Nelpeo tahun 1960
Rambut hitam legam, mata berwarna hijau pekat, bibir merah mecolok, kulit seperti pualam, semuanya terbalut gaun selutut berwarna merah dan topi baret. Tubuh itu berdiri dengan tegak dan dagu sedikit terangkat, ada senyuman di bibirnya saat tangannya yang mengenakan sarung tangan hitam itu menerima uluran tangan Rodriguez, kepala kepolisian yang menjadi tangan kanan raja Julius.
Wanita itu, dia adalah Millia, seorang detective terbaik di negara Nelpeo.
Rodreguez kini menyambutnya dengan baik setelah berhasil membuat Millia keluar dari rumahnya setelah dua bulan lamanya Millia mengurung diri tanpa alasan yang dapat di ketahui.
Kini, Millia berdiri disini, di depan istana kuning negara Nelpeo karena sebuah utusan khusus dan mendesak.
Satu hari yang lalu Rodriguez memohon bertemu dengannya dengan membawa sepucuk surat yang di tulis langsung oleh sang raja. Surat rahasia itu memberitahukan bahwa putera mahkota Vernon meninggal dengan cara yang misterius padahal satu minggu lagi sang putera mahkota akan naik tahta untuk menggantikan posisi ayahnya yang tengah sakit keras dan tidak mampu untuk melanjutkan tugasnya sebagai raja.
Permintaan secara khusus dari istana membuat Millia tidak memiliki kesempatan untuk menolak, padahal selama dua bulan ini dia sudah menutup diri dunia luar yang aneh.
Aneh? Benar, aneh.
Millia, dia bukan Millia yang sebenarnya. Jiwa yang kini berada dalam tubuh Millia adalah Akasia, seorang dokter forensic di sebuah badan kepolisian, dia memiliki karier cemerlang dan kehidupan yang sempurna.
Namun, karena sebuah serangan di rumah sakit, Akasia menjadi salah satu korban penembakan. Seseorang telah menembak kepalanya dengan sebuah senapan, tembakan itu membuat Akasia tidak ingat apapun selain tubuh yang tumbang ke lantai.
Begitu Akasia kembali terbangun, di sinilah dia sekarang. Di sebuah negara yang di masa depan nanti akan menjadi negara bagian negara Neydish karena kekuasaan keluarga Giedon.
Akasia melompati waktu ke belakang, seharusnya dia berada di tahun 2025, namun kini dia berada di tahun 1960.
Akasia sangat frustasi dengan apa yang terjadi kepadanya, satu minggu setelah memasuki tubuh Millia, Akasia sudah melakukan percobaan bunuh diri daripada harus menjalani kehidupan kuno yang sama sekali tidak cocok dengan jenis manusia pemalas sepertinya.
Ketika Akasia mencoba mengakhiri hidupnya agar bisa kembali kemasa depan, ada sesuatu hal aneh lainnya yang terjadi. Tubuh Millia tidak terpengaruh oleh racun, bahkan meski dia memotong nadi di leher dan tangannya, tubuh itu akan kembali menyembuhkan diri sendiri, Millia tidak merasakan sedikitpun rasa sakit.
Menyerah dengan keinginan untuk bunuh diri, Akasia mencoba untuk berdamai dengan keadaannya. Menerima sebuah takdir yang tidak lebih seperti sebuah lelucon.
Mengenai Millia, dia adalah seorang detective terbaik di Nelpeo, memiliki paras menawan, dia juga memiliki kepercayaan dari banyak orang atas dedikasinya pada negara. Namun, Millia memiliki sisi buruk yang membuat dia menjadi musuh hampir seluruh wanita di Nelpeo.
Millia adalah seorang cassanova yang memiliki hubungan dengan banyak pria. Wanita itu tidak hanya cantik dan cerdas, dia juga pandai berkata-kata dalam menyanjung, tidak jarang banyak pria yang tergila-gila pada Millia.
Sisi gila Millia ini membuat Akasia kini sangat kerepotan, Akasia tidak tahu bagaimana cara Millia mengatasi semua pria dalam satu waktu. Ada banyak kontroversi atas perbuatannya, beruntungnya Millia selalu mendapatkan perlindungan khusus karena dia salah satu asset negara yang penting.
Kini, Millia si asset negara itu kembali di utus untuk memecahkan sebuah kasus, yaitu kematian putera mahkota yang terjadi dua hari yang lalu.
***
Dua hari yang lalu..
Aroma khas tanah terkena air hujan bisa tercium malam itu, cahaya petir menyambar menerangi kegelapan dalam sesaat, angin berhembus kencang menjatuh dedaunan yang sudah menua.
Ada sebuah bayangan di langit menunjukan sesuatu yang tidak biasa, itu bukan bayangan bentuk awan. Namun, kabut hitam yang bergerak cepat, beberapa saat terlihat jelas di bawah cahaya petir. Bayangan hitam itu adalah sepasang sayap dari seekor burung yang memiliki kaki dan tangan dengan tanduk di kepalanya.
Bayangan itu bergerak cepat dan melebur dalam cahaya lampu penerang dari sisi bagunan istana.
Suara rintihan kesakitan terdengar di sebuah kamar yang gelap, kamar itu adalah milik Vernon.
Di atas ranjanganya Vernon tengah bernapas tidak teratur dengan peluh keringat yang membasahi seluruh tubuhnya.
Enam jam yang lalu, Vernon merasakan panas terbakar dan sesak di d**a, namun siapa sangka jika sakitnya itu akan semakin parah malam ini.
Tubuh Vernon membeku tidak memiliki kekuatan untuk menggerakan bel agar pelayan yang menjaga datang, namun mata Vernon menatap waspada pada sesuatu pergerakan yang kini masuk ke dalam kamarnya.
Vernon terpenjara ketakutan, dia sadar jika ada suatu bahaya ada di depannya. Bahaya itu adalah, tamu yang selama ini sering datang untuk mengganggunya dalam mimpi, ternyata kini mimpi itu datang padanya secara nyata.
Bayangan sepasang sayap terlihat di antara remang cahaya, langkah kakinya sangat ringan. Tanganya bergerak sedikit terangkat menunjukan percikan api dari tangannya, sosok itu menerangi wajahnya dan putera mahkota.
Kini, untuk pertama kalinya Vernon melihat siapa tamu jahat yang sering mengganggunya. Dalam rasa sakit yang begitu kuat Vernon menatap sepasang mata berwarna amber yang mirip dengannya.
“Kau..” Vernon memanggilnya dalam rasa sakit bercampur geraman marah, wajahnya pucat di hiasi peluh keringat dingin.
Orang itu tersenyum lebar dengan mata penuh kesenangan yang menyiratkan sesuatu akan terjadi pada Vernon. “Ya, Yang Mulia,” jawabnya dengan tenang.
“Kau, berani-beraninya! Dasar b******n!” Maki Vernon dengan suara dalam, pupil mata Vernon gemetar karena marah bercampur sedih, pria itu merasa sangat kecewa telah di khianati.
Satu persatu percikan cahaya api di tangan manusia burung itu menghilang, Vernon memejamkan dengan kuat merasakan panas di seluruh tubuhnya kian terasa, jantungnya terasa seperti tengah terbakar.
“Maaf, Yang Mulia, sudah saatnya semuanya berubah.”
Vernon mencengkram permukaan seprai, tubuhnya semakin lemah dalam rasa sakit yang membakar, sekuat tenaga Vernon bertahan, namun semua rasa sakit yang entah dari mana datangnya terus menerus menggerogoti dirinya.
“Dewa akan membakarmu,” rintih Vernon dengan wajah kian keringat kepanasan seakan ada api yang sudah melahap seluruh tubuhnya .
“Saya pemilik apinya, Yang Mulia. Saya adalah calon raja yang sesungguhnya.”
Vernon tidak dapat melanjutkan ucapannya, mulutnya mulai kaku dan lidahnya lidahnya tidak bisa bergerak.
“Terima kasih sudah memberikan saya kesempatan untuk lebih dulu membakar Anda, Yang Mulia.” Bibir itu menyeringai puas melihat Vernon yang terbaring lemah Vernon yang semakin dekat dengan kematiannya.
Cahaya di tangan manusia burung itu memadam sepenuhnya bersama dengan kepergian Vernon dalam hembusan napas terakhirnya.
Bayangan samar sepasang sayap lebar bergerak mengepak membuat jendela di sisi ruangan terbuka. Manusia burung itu terbang keluar menjatuhkan satu buah sayap bulunya yang berwarna hitam legam.
***
Pagi itu terlihat sedikit kelabu, hujan kembali turun membuat orang-orang yang bersiap-siap akan bekerja mempersiapkan acara penobatan putera mahkota Vernon menjadi terhambat.
“Dawne, kenapa putera mahkota belum bangun juga?” Tanya ratu Lozne yang kini berada di kediaman putera mahkota. Gaun merah yang di kenakan ratu Lozne menyapu lantai membuat dia bergerak pelan di setiap langkah yang di ambilnya, ratu Lozne melihat ke penjuru arah merasakan sesuatu yang kelabu tidak seperti biasanya.
Ratu Lozne melihat Dawne yang kini baru datang menghampirinya. “Periksalah kamar putera mahkota, mungkin sakitnya belum sembuh.”
Dawne mengangguk patuh dan pergi menuju pintu kamar Vernon. Beberapa kali Dawne mengetuk dan memanggil, Vernon tidak kunjung menjawaban.
Cukup lama Dawne berdiri di depan pintu dan terus mengetuk pintu, menunggu suara apapun yang bisa dia dengar. Dawne tidak memiliki keberanian masuk kamarnya tanpa izin, Vernon akan mencambuknya jika Dawne melakukannya. Hal itu pernah terjadi satu tahun yang lalu.
Vernon selalu marah bila ada orang yang mengganggunya saat dia berada di kamar pribadinya karena di anggap mengganggu waktu istirahatnya. Hanya puteri Sanata, isterinya yang di perbolehkan masuk.
Tidak seperti biasanya Vernon telat, padahal hari ini Vernon akan pergi berkunjung ke Negara tetangga.
Dawne kembali menemui ratu Lozne yang tengah menunggu begitu tidak menemukan jawaban apapun dari sang putera mahkota.
“Di mana putera mahkota?” tanya ratu Lozne lagi.
Dawne menunduk melihat lantai. “Saya sudah memanggilnya, namun beliau tidak menjawab. Yang Mulia, saya akan membuka pintu putera mahkota bila beliau belum muncul juga dalam lima menit,” jawab Dawne terlihat sungkan.
“Biar aku saja yang melihat,” putus Lozne terlihat kesal.
“Silahkan.” Dawne segera mengantar ratu Lozne menuju kamar Vernon dan membantu membukakan pintu, lalu mempersilahkan Lozne masuk.
Ratu Lozne melangkah dengan anggun, tanpa permisi ratu Lozne langsung melihat ke arah jendela yang terbuka, memperhatikan gerakan gorden yang bergerak lembut tertiup angin. Tidak seperti biasanya Vernon tidur dengan jendela terbuka.
“Putera Mahkota,” Lozne menaiki satu persatu anak tangga kecil menuju ranjang Vernon.
Tangan Lozne saling bertautan, napasnya tertahan dengan wajah pucat pasi melihat mata Vernon terbuka lebar dengan bibir yang sedikit terbuka. Rasa takut dan terkejut Lozne membuat dirinya tidak memiliki kekuatan untuk berteriak. Tubuh Lozne jatuh ke lantai seketika dengan gemetar menggigil.
Ratu Lozne bernapas dengan kasar.
“DAWNE!” Teriak Lonze dengan keras. Air mata Lozne berjatuhan melihat Vernon terbaring dengan seluruh tubuhnya yang sudah memerah seperti telah terpanggang.
To Be Continued..