The Farewell | 8

2065 Kata
Sebelum mandi dan bersiap, Nurin lebih dulu mengunjungi dapur untuk menyiapkan bekal yang akan dia bawa di hari terakhir masa pengenalan lingkungan sekolah. Seperti rencananya kemarin sore, pagi ini Nurin akan membuat tumis tempe ditemani dengan buncis, kemudian untuk lauknya ada bakwan jagung, dan ayam goreng. Semua makanan itu merupakan makanan kesukaannya. Nurin tidak sendiri, ada Mbok Ina yang ikut membantu menggorengkan bakwan jagung dan ayam. Kalau soal urusan tumis menumis, mungkin Nurin masuk ke dalam urutan nomor teratas karena kehebatannya. Menurut gadis lima belas tahun yang selalu senang menciptakan berbagai macam makanan itu menumis adalah masakan yang paling mudah. Hanya perlu mengiris beberapa macam bawang, cabai, tomat--mungkin bisa menambahkan serai, dan daun jeruk jika diperlukan untuk menambah rasa dan aroma harum pada masakan. Berbagai macam bumbu dapur sudah berada di luar kepala Nurin, hafal dengan sangat. "Gak usah terlalu banyak, Mbok, goreng bakwan jagungnya, secukupnya aja sisanya biar disimpan dulu dalam kulkas. Soalnya kalau untuk bekal Irin mungkin cuman bawa dua atau tiga bakwannya, di tambah ayam goreng juga--hem ... kalau soal ayam Irin nanti ambil dua potong," katanya sambil tertawa kecil. Meski tubuhnya kecil, Nurin mempunyai porsi makan yang lumayan besar. "Kalau cuman satu potong biasanya gak cukup, Mbok, nanti Irin bagi sama Clara juga." Mbok Ina mengangguk mengerti, wanita paruh baya tersebut menyunggingkan senyum ramahnya. "Inggih, Neng Irin." "Kalau Mbok Ina sama Pak Supri mau makan siang nanti goreng aja bakwan jagungnya lagi, gak usah nunggu Irin pulang sekolah." Mbok Ina kembali mengangguk, sambil menyajikan beberapa macam makanan untuk mereka sarapan. Sedangkan Nurin sibuk menyiapkan bekalnya. Mengambil nasi secukupnya, memasukkan ke dalam wadah bekal berbentuk segi empat berwarna ungu muda. Menata dengan rapih bersama tiga bakwan jagung dan dua potong ayam. "Kalau bakwan jagungnya hanya cukup untuk makan siang, gak pa-pa buat Mbok sama Pak Supri aja. Nanti yang buat Irin biar dibikin lagi. Gampanglah pokoknya kalau soal Irin mah, Mbok, jangan terlalu dipikirin." Nurin tahu betul bagaimana Mbok Ina yang sudah bekerja sejak dia kecil hingga sekarang, wanita itu begitu baik kepadanya. Selalu menomor satukan dirinya, apalagi kalau soal makanan. Tidak heran jika Nurin dan Mbok Ina begitu dekat dan saling menyayangi seperti layaknya keluarga sendiri. "Siap, Neng. Biasanya Pak Supri doyan banget nih sama bakwan jagung, apalagi kalau Neng Irin yang mengolah bumbunya. Pasti nambah porsi makan Pak Supri." Mbok Ina berkata dengan serius, seperti sudah terbayang di kepala bagaimana lahapnya Pak Supri jika makan bakwan jagung buatan Nurin nanti. Nurin tertawa kecil, dia selalu merasa senang jika makanan olahannya enak di lidah orang lain, apalagi sampai membuat orang tersebut menambah porsi makannya. Hal ini menambah semangat Nurin untuk terus mengembangkan bakatnya dalam bidang memasak. "Alhamdulillah, Mbok. Nanti Irin belajar memasak lagi dengan beberapa menu baru, biar makin jago kayak Bunda dan Mbok Ina." Kesukaannya dalam bidang memasak tak lain dan tak bukan tentu saja karena melihat dan memperhatikan dengan baik apa saja yang sering Ibu Abraham dan Mbok Ina masak dalam setiap harinya, sedari kecil. Saat Nurin yakin dirinya bisa dan kemauannya ingin mencoba semakin besar--waktu itu dia masih duduk di bangku sekolah dasar kelas satu, pelan-pelan memulainya dengan belajar memotong bahan masakan yang mudah terlebih dahulu seperti tahu, tempe, terong, kacang, dan lain sebagainya. Masih teringat dengan baik, dulu setiap kali Nurin berhasil memotong bahan masakannya dia pasti akan mendapatkan ciuman sayang dari sang ibu dan juga hadiah kecil yang mampu membuatnya senang, senyuman lebar tak pernah luput menghiasi bibir Nurin kala itu. Ibu Abraham selalu memberikan hadiah kecil berupa makanan kesukaan Nurin, sebagai ucapan terima kasih kepada putri kecilnya itu karena sudah mau belajar mengerjakan sesuatu dengan baik dan benar. "Kalau masak-masak gini jadi keinget Bunda ya, Mbok? Sedang apa yang Bunda di sana?" Nurin menghentikan gerakan tangannya beberapa saat. Biasanya di pagi hati seperti ini dia akan mendapati ibunya sedang sibuk memasak di balik pantry kemudian mencium pipinya seraya berkata 'selamat pagi' diiringi senyum indah yang terukir jelas menghiasi wajah cantik wanita berusia empat puluh tahun tersebut. "Baru ditinggal sehari ke luar kota, sudah kangen aja rasanya. Irin memang benar-benar gak bisa jauh dari Bunda kayaknya." Sebenarnya sudah beberapa kali Nurin ditinggalkan ibunya ke luar kota karena ikut sang ayah, tetapi entah kenapa selalu gagal menahan rindu padahal dalam sehari berkali-kali melakukan video call. Nurin seperti tak pernah mau betah berlama-lama berada dalam jarak jauh, menurut gadis itu lebih enak ngumpul di rumah duduk bersama meski hanya untuk mengobrol ringan sambil menikmati secangkir teh di ruang keluarga. Terasa lengkap kebahagiaannya. "Biasanya pagi-pagi begini ibu Neng Irin membuat teh hangat untuk Tuan Abraham." Mbok Ina menyahut, dia begitu hafal kegiatan rutin keluarga Abraham di waktu pagi, siang, dan malam. Nurin mengangguk. "Oh, iya, ya ... ayah 'kan gak pernah absen dalam meminum tehnya setiap pagi. Sudah seperti kewajiban." Mbok Ina tertawa kecil. Wanita tersebut melihat ke arah jarum jam yang tertempel pada dinding, sudah menunjuk ke angka enam kurang lima belas menit. "Sudah jam enam kurang lima belas menit, Neng. Sini biar Mbok aja yang lanjutin nyiapin bekalnya, Neng Irin siap-siap biar gak telat masuknya." "Ini udah selesai kok, Mbok." Nurin mengulas senyum. Wadah bekal dan air minumnya sudah Irin masukkan ke dalam paper bag. "Ya sudah kalau gitu, Irin mandi dan siap-siap dulu ke atas." Kemudian beranjak dari ruang makan menuju kamarnya. Karena hari ini merupakan hari terakhir masa PLS, anak SMA Antares memiliki kelonggaran waktu masuk lima belas menit dari hari pertama dan hari kedua jam 7.30 WITA, ketika biasanya jam 7.15 WITA sudah harus berada di sekolah. Sehingga Nurin tak perlu tergesa-gesa untuk menyiapkan segala keperluannya. **** Sekitar jam tujuh tadi motor vespa putih kesayangan Clara memasuki halaman rumah Nurin, mereka berangkat bersama ke sekolah. "Cla, lo gak bawa bekal?" tanya Nurin dengan sedikit mengeraskan volume suaranya, dia juga nampak sedang memiringkan posisi ke sebelah kiri seraya mencondongkan tubuhnya agak ke depan agar Clara mendengar pertanyaannya. "Enggak," jawab singkat Clara. "Gue bangun kesiangan, gak sempat masak. Nyokap gak pulang dari kemarin, mungkin nginap di rumah Oma--kata nyokap Oma lagi gak enak badan gitu." Nurin menghela napasnya. Dia paham sekali dengan keadaan keluarga sahabatnya itu. "Tenang, gue bawa dua bekal ... sekalian buat lo juga." Senyum Clara merekah, Nurin dapat melihatnya dari kaca spion. Sungguh, wajah Clara bertambah berkali-kali lipat manisnya jika sedang tersenyum. "Beneran?" tanyanya, Nurin mengangguk. "Wah, makasih, ya, Rin. Lo emang teman terbaik gue!" Saat sedang asik sarapan tadi, Nurin tiba-tiba kepikiran Clara. Karena sudah begitu mengenal sosok sahabatnya tersebut, Nurin sangat yakin jika Clara tidak akan sempat membuat bekal. Gadis hebat itu lebih sering sendirian di rumahnya, tidak ada asisten rumah tangga--Bibi Martha mengundurkan diri karena harus merawat suaminya yang sedang sakit di kampung halaman, mungkin sudah sekitar dua minggu yang lalu. Sedangkan sang ibu hampir setiap hari meninggalkannya entah ke mana--seperti tak betah jika berada di rumah. Clara selalu bilang jika ibunya sedang menginap di rumah Oma. Entahlah benar atau tidak, tetapi hal ini sering kali terjadi. Melihat keadaan keluarga Clara, membuat Nurin selalu ingin menangis. Seperti ada sesuatu yang tiba-tiba menghantam dadanya, hingga terasa sesak sekali. Nurin tak tahu jika dirinyalah yang berada dalam posisi itu, mungkin tidak setegar Clara. Nurin akui jika sahabatnya tersebut adalah gadis yang sangat luar biasa hebat, mampu melewati semua kesulitannya dengan sabar serta senyuman yang tak pernah surut dari bibirnya. Saking pintarnya menyembunyikan segala kesedihan itu, semua orang bahkan satu sama lain tak pernah Clara beri kesempatan untuk melihat setetes saja air matanya--Nurin pengecualian. "Clara lo hebat, Clara lo kuat, Clara lo pasti bahagia!" Itulah kalimat yang selalu Nurin ucapkan untuk menyemangati Clara jika dia sedang rapuh, menopang tubuhnya agar terus berdiri tegak. Nurin yakin Clara bisa melewati semua kepahitan, sebab bahagia sedang menanti di depan sana. Mereka lebih dari sahabat, Nurin berjanji akan selalu menjadi orang pertama yang datang untuk merangkul Clara menuju masa yang lebih baik. Sekuat apapun seseorang pasti akan lumpuh karena terlalu lelah saat perjuangannya nampak sia-sia, tidak sama sekali membuahkan hasil, begitu pula dengan Clara. Meski selalu terlihat baik-baik saja, ada kalanya gadis itu berlari ke arah Nurin dengan segala keluhan yang dia pendam selama ini. Menangis, hanya itu yang mampu Clara lakukan. Meski demikian, Nurin tetap salut padanya ... Clara selalu bisa bangkit dalam waktu yang terbilang singkat. Sangat hebat bukan? "Clara, stop!" ujar Nurin dengan nada tidak sabaran sambil memukul-mukul bahu Clara agar segera menghentikan laju motornya. Ketika tersadar dari lamunan singkatnya, pandangan Nurin tak sengaja bertabrakan dengan sesuatu yang tergeletak di atas aspal jalan. Dia kelihatan syok dan terburu-buru untuk menghampirinya. Baru saja Clara ingin menanyakan, "Ada apa?" Tetapi Nurin sudah lebih dulu turun dari motor, meninggalkannya. Clara segera menurunkan standar motornya, kemudian berlari kecil mengejar Nurin tanpa melepaskan helm. Saat mendekati Nurin, Clara memekik kaget dan langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan yang terbuka. Gadis itu memutar balik tubuhnya menjadi membelakangi Nurin, sama sekali tidak ingin melihat apa yang sedang terjadi di sana. Bukan hanya takut, tetapi lebih kepada tidak tega. Nurin berdecak kesal melihat Clara yang bukannya ikut menolong, malah menunjukkan sikap sebaliknya. Gadis itu bahkan berkali-kali bergidik takut. "Pegangin tas gue!" Dia memberikan tasnya kepada Clara, lalu melepaskan jaket rajut abu-abunya untuk membalut tubuh hewan berbulu lebat yang sudah dipenuhi darah tersebut. Hewan kecil itu sudah tidak bergerak sama sekali, mati sebelum Nurin berhasil menyelamatkannya. "Kalian ngapain di sini?" tanya seseorang pada Clara yang begitu dikenali, dia ikut menepikan motornya. "Nih!" Clara menunjuk ke arah Nurin yang nampaknya baru saja menyelesaikan apa yang dia lakukan. "Jiwa penolongnya begitu besar, apalagi soal binatang yang satu itu." Alby menaikkan sebelah alisnya. Binatang apa? Dia memerhatikan Nurin, kedua tangan gadis itu terdapat darah. "Hai, Kak!" sapa Nurin dengan mengulas senyum. Kemudian pandangannya beralih pada sosok sang sahabat. "Kita harus nguburin dia dulu, Cla." Nurin menggendong kucing oren yang sudah dia bungkus rapih dengan jaketnya tadi. Membawanya ke seberang jalan, karena di sana Nurin melihat ada beberapa orang yang sedang melakukan kebersihan jalan dan penanaman pohon. "Rin, ini sudah jam tujuh lewat sepuluh. Kita bisa telat masuk." Clara mengingatkan sambil menunjuk ke arah jam yang melingkat pada pergelangan tangannya. "Terus kita biarin dia tergeletak begitu saja di jalanan? Kesian, Cla. Gue gak akan tega ngelakuin itu!" Nurin mengabaikan raut wajah cemberut Clara. "Bu, apakah boleh saya menguburkan kucing ini di sini? Tadi saya menemukan dia di seberang jalan sana, sudah mati mungkin gak sengaja ditabrak mobil saat dia mau menyeberang jalan." Nurin bertanya pada salah seorang ibu yang memakai seragam kebersihan berwarna merah dengan sapu lidi yang berada di tangan sebelah kanannya. Ibu itu mengangguk dan membalas senyum Nurin dengan ramah. "Oh, iya, silahkan, Nak. Boleh saja, kuburkan kucing itu di bagian sini karena kalau di bagian sana akan di tanami pepohonan." Nurin mengangguk. "Baik, Bu, terima kasih banyak." "Kak Alby tolong pinjamkan cangkul pada bapak itu, kita kuburkan dia di sini," pinta Nurin pada Alby. Cowok itu mengangguk dan langsung meminjamkan cangkulnya. Clara berdehem sambil mengulum senyum. "Udah gak salah tingkah dan gugup lagi ketemu Kak Alby?" godanya dengan tatapan genit. Nurin mendesis sebal. "Bukan waktu yang tepat untuk bercanda, Cla. Lo ya emang benar-benar minta dijitak kepalanya. Bukannya nolongin gue dari tadi!" Clara hanya tertawa mendengar omelan itu, tidak sama sekali memasukkannya ke dalam hati. Alby kembali dengan membawa cangkul, membantu menyangkulkan tanah dan menguburkan dengan baik dan benar kucing oren tersebut. Nurin meletakkan kucing itu dalam posisi menghadap kiblat, seperti layaknya manusia yang biasanya dimakamkan. Nurin juga mengatakan agar Clara dan Alby ikut membacakan Al-Fatihah. Bukan hanya manusia yang menurut Nurin harus diperlakukan dengan baik, binatang juga berhak untuk itu. Usai menguburkan, ketiganya kembali menyeberang jalan menuju motor mereka. "Cla, tolong ambilin air minum di dalam paper bag gue, buat cuci tangan," pintanya pada Clara yang tangannya masih bersih tanpa ada kotoran sedikitpun. Berbeda dengan dirinya yang sudah dipenuhi tanah dan bercak darah di beberapa bagian pada punggung dan jari tangannya. Clara membantu membersihkan tangan Nurin dengan menuangkan air dari botol minum itu sedikit-sedikit ke permukaan kedua tangannya. "Nih pakai aja sisa punya gue kalau airnya gak cukup." Alby memberikan botol minumannya yang airnya hanya terpakai seperempat bagian untuk membersihkan sedikit tanah di tangannya, kepada Clara. Nurin mendongakkan kepala, dia menatap Alby beberapa saat kemudian tersenyum tipis dengan binar mata yang selalu kelihatan indah, menambah kadar kecantikannya. "Terima kasih banyak, ya, Kak ... untuk bantuannya tadi dan ini--air mineralnya." Alby terpanah sesaat oleh binar indah itu, membuat debaran aneh muncul lagi pada dadanya. Entahlah, seperti ada yang bermain marching band di dalam sana, mungkin. "Iya, sama-sama." **** Semoga cerita ini menghibur ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN