Dinner Di Penthouse

1128 Kata
"Ini bukan permintaan tapi keharusan! Please ...!" Suara yang keluar dari speaker handphoneku ini diucapkan dengan nada tinggi. "Ini bukan maksa tapi harus!" Suara itu masih terus tak berhenti. "Anneth!" Wah! Terpaksa aku harus menjauhkan handphone ini dari telinga. Efek nada tinggi itu langsung membuat kuping ini sedikit berdenging. "Masih hidup gak, sih?" Suara itu kembali terdengar. "Aku bukan lagi anak sekolah yang butuh kerja part time, Sinna. Kayaknya, aku juga sibuk banget deh," jawabku setelah cerocosan dari saluran telepon itu berhenti. "Aku tahu, tapi ini emergency! D-A-R-U-R-A-T! Skala nasional deh ..., nasional di rumah tanggaku. Bentar ya! Tunggu! Tunggu!" Beberapa detik kemudian notifikasi pesan popped up di layar. Dan setelah kubuka, ternyata, sahabatku ini mengirimkan sebuah video berdurasi lima detik. Dalam video itu, terlihat seorang bayi sedang tidur ditempel kompres instant di dahinya. Kulit bayi itu tampak agak memerah, serta pemandangan di sekitar bayi itu berupa sebuah ranjang yang berserakan dengan barang-barang. "Anakmu sakit, Neth ...," keluhnya dengan nada memelas. "Perasaan gak ikutan bikin, kenapa tiba-tiba jadi anakku ya?" jawabku dengan nada datar. Aku berusaha tak terpengaruh dengan apa yang baru saja terlihat dalam video itu. "Heh! ‘Kan anakku, anakmu juga, Anneeth!" Penelepon galak itu kembali berteriak. Telepon dua hari yang lalu itu masih terngiang-ngiang di kuping. Pembicaraan panjang saling ngeyel itu akhirnya dimenangkan oleh ... Sinna, tentu saja. Sebenarnya, hati ini langsung menyerah ketika melihat foto anak bayi montok itu tidak ceria. Bayi yang biasanya tertawa-tawa ketika video call antara aku dan Sinna sedang berlangsung itu, kini hanya terbaring. Dan ternyata, tak lama setelah telepon itu berakhir, bayi montok itu langsung dibawa ke rumah sakit oleh kedua orang tuanya karena kekhawatiran mereka memuncak. "Tenang! Semua sudah kuatur. Kamu hanya tinggal mengerjakan yang kuinstruksikan saja. Beberapa timku akan berada di sana bersamamu. Aku jamin, Kamu hanya perlu melakukan sedikit pekerjaan yang nggak berat." Begitulah salah satu bujukan agar aku mau memenuhi permintaannya. Sebenarnya, kalau boleh memilih, tentu aku lebih suka jika menggantikan sahabatku itu menjaga anak tercintanya di rumah sakit, daripada melakukan ini. "Hei! Anneth! Emang Kamu punya ASI?" Dan dengan alasan itu, tentu akhirnya aku harus memilih untuk menggantikan pekerjaannya sebagai pengelola sebuah Event Organizer. "Tolong, deh, Neth! Di zaman ekonomi suram ini, jika masih ada pesanan untuk mengadakan dinner dengan bayaran selangit, hanya dinner, hanya acara makan malam saja dan bayarannya bessarr, itu luar biasa." Ah! Itulah yang paling menyebalkan. Dari latar belakang acara yang disampaikan saja sudah terbayang orang-orang seperti apa yang akan kutemui. Hanya dengan membayangkan saja rasa lelah muncul. "Hei, ingat! Lakukan dengan setulus hati! Jangan sampai bisnis yang sudah kubangun ini hancur gara-gara attitude-mu yang suka sembarangan itu!" Begitu bunyi pesan terakhir sebelum Sinna menutup telepon. Dan bagai melaksanakan perintah ibu suri, aku hanya bisa ber-iya-iya saja. “Penthouse,” ucapku pada petugas lift berseragam rapi ini. Dengan cekatan, tangan laki-laki ini menekan tombol yang berada di bagian samping pintu lift. Kotak besi ini langsung bergerak ke atas. Petugas itu sesekali melirik ke arahku yang berdiri di antara tas-tas besar. "Jangan mengenakan jas laboratoriummu! Kamu bukan mau menyelidiki satu bahan kimia." Pesan Sinna kembali terngiang di telinga. Alhasil, aku sekarang mengenakan rok span warna hijau lembut dan kemeja warna putih tulang yang dimasukkan ke dalam rok. Pesannya untuk mengikat rambut biar terkesan rapi, juga sudah kulakukan. Sepatu pantofel ber-heel pendek juga sudah berada di kaki. Tetapi, kenapa petugas lift ini masih melirik-lirik penampilanku, ya? Apa jadinya jika celana dan baju ala dokter yang sedang mengoperasi seorang pasien lengkap dengan jas laboratorium itu yang kupakai tadi? Ah... gimana kalau lirikan mata petugas lift ini akan membuat bagian hitam matanya tidak kembali ke tempat semula? Aku tersenyum membayangkan jika hal itu terjadi. Sebenarnya, menurutku, nyaman sekali menggunakan baju-baju itu, baju yang biasa aku kenakan di laboratorium, tetapi jika kupakai untuk menggantikan tugas Sinna, tentu para customer akan heran. Lift berhenti diiringi suara bel yang berdenting nyaring. Lalu, petugas itu mempersilahkan aku keluar. Seorang laki-laki muda sudah menunggu di depan pintu lift. Kemudian, ia bergegas membawakan tas-tas yang ada bersamaku. "Kak Anneth, nanti menghias meja makan dan mempersiapkan alat makan di lantai satu saja," ucap laki-laki muda ini sambil berjalan mendahuluiku. Aku mengangguk mengiyakan. Wah! Sudah tingkat paling puncak masih dibangun dengan tiga lantai lagi. Itu pikiranku begitu masuk ke dalam ruangan ini. Mata ini mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menaksir kira-kira berapa total biaya yang dihabiskan untuk memiliki satu lantai di hotel ini. Ini adalah salah satu ruangan yang ada di hotel legendaris, termewah dan termahal di kota Shirm. Hotel artistik ini telah dimodernisasi dengan sentuhan teknologi mutakhir hingga bangunan ini tampak seperti kerajaan modern abad ini. Berulang kali lidah ini tak henti berdecak kagum em ... kagum pada jumlah uang yang dimiliki oleh pemilik lantai ini. Aku terkikik di dalam hati. Suara bel pintu terdengar nyaring. Dan laki-laki muda yang tadi bersamaku bergegas ke arah pintu. Salah satu anggota tim Sinna itu mengangkat tangan dan memintaku melanjutkan kegiatan menghias dan merapikan meja makan. “Tidak, kami semua petugas dari EO yang disewa untuk acara dinner ini.” Suara laki-laki muda itu terdengar makin dekat setelah suara pintu dibuka. Selanjutnya suara ujung heel beradu dengan lantai terdengar nyaring, bahkan bergaung di ruangan yang luas ini. Suara langkah kaki itu terdengar mendekat ke arahku. “Aaah!” Aku menjerit ketika tiba-tiba satu tamparan keras mampir ke pipi. "A-," Teriakan tercekat laki-laki muda yang berdiri tak jauh dari tempatku terdengar. "Rupanya Kau yang mau merebut dia dariku!" teriak seorang perempuan cantik berkulit pucat yang kini berdiri dengan jarak sejangkauan tangan dariku. Aku terkejut dan bingung dengan apa yang baru saja terjadi, juga bingung dengan apa yang ia teriakkan. Terlebih lagi, tamparan itu menimbulkan rasa perih dan panas. "Sa-say," ucapku gagu. "Kau bisa menggunakan kecantikan dan tubuhmu untuk mendapatkan siapa saja, tetapi bukan dia!" teriaknya dengan beringas, matanya tampak memerah. "Ha-h!" seruku bingung. Aku memegangi pipi yang terasa makin panas, mungkin perempuan itu menggunakan seratus lima puluh persen kekuatannya untuk menggamparku. "Kau tak bisa mengelak lagi!" jeritnya sambil berusaha kembali menamparku. "Amora!" Sebuah suara dari arah lain terdengar. Dan seruan itu berhasil menghentikan gerakan telapak tangan yang sebentar lagi akan mendarat di pipiku yang lain. Aku dan wanita yang baru saja dipanggil itu menoleh secara bersamaan ke asal suara. "Wah!" seruku takjub. Bagaimana tidak, seorang laki-laki tinggi tegap dengan wajah kategori outstanding berjalan mendekat hanya mengenakan handuk panjang yang dililitkan di pinggang. Handuk itu menutupi bagian pinggang hingga sedikit di bawah lutut. "Hah!" jeritku tertahan. Mata ini membelalak ketika laki-laki yang baru mendekat ini, kini berjarak sekitar tiga meter dari tempatku berdiri. Bagaimana bisa?!!! Sesuatu yang terlihat seperti benang yang tebal tampak bergerak di bawah kulit yang bersih milik laki-laki itu. Benang itu bergerak perlahan dari lengan kanan ke bahu lalu turun ke d**a kanan. Sejenak tubuhku terasa gemetar menyaksikan benda aneh itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN