9 Target

2217 Kata
"Itu?" Tahu-tahu Fadiya muncul di ambang pintu rumah sambil melipat kedua tangan di depan d**a. Ya tentu saja menatap adiknyanyang ia kira diantar sama cowok aneh yang sempat ia beritahu beberapa hari yang lalu. Fiandra menggaruk tengkuknya. Jadi malu-malu. Adhiyaksa sudah pergi dengan motornya. Tapi kepalanya tadi masih tertangkap oleh mata Fadiya. Gadis itu mengangguk-angguk. Apa kesimpulannya? "Hati-hati," ingatnya. Ia malah mengingatkan. Fiandra jelas mengerut kening. Apa nih? "Cowok-cowok sok misterius gitu yaa hati-hati aja. Diem-diem tahu-tahu ceweknya banyak." "Kayak Kak Gala maksudnya?" "Yaaa mirip-mirip lah." Fiandra tertawa. Ketahuan ada yang ingat mantan. Mantan selingkuhan ya? Hahahaha. Eeh kakaknya deh yang jadi selingkuhan. Ah oke jangan dibahas lagi karena Fadiya bisa marah. "Lupain aja lah cowok kayak gitu. Gak penting tahu, Kak." "Terus yang tadi itu gak penting?" "Ya beda lah...." Ia menyungut. Fadiya ingin sekali melemparinya dengan sesuatu tapi ia sudah kabur sambil tertawa dan tak lama terdengar suara pintu kamar tertutup. Ya sudah pasti masuk ke dalam kamar kan? Sejujurnya, Fadiya tadi sempat mengintip dari kamarnya. Ya dari jendela kamar kan langsung bisa melihat cowok tadi berhenti di depan pagar rumah. Bisa melihat wajahnya dari lantai atas karena memang kamarnya ada di lantai dua. Dari wajahnya heum......rada familiar. Walau ia tak begitu yakin juga. Hanya merasa memang familiar. Entah mirip siapa. Sementara itu, Adhiyaksa sudah menjauh dari rumah itu. Walau ia sempat berhenti. Ia pulang ke rumah kontrakan barunya. Meski tetap memiliki kontak dengan kontrakan lama karena ia tahu kalau keluarganya pasti akan mengirim surat ke sana. Ia sudah membalas pesan dari Gala, kakaknya. Ia sudah memutuskan untuk tak pulang. Ia juga tak mengirim uang karena Gala melarangnya. Kini? Ia baru mampir ke warung untuk makan. Warung ia pilih sengaja tak begitu jauh dari rumah Fiandra. Ya ada warung karena memang bukan perumahan komplek mewah. Bukan khusus prajurit juga. Benar-benar perumahan komplek pada umumnya. Ia hanya ingin tahu Ayahnya Fiandra itu muncul jam berapa. Kapan ia datang dan pulang. Namun hingga menjelang magrib pun belum terlihat. Ia pergi dari sana tapi sempat mampir ke masjid ketika di perjalanan pulang. Ketika usai solat dan hendak menggunakan sepatu, seseorang menepuk bahunya. Siapa? Seorang kakek tua yang anehnya tersenyum. Ia hanya mengangguk tipis. Tak mau memberikan uang atau semacamnya kalau ia mau mengemis. Karena ya seperti kata Gala, uangnya haram kan? Jadi hanya akan ia gunakan untuk dirinya sendiri. Makanya ia tak memedulikan lelaki tua itu. Padahal lelaki tua itu tidak dalam rangka untuk mengemis atau apapun. Lelaki tua itu melihatnya dan mungkin melihat sesuatu pada dirinya. "Jangan sampai jalan yang kamu pilih itu membawa kehancuran dalam hidupmu. Setiap orang pasti menjadi penyebab bagi yang lain. Tapi mengikhlaskan dan sabar adalah jalan yang tepat." Ia hanya diam. Baginya kedua hal itu bukan jalan. Sabar dan ikhlas? Ayahnya sudah melakukan itu. Mereka pergi dengan lapang. Tapi apa yang didapat coba? Tak ada. Sampai sekarang, mereka masih dikejar. Ia tak paham apa yang diinginkan oleh sekelompok orang itu. Makanya ia pergi mencari mereka untuk menghajar mereka. Ia meninggalkan masjid itu. Ia biarkan saja lelaki tua itu yang tersenyum melihatnya pergi dengan motornya. Baginya, lelaki tua itu adalah orang yang aneh. Tapi bagi lelaki tua itu, ia adalah orang yang seperti apa? Orang yang baik? Tidak juga. Ia justru orang yang mengagumkan. Karena lelaki tua itu merasa yakin kalau nuraninya belum mati. Kalau ia masih mengikuti nuraninya suatu saat nanti, kehidupan yang baik akan menyapanya. Mungkin sekarang terasa berat. Tapi jalan yang berat itu yang justru akan mengantarkannya pada kehidupan yang sangat baik. Yang mungkin sangat diinginkan banyak orang. Adhi mengendarai motornya dengan santai. Tak ada kacamata karena gelap. Suasana malam dengan pencahayaan yang di beberapa jalan itu tak ada. Ya ditahun ini, perkembangan lisitrik memang belum begitu merata. Setidaknya ia beruntung karena tinggal di ibukota. Jadi ya bisa merasakan listrik yang memadai. Meski terkadnag masih mati listrik di beberapa daerah. Ia berhenti agak jauh di pinggir jalan. Namun matanya justru menoleh ke jalanan seberang. Ada rumah besar yang dipagar di seberang jalan. Ya tepat di sebelah kanannya. Rumah siapa? Tentu saja salah satu dari orang yang ia incar. Ada yang TNI. Ya tentu saja Ayahnya Fiandra. Lelaki itu jenderal yang disegani. Terhitung jenderal paling muda pula jika dibandingkan yang lain. Kemudian rumah di depannya ini adalah rumah dari salah satu menteri. Menteri Pertahanan dan Keamanan. Dia adalah orang kedua yang menjadi targetnya. Motornya berhenti lama. Ya sembari membuka buku dan duduk di atas motor. Ia biasanya baru pergi kalau ada yang mulai curiga dengannya. Tapi identitas mahasiswa bisa ia gunakan untuk menutupi kecurigaan itu. Ia punya banyak kartu mahasiswa dari berbagai fakultas dengan berbagai identitas yang jelas memang bukan menggunakan nama aslinya. Satu-satunya yang menggunakan nama asli adalah fakultas di mana ia belajar sekarang. Dari rumah menteri itu, ia pergi ke rumah yang lain. Ya tak begitu jauh lah. Hanya dengan motor, butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk tiba di rumah target ketiga. Siapa lagi kali ini? Menteri Dalam Negeri. Ia juga tak tahu mereka ini punya hubungan apa. Untuk tujuan apa juga, Ayahnya sampai dilengserkan. Yang jelas, yang ia tahu ya mereka bersekongkol untuk menurunkan Ayahnya dari jabatan. Tapi ia belum pernah bertemu langsung dengan menteri yang satu ini. Ia juga tak tahu perannya. Ya memang ia belum tahu peran mereka ini apa. Itu juga masih menjadi pertanyaan besar baginya. Selanjutnya? Ia melaju lagi dan kini hampir jam 11 malam. Ia tiba di rumah keempat. Siapa? Menteri Pertambangan. Ini yang bisa ia perkirakan. Karena terakhir yang ia dapatkan informasi, lelaki ini yang mengeluarkan uang untuk eksekusi bisnis Ayahnya. Ya lelaki ini yang menggunakan uang untuk menggagalkan bisnis Ayahnya sekaligus yang sangat sering mengirim orang untuk mengancam Ayahnya jika berani macam-macam. Lelaki paling arogan yang pernah ia kenal. Padahal dulu ia adalah sahabat karib Ayahnya. Sahabat karib yang akhirnya menusuk dari belakang. Jadi begitu ya fungsi sahabat? Ia juga baru tahu. Rumah kelima adalah Kepala BIN yang menggantikan Ayahnya. Lelaki ini tentu mendapatkan keuntungan karena bisa mendapatkan posisi ini dengan membuang Ayahnya. Ia juga sedang mencari tahu apa peran orang ini. Tak kauh dari sana, ada rumah salah satu staf BIN yang juga terlibat. Yang ia baru-baru ini tahu ternyata adik ipar dari kepala BIN. Masih staf baru di BIN. Tapi anehnya bisa masuk begitu saja saat Ayahnya menjabat. Ia tak tahu apakah Ayahnya terlibat atau terpaksa membiarkan orang ini untuk masuk. Masih banyak tanda tanya di dalam kasus ini. Orang ketujuh ya kepala kepolisian. Ia berhenti tak begitu jauh di dekat gedung Mabes Polri itu. Ya pura-pura memesan nasi goreng. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain selain butuh waktu ya butuh tenaga. Bahkan ia tak tahu ini sudah sekitar jam setengah dua pagi. Ia habiskan hanya untuk berkeliling semacam ini. Usai makan nasi goreng ya berangkat ke rumah Wakil Presiden tapi ia hanya melewati begitu saja dengan memperlambat laju motornya. Terakhir ya berhenti di seberang rumah Kepala Bulog yang tka begitu jauh dari kontrakan barunya. Ini adalah salah satu alasan kenapa ketika masuk kampus, ia selalu tertidur selama kuliah berlangsung. Ya ia jarang tidur. Bahkan pernah tak tidur semalaman dan memaksakan diri untuk tetap masuk kuliah. Ia belajar disela-sela menatap rumah-rumah para target itu. Cita-citanya bukan untuk menjadi dokter. Ia hanya belajar untuk mempertahankan nilai agar tak dikeluarkan. Lantas? Di tahun ini, mahasiswa bebas mau mengambil berapa jurusan. Termasuk dirinya. Ia bisa menyesuaikan perkuliahan selama berkoordinasi dengan tim akademik. Meski mungkin ada beberapa mata kuliah yang terpaksa harus ia lewatkan. Resiko ya absen, meminta tugas pada dosen sebagai gantinya atau ya drop out jika dosennya terlalu kaku dengan hanya berpatokan pada absen sebagai salah satu penilaian. Lantas ia kuliah di mana sebenarnya? Ekonomi. Di fakultas ini lah tempat di mana ia belajar sesungguhnya. Jadi selama masa orientasi Kedokteran yang tak ia hadiri, sebenarnya ia hadir di sini. Tapi tak ada satu teman di jurusan Kedokteran yang t**i itu. Karena tentu saja ia merahasiakannya. Ia paling minat pada Ekonomi? Bukan. Minatnya bukan untuk mempelajari Ekonomi seperti pendidik. Minatnya adalah untuk menjadi kaya. Karena menurutnya punya uang akan mengantarkannya untuk memiliki kekuasaan. Dengan kekuasaan, ia akan melibas siapa saja yang ingin ia singkirkan. Ya seperti orang-orang yang melibas Ayahnya. Ia akan membalas mereka semua. Seperti mata yang harus dibalas dengan mata. @@@ "Dia keras kepala, Yah." Manggala melapor pada Ayahnya yang baru saja bangun. Surat dari adiknya tiba lebih cepat dari perkiraan. Ya mungkin dengan pengiriman ekspres yang harganya berkali lipat lebih mahal. Ia memberikan surat itu pada Ayahnya. Lelaki tua itu mengambil kacamata untuk membacanya. Begitu selesai ya menghela nafas panjang. "Menurut Gala, lebih baik jujur saja, Yah. Kalau disembunyikan semuanya, Adhi hanya akan meraba-raba untuk menemukan jawaban itu." Ayahnya menghela nafas. Justru diamnya ini agar anaknya tak berbuat macam-macam pada para komplotan itu. Karena ia tahu ini sangat berbahaya makanya ia tak ingin anak-anaknya terlibat. Namun kalau di posisi ini, ia jadinya juga bingung harus bagaimana. Jalan mana yang harus ia ambil? Tetap diam dan biarkan anaknya seolah bekerja sendirian? Atau kah angkat suara? Tapi ia tahu kalau anak-anaknya akan menggila. "Balas saja suratnya dan bilang kalau Ayah sakit keras." "Ayah tahu kan bagaimana batu gunung yang tak terkikis ombak? Adhi sama kerasnya." "Setidaknya ada air hujan yang mengikisnya." Ayahnya berkata begitu lalu beranjak dari sofa. Ia berjalan menuju dapur. Istrinya yang turut mendengar dari balik tirai hanya bisa menghela nafas. "Kamu tahu anakmu itu begajulan. Dibandingkan Gala, kamu menyuruhnya mengawal perjalanan kita dulu ke sini. Anak masih SMP tapi kamu suruh pimpin perjalanan panjang dari Jakarta ke sini. Awalnya, aku tak habis pikir. Tapi--" "Adhi itu berbeda dengan Gala. Gala mungkin dewasa tapi tak terlalu berani mengambil keputusan ekstrem. Adhi memang sumbunya lebih pendek. Lebih emosi. Kadang kurang dewasa. Tapi pola pikirnya yang dipenuhi banyak resiko itu membuatnya lebih berani. Dia tidak ceroboh. Meski terlihat sebaliknya. Sebenarnya, dia selalu menghitung dengan cermat setiap keputusan yang dia ambil." "Termasuk kamu membiarkannya tetap di sana?" Sebagai seorang ibu, ia jelas khawatir. Anaknya berkeliaran di negara sebelah tanpa pelindung siapa pun. Ya hanya Allah yang bisa menjaganya makanya doanya tak pernah putus. Doa ibu itu kan yang paling dekat dengan rahmat Allah. Keyakinan besar itu yang membuatnya percaya kalau Allah pasti akan membiarkan anaknya tetap baik-baik saja. Ya kan? "Setidaknya, aku yakin dia akan menyelesaikan pendidikannya kalau pun tujuannya tak tercapai." Karena ia tahu, anak keduanya pasti akan tetap bertanggung jawab dengan pilihan yang ia ambil. Tak mungkin dilepaskan begitu saja dan pulang tanpa membawa apa-apa. Ia tentu tahu anaknya yang begajulan itu seperti apa. "Tapi bagaimana kalau terjadi sesuatu yang tak bisa ia kendalikan?" "Kamu yang paling tahu jawabannya," tukasnya. Ia menunjuk ke atas. Maksudnya ya Allah. Karena Dia lah sebaik-baiknya penjaga. Manggala menghela nafas. Ia tahu kalau ia tak bisa diam begitu saja. Tapi ia harus bertanggung jawab dengan pendidikannya di sini. Waktu libur masih cukup lama. Namun rasa cemas mengguliti sekujur tubuhnya. Lantas apa yang harus ia lakukan? "Dan!" Ia memanggil adiknya. Lelaki itu baru hendak masuk ke kamar mandi. Danapati memutuskan untuk melambaikan tangan. Ia mau mandi. Ini sudah hampir magrib. Nanti Ayah mereka marah kalau tak segera ke masjid. Ya sang Ayah yang tentu sangat keras dan disiplin jika urusannya ibadah. Sementara yang lain mengikuti kecuali Adhiyaksa. Cowok yang satu itu memang punya pikirannya sendiri. Untuk memaksanya solat diusia 7 tahun, ia mempertanyakan satu hal yang membuat Ayahnya sendiri takjub. "Kenapa Allah harus kita sembah, Ayah?" Pertanyaan yang sangat tidak umum bagi anak seusianya. Hal yang membuat sang Ayah, Vijendra, menyadari kalau anaknya ini memang berbeda. Bahkan caranya mendidik juga berbeda dengan anak-anaknya yang lain. Karena Adhi tak bisa dipaksa. Semakin dipaksa, ia semakin ingin membebaskan diri dan tak mau melakukan apapun yang diperintahkan. Adhi memang seperti itu. Cara menghadapinya juga berbeda. Memaksanya pulang juga percuma. Mau berpura-pura mati sekalipun, ia tahu isi kepala Adhi itu seperti apa. Jadi apa yang ia suruh pada Gala untuk dikirim melalui surat itu sebenarnya kalimat lain dari terserah apapun yang mau Adhi lakukan. Namun pastikan anaknya itu harus tetap hidup agar bisa melihat Ayahnya. Begitu Adhi menerima surat yang dikirimkan Gala, Adhi tersenyum. Kali ini ia membalas surat Ayahnya dengan sedikit uang yang tentu ia hasilkan dari cara yang halal. Dengan cara apa? Ia membeli beberapa alat percetakan buku. Di sini kan susah dan mahal. Ia menyewa satu rumah dan membuka percetakan. Ya kalau ditanya modalnya? Halal kok. Ia tidak melakukan pekerjaan haramnya untuk modal percetakan ini. Kali ini uangnya benar-benar halal. Sudah ada hasilnya kah? Padahal baru tiga hari ia buka. Ya justru itu. Karena ia membuka tak begitu jauh dari lingkungan kampus, percetakannya cukup ramai. Bisnis percetakan belum banyak karena alatnya mahal dan didominasi China. Namun sejak ganti presiden, keturunan China ini dilarang berbisnis jadi banyak percetakan yang tutup dan ia hanya membeli mesin dari mereka. Ia menjalankan sendiri makanya hanya membuka di malam hari. Kemarin ia tak masuk kuliah karena ya percetakan yang baru buka ini ditawari orang untuk mencetak beberapa buku. Jadi ia sibuk dengan bisnis ini sembari belajar. Beberapa teman datang memberikannya catatan. Tentu saja teman dari Fakultas Ekonomi. Dari Kedokteran? Tak ada. Namun rumornya bekerja di percetakan menyebar di fakultasnya dan sampai ke telinga Fiandra yang sejak kemarin memang tak melihatnya. Padahal beberapa hari lalu, suasana kantin fakultas sempat heboh. Heboh kenapa? Ya karena mereka makan berdua di kantin. Ciyee....... "Nah itu tuh percetakannya, Fi......" Tahu-tahu gadis itu dan ketiga sahabatnya sudah berdiri tak begitu jauh dari percetakan milik Adhi. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN