The Farewell | 10

1566 Kata
Nurin menegak minumannya hingga tandas, lalu membuang botolnya ke tempat sampah. Setelah berhasil merapikan buku-buku diperpustakaan tadi, Nurin dan Alby tidak langsung diperbolehkan kembali ke kelas. Ibu Fatma--seorang guru perpustakaan berusia sekitar 35 tahun, menyuruh mereka membantunya sekali lagi untuk mengecek buku-buku baru periode tahun ini dan tahun depan, untuk kelas sepuluh, sebelas, sampai kelas dua belas--jurusan IPA maupun IPS. Apakah sudah sesuai dengan data yang ada atau belum. Hal ini juga sangat menguras pikiran dan ketelitian. Waktu untuk cerdas cermat sudah berakhir sekitar sepuluh menit yang lalu. Mendengar dari pengumuman yang di sampaikan oleh ketua osis tadi, teman-teman kelas Nurin yang diwakili oleh Revan dan Dewi mendapatkan juara kedua. Nurin bersorak gembira atas kemenangan itu, dia bangga memiliki teman-teman yang hebat. Meski belum terlalu mengenal jauh satu persatu semua anak kelasnya, tetapi Nurin yakin jika tidak ada salah seorang dari mereka yang mempunyai sifat julid, kelas X IPA 1 akan menjadi kelas paling kompak, dan unggul dalam segala bidang. Harus! "Apakah sudah rampung, sesuai dengan data yang ada di komputer--semua buku yang datang ini?" tanya Bu Fatma. Beliau baru saja selesai membereskan buku-buku periode tahun sebelumnya, menyusunnya ke rak sebelah kumpulan buku lama. Bu Fatma juga telah menyelesaikan pembuatan kartu perpustakaan yang baru. SMA Antares selalu mengganti kartu pinjam buku perpustakaan setiap tahunnya. Kelas sepuluh berwarna pink, kelas sebelas berwarna kuning, dan untuk kelas dua belas berwarna biru. Kartu tersebut diletakkan dalam sebuah lemari yang mempunyai 24 laci kecil, di mana setiap laci mempunyai tulisan kelas masing-masing agar tidak tertukar dan mudah dicari. Kelas sepuluh terdapat 8 laci untuk IPA 1-5 ditambah IPS 1-3, begitu pun dengan kelas sebelas dan dua belas. Jika ingin meminjam buku setiap anak hanya perlu menyebutkan nama dan kelas mereka, tenaga kerja pengurus perpustakaan dengan mudah mencari dan menemukan kartu setiap siswa maupun siswi. Alby dan Nurin mengangguk kompak. "Sudah, Bu," jawab Nurin dengan sopan. Bu Fatma mengulas senyum. "Terima kasih Nak Alby, Nurin, sudah membantu meringankan pekerjaan Ibu. Sepertinya sudah cukup, Nak, kalian boleh kembali ke kelas masing-masing." Senyum Nurin mengembang sempurna. Inilah yang dia tunggu-tunggu sedari tadi, terbebas dari semua buku-buku yang membuat kepalanya pusing. Setelah menyalami dan berpamitan, Nurin dan Alby meninggalkan perpustakaan menuju kelas X IPA 1. "Haaaaa ...!" Nurin menarik napas panjang sembari menghirup udara banyak-banyak, lalu menghembuskannya seraya melepas sedikit demi sedikit penat yang dia rasa. Terdengar begitu melegakan. "Dua jam setengah berada di perpustakaan, benar-benar melelahkan!" katanya dengan menggelengkan kepala. Dia menyandarkan kepala pada tempat duduknya. Alby mengangguk. Cowok itu menarik salah satu kursi, duduk berhadapan dengan Nurin. Dia juga sedang menyandarkan punggungnya, nampak lelah. Tidak lama, Galang datang menghampiri mereka, duduk bersebelahan dengan Alby. "Oh ya, Clara ke mana, Kak?" tanya Nurin pada Galang ketika sadar Clara tidak berada di dalam kelas, padahal sebentar lagi giliran kelas mereka yang dipanggil untuk menerima seragam baru. Tidak mungkin bukan jika dia belum selesai membersihkan musholla? "Lo belum dengar kabar dari keluarga Clara?" Bukannya menjawab, Galang malah balik bertanya. Dia pikir tanpa memberitahunya sekalipun, Nurin sudah mengetahui kabar duka ini. Sebab keduanya sangat dekat, seperti kakak beradik. Nurin langsung menegakkan posisi duduknya. Dia menatap serius dan lurus ke arah Galang--mengernyit, bingung. "Maksudnya, Kak? Kabar apa? Aku belum mendengar kabar apa pun." Nurin segera mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya, mengecek setiap pesan yang masuk. Tidak ada satu pun pesan yang Clara kirimkan untuknya. "Clara tidak mengirimkan pesan apa pun sama aku. Ke mana dia?" Melihat dari cara Galang membalas tatapannya, d**a Nurin berdebar sedikit lebih kencang dari sebelumnya, tidak enak rasa. Takut jika kabar yang di maksud Galang adalah kabar buruk. "Sekitar dua puluh menit yang lalu Clara mendapatkan kabar duka dari sang Ibu. Katanya Oma Clara meninggal dunia." Galang berucap tak kalah serius, namun nada bicaranya masih terdengar santai. "Clara pamit sama gue, teman-teman yang lain, dan guru kesiswaan untuk pulang lebih dulu." Nurin melebarkan mata dengan mulut sedikit terbuka karena kaget. Kedua tangannya bergetar, begitu pun dengan matanya yang mulai berembun. "Serius lo?" tanya Alby akhirnya angkat bicara. Dia tak kalah terkejut. Galang mengangguk. Alby tahu siapa sahabatnya itu, Galang tidak mungkin berbohong atau bercanda mengenai hal serius seperti ini. Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun. Jemari yang masih bergetar dan berkeringat dingin itu mencoba bergerak di atas keyboard ponselnya, mengetikkan sesuatu. Nurin: Cla, lo di mana sekarang? Benar kabar duka yang gue denger ini? Oma lo meninggal? Tidak lama dari itu, sebuah pesan balasan dari Clara masuk. Pesan Nurin masuk bertepatan saat Clara baru saja selesai menghubungi sang ayah. Clara: Iya. Sorry, Rin, gue lupa kabarin lo ... gue syok banget. Sekarang gue lagi sama nyokap dan keluarga yang lain di rumah Oma. Lo gak usah khawatir, ya, gue baik-baik aja, nyokap juga udah sedikit lebih tenang. Oma sebentar lagi di sholatkan dan dimakamkan di tempat pemakaman umum daerah sini. Bersisian sama makam almarhum Opa. Cairan bening mengalir membasahi pipi, dengan cepat Nurin menghapusnya. Lalu menengkulupkan wajahnya pada lipatan kedua tangan di atas meja. Terisak pelan. Salut, Clara masih mengatakan jika dirinya baik-baik saja, padahal Nurin tahu tidak begitu. "Rin ...?" panggil Alby, tangannya terangkat berniat ingin mengusap bahu Nurin--menenangkannya, tetapi urung ketika gadis itu mengangkat kepalanya. "Kak, apa aku boleh pulang duluan sehabis menerima seragam baru? Aku mau ke sana, berdiri di samping Clara." Nurin menatap Alby dan Galang secara bergantian. Kedua pipi dan hidungnya memerah menahan tangis. "Gue sudah meminta izin dan pengertiannya pada guru kesiswaan, gue atau Alby akan pergi bersama ke pemakaman. Ada tiga orang perwakilan kelas X IPA 1 yang akan ikut juga--elo, Devi, dan Fahrin. Kalian diberikan izin pulang lebih awal." Galang mengangguk, segaris senyum menghiasi bibirnya. Alby menghela napas. Dia menepuk pelan bahu Galang. "Thanks, Bro." Galang mengangguk. "Terima kasih banyak, Kak." Nurin menarik napas sekali lagi, perasaannya sedikit lebih baik sekarang. Nurin hanya bisa berdoa dalam hati, semoga Clara serta keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran, untuk Oma Tati semoga dilapangkan kubur, diampuni segala dosa, dan diterima segala amal ibadahnya. **** Karena sedikit terjadi kendala di sekolah tadi--kepala salah seorang siswi terkena lemparan bola basket, menyebabkan pendarahan di hidung hingga pingsan--pembagian seragam tertunda hingga lima belas menit lamanya. Membuat Nurin dan teman yang lain terlambat tiba di pemakaman. Mereka tiba saat orang-orang beranjak dari sana, pemakaman selesai. Hanya menyisakan Clara, ibunya, dan beberapa orang dari keluarga terdekat. Ada satu hal yang membuat Nurin kelihatan sangat kecewa, ayah Clara tidak terlihat berada di sana--bersama keluarga yang lain, sedang berduka atas kepergian Oma Tati. Clara dan ibunya memerlukan sekali sosok pria itu meski hanya sekadar merangkul pundak. Nurin membawa Clara ke dalam pelukannya, mengusap punggungnya sambil berkata, "Sabar, lo kuat. Lo kuat, Clara!" Air mata Clara runtuh dalam sekejap, dia tidak bisa menahan tangis yang sudah sedari tadi dia sembunyikan dari orang-orang. Terisak begitu pilu dalam pelukan Nurin. "Ini berat banget buat gue, Rin, Oma ninggalin kita semua. Mama ... Mama memerlukan sosok Oma dalam hidupnya, menjadi penyemangat. Oma satu-satunya alasan Mama masih tersenyum, tetap kuat sampai sekarang." "Lo lihatkan, Rin, Ayah bahkan sama sekali gak ada waktu buat datang, nganter Oma ke peristirahatan terakhir. Harusnya Ayah di sini, menenangkan Mama." Tangisnya semakin deras, tak terbendung. Nurin paham betul kekecewaan Clara. "K-kalau Oma udah gak ada, siapa yang akan menjadi alasan Mama tetap--" "Sutsss ...!" Nurin menggelengkan kepala, tidak sama sekali membenarkan ucapan tersebut. Clara dan ibunya pasti bisa bangkit, keduanya adalah wanita yang hebat. Nurin mengusap air mata Clara. "Lo kuat, nyokap lo juga kuat. Lo gak boleh bilang gitu, semua akan baik-baik aja." Clara menggeleng, tidak yakin dengan apa yang Nurin katakan untuknya. Clara takut setelah ini ibunya yang akan meninggalkannya. Kehilangan orang-orang tercinta benar-benar membuat tubuhnya mati rasa. Ibu Clara akhirnya mau beranjak meninggalkan pemakaman, dirangkul oleh paman Clara--adik dari ibunya. Tangan Alby terangkat, kemudian mengusap pelan bahu Clara. "Benar apa yang Nurin katakan, semua akan baik-baik saja." Dia mengulas senyum. "Jangan memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi, apalagi hal-hal buruk yang membuat lo stres. Gue percaya lo kuat, bangkitlah setelah ini ... rangkul nyokap lo untuk sama-sama bahagia." Sebenarnya Alby tidak mengetahui apa pun yang terjadi pada keluarga kecil Clara, tetapi dengan melihat dan mendengar keluhan singkat yang baru saja terjadi membuatnya sedikit mengerti. Dia sangat peka terhadap persoalan semacam ini. Clara terdiam beberapa saat, memahami ucapan Alby. Setetes air mata kembali jatuh, kecewa pada dirinya sendiri yang nampak lemah dan pasrah dengan keadaan. Bukankah selama ini dia kuat? Dia bahkan tetap bisa berdiri tegap dan tersenyum sampai hari ini. Apa yang sudah Clara lakukan? Kenapa dia tidak bisa mengontrol emosinya? "Ayo kita pulang, Cla." Nurin mengajak Clara pulang, dia tahu gadis itu lelah sekali. "Devi, apa lo bisa bonceng Clara? Kita ke rumah Omanya dulu sebentar," pinta Alby. Devi meringis. "Gimana kalau sama Fahrin aja, Kak? Suer, aku lagi kebelet pup," katanya menahan malu. Sudah berada di ujung tanduk, dia tak bisa menahannya lagi jika harus mampir ke rumah Omanya Clara terlebih dahulu. Daripada nanti tiba-tiba pup di celana, lebih baik dia jujur sekarang. Tawa Fahrin pecah. "Hahaha! Serius lo, Dev? Kok sempat-sempatnya sih lo kebelet?" ledeknya masih tertawa. Alby hanya menggelengkan kepala sambil memutar bola mata malas. "Ngeselin lo!" decak Devi. Wajahnya memberengut kesal. "Ya sudah kalo gitu, Dev, lo balik duluan aja. Biar Clara sama Fahrin." Devi mengangguk. Dia segera melajukan motornya meninggalkan pemakaman, mengabaikan Fahrin yang terdengar sedang meminta maaf. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN