh sendiri mendengar cerita sang putri. "Makanya lain kali hati-hati dong, Sayang." "Bunda tega, ya, ngetawain anaknya yang lagi sengsara begini!" balas Nurin makin kesal melihat bu Abraham yang menertawakannya. "Ha ... ya sudah, Bunda ke dapur dulu, mau lanjut beberesnya. Kamu jangan lupa mandi, nanti Bunda bersihkan dan kasih obat lagi lukanya." Nurin menyunggingkan senyum. Ibunya terdengar sangat menyayangi dirinya. "Siap, Bunda." **** Sekitar jam empat sore, Clara datang menjemput Nurin. Mereka akan pergi ke toko pecah belah untuk membeli beberapa barang untuk kebersihan. Seperti yang telah ada di jadwal Pengenalan Lingkungan Sekolah hari besok anak-anak akan melakukan gotong royong membersihkan lingkungan sekolah dan melakukan menanaman pohon untuk penghijauan. Selain terkenal sebagai sekolah model terbaik, SMA Antares juga menjadi sekolah adiwiyata yang sangat peduli dengan lingkungan sehat, bersih, dan indah. Biasanya setiap dua minggu sekali, yaitu pada jum'at bersih warga sekolah juga selalu melakukan kebersihan bersama. Tidak hanya pada lingkungan di dalam sekolah, di luar area sekolah juga diharuskan untuk bersih agar menciptakan lingkungan yang sehat. Nurin melihat daftar belanjaan yang sudah dia buat--berjaga-jaga agar tak ada satu barang pun yang kelupaan dia beli. Nurin terkenal sebagai gadis pelupa dan ceroboh luar biasa. Biasanya setiap kali Nurin pergi ke manapun, gadis itu pasti akan tersandung dan terjatuh tanpa bisa dicegah. Nah ... baru saja disebut, Nurin tiba-tiba tersandung kaki meja saat mereka baru saja tiba di toko pecah belah. Kalau saja Clara tak berada di depannya, Nurin kembali mencium lantai untuk kesekian kalinya. Clara mendesah kesal. "Kebiasaan, kan, ke manapun lo pergi pasti ujung-ujungnya tersandung dan jatuh. Lo kena kutukan atau gimana sih, Rin?" "Sembarangan kalau ngomong!" Nurin meninju pelan bahu Clara, menghentikan ucapan konyol yang keluar dari mulutnya. Jangankan Clara, Nurin saja bingung dengan dirinya sendiri. Tidak tahu kenapa, kakinya senang sekali menyapa hal baru yang tak pernah dia temui sebelumnya dan pada akhirnya ... terluka. Nurin mengalihkan pandangan dari Clara, kembali membaca tulisan pada buku kecilnya. "Sapu lidi, Mbak, dua. Satu buat gue, satu lagi buat lo." Clara mengangguk. "Gue disuruh bawa pengki sampah nih, lo disuruh bawa apa selain sapu lidi?" "Alat pembersih kaca sama kemoceng." Mbak penjaga toko mengambilkan barang-barang yang Nurin dan Clara perlukan. Setelah membayar, mereka pergi ke toko perlengkapan sekolah untuk membeli kertas kado motif batik--khas orang Indonesia, cinta Tanah Air, serta plastik bening untuk memperindah setiap meja yang ada di kelas mereka. "Gue ambil spidol, penghapus, penggaris, sama perlengkapan lainnya juga ya, Cla? Biar makin lengkap alat-alat tulis di kelas." tanya Nurin. Sebenarnya beberapa perlengkapan tulis itu tidak ada dalam daftar belanjaannya, Nurin berinisiatif sendiri. Clara yang sedang melihat-lihat berbagai macam bentuk karakter pada pulpen mengalihkan fokusnya kepada Nurin. Kemudian mengangguk setuju. "Jangan lupa sekalian bendera merah putih buat ditaruh di atas meja guru. Kalau bunga hias teman yang lain sudah ada yang beli, kan?" Nurin mengangguk, setelah beberapa saat berpikir. Nurin membawa keranjang belanjaan untuk keperluan kelas, sedangkan Clara membawa keranjang belanjaan khusus keperluan pribadi mereka. "Habis ini ke toko bunga?" tanya Clara pada Nurin. Mereka menaruh barang belanjaan ke dalam bagasi mobil. "Iya. Beli pohon buat penanaman besok. Kira-kira yang masih buka jam segini di mana?" Clara menaikkan sebelah bahunya. "Lo tanya Bunda gih, siapa tahu ada kenalan atau teman yang punya toko bunga atau tanaman pohon lainnya gitu." Nurin mengangguk, segera dia mengeluarkan ponsel dari dalam tas kecil miliknya. Tidak perlu menunggu lama, bu Abraham menjawab panggilan dari Nurin. "Bunda, Cla sama Irin bingung nih mau nyari toko bunga yang masih buka jam segini. Bunda ada kenalan gak yang punya toko bunga gitu?" "Iya, Bunda, bunga hiduplah, masa iya bunga mati. Bukan bunga mawar yang kita cari, Bun, tapi tanaman yang buat ditanam di sekolah itu lho." Clara diam seraya mendengarkan obrolan Nurin dan bu Abraham. "Di jalan Kamboja nomor 33, Bunda? Aisy Florist? Oke Bunda ... makasi, ya. Habis dari toko bunga, Irin mau cari makan dulu sama Cla, baru pulang. Dah ... Bunda." ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN