PART. 3 BIG B (TENTANG RASA)

1365 Kata
Ting tong! Ting tong! Bell di pintu depan berbunyi. "Biar aku yang buka," kata Mas Bimo, dia melangkah ke arah ruang tamu, untuk membuka pintu depan. Aku masuk ke dapur, untuk mencuci perabot bekas makan siang kami. Tiap menyebut kata 'kami' serasa ada yang menggelitik di hatiku. Membuat wajahku jadi merona. "Bell, Bella!" suara Mas Bimo memanggil, membuatku cepat menuju ruang tamu. "Ya, Mas," jawabku. "Buat minum untuk kami ya. Lo mau minum apa, Van?" tanya Mas Bimo pada temannya yang sudah duduk di sofa ruang tamu. Temannya aku rasa seumuran Mas Bimo. Eeh ... umur Mas Bimo berapa ya? Laah, kok aku jadi memikirkan yang begituan. "Bella, hey, malah melamun." Suara Mas Bimo membuatku terkejut. "Eeh, ya apa Mas, Mas berdua mau minum apa?" tanyaku tergeragap. "Es jeruk," jawab Mas Bimo. "Eeh ya, tunggu saya buatkan, Mas," kataku. Aku ingin berbalik, untuk segera menuju dapur. "Bella, tunggu dulu! Boleh kenalan nggak?" itu suara teman Mas Bimo. Aku berhenti, dan memutar badanku umtuk menatapnya. Teman Mas Bimo mengulurkan telapak tangan ke arahku. "Ervan Syailendra," ujarnya. Kusambut ragu uluran tangannya. "Bella Maharani," sahutku, cepat aku lepaskan tanganku dari genggamannya. "Namamu cantik, dan anggun, secantik, dan seanggun dirimu," pujinya, membuatku yakin, wajahku pasti sudah merah, karena aku merasa panas mulai menjalari pipiku. "Pipimu merah, persis apel merah, bikin gemas!" Mas Ervan mencubit pipiku, tanpa aku duga sama sekali, dan cubitannya tak bisa aku hindari. Aku melirik Mas Bimo, ia tengah terkekeh sembari menatap kami. "Maaf, saya permisi ke dapur dulu," pamitku, dan langsung aku berjalan cepat ke arah dapur, dengan wajah yang aku yakin masih merah padam. Aku kembali ke ruang tamu, dengan membawa dua gelas es jeruk, dan setoples kue kering yang tadi dibeli Mas Bimo di pasar. "Silakan, Mas," kataku pada keduanya. "Terima kasih, Bella," jawab Mas Ervan. Aku mengangguk dan tersenyum, lalu berbalik lagi menuju dapur. Mimpi apa aku ya semalam, ketemu dua cowo ganteng, gagah, dan baik hati pula. Ternyata masih banyak orang baik yang bisa menghargai orang tanpa memandang fisik, dan status sosial. Dulu aku kira itu adalah sesuatu yang sulit kutemukan, karena di sekolah aku kerap jadi bahan ejekan. Mengingat masa sekolah, selalu bisa membuat hatiku sedih. Sering diejek, dilecehkan. Seringkali para siswa dorong-dorongan, biar bagian tubuh mereka bisa mengenai bagian depan tubuhku. Itu menyakiti perasaanku, aku merasa dilecehkan, tapi aku hanya diam, pergi menjauh, meninggalkan mereka yang mentertawakan aku. Aku menerima keadaanku, tapi hati kecilku, tak bisa menerima pelecehan yang seperti itu, tapi aku bisa apa? Mas Bimo pergi ke luar dengan Mas Ervan, entah ke mana. Mas Bimo membawa ransel besar, yang aku tak tahu apa isinya. Dia baru kembali saat jam di dinding menunjukan pukul sepuluh malam. Mas Bimo melempar tasnya ke atas sofa ruang tengah. "Mas mau aku buatkan minum, atau mau makan?" tanyaku. "Air putih saja," sahutnya. Dia menyalakan televisi, sementara aku menuju dapur. Saat aku kembali ke ruang tengah, dengan segelas air putih di tanganku, kulihat Mas Bimo tengah bertolak pinggang, menatap ke arah layar besar televisi. "Minumnya, Mas," kuserahkan gelas berisi air putih ke hadapannya. "Terima kasih, Bella," ucapnya, sebelum duduk, dan diteguknya air putih itu, hingga tandas tak bersisa. Diletakan gelas ke atas meja. Matanya masih fokus ke layar kaca, aku mengikuti arah pandangannya. Televisi tengah menayangkan acara ulang tahun televisi, yang channelnya tengah ditonton Mas Bimo. Matanya tak berkedip, menatap seorang penyanyi dangdut yang aku tahu tengah naik daun, karena lagu-lagunya yang banyak disukai masyarakat. Namanya Rara Ardina. Apa dia wanita yang membuat Mas Bimo seperti sekarang? Apa dia tujuan dari dietnya Mas Bimo? Hhhh ... kenapa aku harus memikirkan sesuatu yang bukan urusanku. "Ada yang bisa saya bantu lagi, Mas?" tanyaku. "Tolong keluarkan baju, dan sepatu dari dalam tasku, Bella, langsung cuci besok ya," tunjuknya ke arah ransel yang tergeletak di atas sofa. "Baik, Mas," jawabku. Aku buka ranselnya. Kuambil baju, dan sepatu dari sana, sepertinya dia habis dari olahraga, entah olahraga apa sampai malam begini. Ada dua batang coklat merk ratu perak yang kutemukan di dalam ranselnya. Kuletakan dua batang coklat itu di atas meja. "Coklat ini buat kamu, dari Ervan, salam manis katanya," kata-kata Mas Bimo barusan membuat pipiku terasa panas. "Terima kasih." Hanya itu yang bisa aku ucapkan. "Aku kira, sekarang kamu punya tujuan untuk diet, Bella. Aku rasa, Ervan sudah jatuh cinta padamu, dan kamu harus membuat dia sebagai tujuan dietmu, agar kamu bisa lebih percaya diri, saat pergi berdua dengannya." Kutatap wajah Mas Bimo, ia juga menatapku, mata kami bertemu, jujur aku akui ada yang bergetar di dalam hatiku. "Kenapa Mas sangat ingin aku diet?" "Kamu harus tahu, Bella, kata-kata temanmu di parkiran pasar masih terngiang di telingaku. Aku merasa, melihat diriku di masa lalu pada dirimu. Aku ingin kamu bisa berdiri tegak, dengan kepala terangkat, di depan orang-orang yang sudah menghinamu." "Saya kira, Mas sudah terlalu dalam memasuki urusan pribadi saya, Mas. Saya sudah cukup bahagia, dengan keadaan saya sekarang," jawabku. "Bella ... jika kita bisa, dan punya kesempatan, untuk merubah diri kita menjadi lebih baik, kenapa tidak kita lakukan, atau mungkin kamu sebenarnya orang yang malas berjuang. Kamu tidak punya niat, untuk berusaha lebih baik lagi, bagi masa depanmu. Oooh ya, aku lupa, cita-citamu saja hanya ingin punya warung makan, kenapa tidak rumah makan, atau restoran sekalian, Bella. Apa kamu orang yang malas untuk belajar, dan berusaha?" "Saya hanya ingin realistis, bermimpi, dan berangan-angan sesuai kemampuan yang saya miliki," jawabku. Aku mendengar Mas Bimo menghela napas. "Impian itu harus digantungkan setinggi langit, Bella, agar kita termotivasi untuk giat berusaha dalam menggapainya, jangan pasrah dengan keadaan, kamu harus lebih keras berusaha." "Saya kira, pembicaraan kita sudah menyimpang dari hubungan kita, sebagai majikan, dan bawahan. Kalau tidak ada yang Mas Bimo perlukan lagi, saya akan kembali ke kamar saya," pamitku. Aku segera kembali ke dapur, untuk mencuci gelas bekas minumnya, aku tidak ingin, pembicaraan yang menyentuh hal pribadi ini dilanjutkan. Aku tidak ingin terlena dengan perhatiannya, dengan kata-katanya, dengan tatapan matanya, dengan gestur tubuhnya. Dia terlalu sempurna untuk kuijinkan masuk dalam hatiku. Hatiku tak akan muat untuk orang seperti dia. Berhati-hatilah, Bella, jangan sampai terjadi cinta lokasi, ingat kau, dan dia hanya akan bersama selama enam bulan, setelahnya dia akan pergi. Jadi jangan biarkan dia masuk terlalu jauh dalam kehidupanmu, tegaskan batasan antara kau, dan dia. Bentengi hatimu, agar tak mengharapkannya. Batinku, terus mengingatkanku. "Kamu tersinggung, kamu marah, Bella?" Mas Bimo sudah berdiri di ambang pintu dapur, menghalangi langkahku yang ingin ke luar dari dapur. Aku menggeleng. "Mas tidak perlu repot memikirkan jalan hidupku, kita baru dua kali bertemu, baru dari tadi pagi saling kenal, aku rasa, aku lebih suka kalau kita hanya berbicara masalah pekerjaan saja, tidak menyentuh hal yang bersifat pribadi," jawabku lirih. "Kenapa? Apa kamu merasa terganggu jika aku memperhatikanmu, Bella? Atau jangan-jangan kamu menolak aku perhatikan, karena kamu takut jatuh cinta padaku?" Mas Bimo sedikit membungkukan badannya, kurasakan lagi aliran panas menjalar dari perut naik ke pipiku. "Saya orang yang cukup tahu diri, di mana saya harus menempatkan diri saya, Mas. Saya cukup tahu, di mana saya harus meletakan cinta saya. Saya mungkin mudah suka, tapi saya harus berpikir seribu kali untuk jatuh cinta," jawabku sedikit ketus. "Kenapa? Kamu takut terluka karena cinta ya?" "Kalau kita bisa menghindari agar tidak terluka, buat apa kita nenyodorkan hati untuk dilukai?" "Kamu harus tahu, Bella, jatuh cinta itu seperti belajar naik sepeda, kita bisa saja jatuh, dan terluka berulang kali. Tapi, dari situ kita bisa tahu apa yang harus kita lakukan, agar kita tidak terjatuh, dan terluka lagi, sampai akhirnya kita bisa mengayuh sepeda kita dengan baik. Terkadang, meski kita sudah bisa mengayuh dengan baik, kita masih bisa jatuh, dan terluka lagi, saat ada kerikil yang menghalang laju ban sepeda kita. Jadi jangan takut jatuh cinta, Bella, jangan takut jatuh, dan terluka karena cinta, karena hal itu justru membuat kita bisa jadi lebih kuat, dalam menjalani hidup kita selanjutnya." Mas Bimo bicara panjang lebar masih dengan posisi berdiri diambang pintu dan dengan kedua tangannya memegang kusen pintu. "Buat Mas mudah bicara seperti itu, karena Mas memiliki segalanya, sedang aku? Aku hanya berusaha sadar diri Mas, sadar sampai dimana kemampuan yang aku miliki. Bermimpi terlalu tinggi akan terasa sakit saat kita terbangun dan menyadari mimpi hanyalah mimpi, dan tidak akan pernah jadi kenyataan" jawabku pelan. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN