PART 3 Kontrasepsi

1129 Kata
Sejak awal menikah, Luna memang memutuskan memakai kontrasepsi. Hal itu ia lakukan mengingat jam mengajarnya yang tinggi di tambah dia menjadi Sekretaris Kaprodi. Dia takut jika dia hamil dan memiliki anak, tidak ada waktu untuknya mengurus buah hatinya. Jadilah setelah pertimbangan yang panjang, Luna memutuskan memakai kontrasepsi menggunakan implant, sesuai anjuran dokter. Namun sekarang, setelah tujuh bulan berlalu, Luna mulai memiliki kekosongan. Dia memang masih mengajar dengan jam mengajar yang tinggi, juga masih bisa mengurus Arga sebagai suami. Tapi, setelah di pikir-pikir sekarang dia merasa kosong di rumah sebesar ini tanpa Arga jika suaminya itu bertugas ke Bandung. Haruskah ia melepas kontrasepsinya dan program hamil? Lagi pula, umur Arga sudah matang, 32 tahun. Mungkin dengan dia hamil, mertuanya tidak lagi meminta Arga mengurus cabang Bandung dan meminta Arga untuk lebih fokus pada kehamilan Luna. Ah ide bagus. Pikir Luna. Lamunan Luna buyar ketika dia mendengar suara deru mobil dari depan rumah. Luna segera beranjak dan berlari, menuruni satu persatu tangga untuk mencapai pintu. Ketika dia membuka pintu rumah, dia bisa melihat wajah suaminya yang sejak kemarin tidak di lihatnya. "Belum tidur?" "Belum. Nunggu kamu," Luna menyambar tangan Arga dan menciumnya. Setelah itu dia mengapit lengan suaminya dan mereka masuk ke dalam setelah mengunci pintu rumah. "Mau makan? Mandi? Apa langsung tidur?" "Tidur aja. Tadi sebelum pulang sudah mandi." Luna mengangguk, tak membantah. Mereka menaiki satu persatu anak tangga menuju kamar mereka di lantai atas. "Tolong ambilkan baju tidur. Aku mau ke kamar mandi sebentar." "Yap, Boss." Luna segera menuju walk in closet mereka, memilih satu buah celana tiga per empat, juga sebuah kaos. Dia keluar dari sana, bertepatan dengan itu, Arga keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang d**a. "Ini Mas." Arga menerimanya dalam diam dan mulai melepas pakaiannya tanpa canggung. Luna tersenyum kikuk, dan duduk di pinggiran ranjang, mengamati wajah suaminya. "Mas." "Apa?" Arga memutar sisi kosong yang lain dan merebahkan diri di sana. Dia melirik Luna yang melepas jubah tidurnya, menyisakan lingerie sexy berwarna hitam. Luna merangkak mendekatinya, bergerak begitu sensual membuat Arga tersudut. Luna berada di atasnya dengan tatapan menggoda. "Apa yang kamu lakukan?" "Menggoda kamu. Apa lagi?" Decak Luna kesal. "Aku lelah, Lun." Luna menatap suaminya tak percaya, tidak seperti biasanya, ketika Luna melemparkan diri, Arga justru menolaknya. "Yah, Mas. Kita sudah dua minggu nggak—" Arga meraih pinggang Luna dan mendorongnya menyamping, sehingga Luna jatuh di ranjang kosong sampingnya. "Besok. Oke? Aku lelah." "Biasanya kamu nggak pernah nolak aku, Mas." Gerutu Luna kesal. Mereka saling berpandangan, dan Luna tau arti tatapan Arga. "Oke. Kamu bisa tidur." Ujar Luna sebelum menarik selimut dan dia tidur memunggungi Arga. Arga memandang punggung itu dengan tatapan kosong dan bercampur rasa bersalah. ** Ketika saudara kembarnya mengalami kecelakaan beruntun dan di nyatakan kritis, saat itulah Agra membisikinya dan berkata, "Tolong jaga Sarah dan Fabian. Aku percayakan kamu. Bahagiakan mereka." Dan pada saat itulah dunia Arga serasa runtuh seketika. Pikirannya tertuju pada Si Gadis cantik jelita yang sudah dua bulan di nikahinya. Ada rasa bersalah dan sesal ketika dia berjanji pada saudara kembarnya yang kritis. Janjinya itulah yang membuat Agra tidak lagi merasa sakit. Agra sudah tenang di sisi-Nya. Namun, pikulan tanggung jawab Arga dua kali lipat jauh lebih besar. Salah satunya; menepati janji membahagiakan Sarah. Dia tentu tidak bisa. Dia memiliki Luna. Walau mereka menikah karena sebuah perjodohan, tapi mereka saling berkomitmen untuk bersama. Namun, keluarganya mendesak. Janji adalah janji yang harus di tepati. Arga tidak bisa berkutik. Selama masa iddah Sarah berlangsung, banyak sekali pertimbangan dan pemikiran yang Arga lakukan. Salah satunya pemikiran untuk menyembunyikan pernikahannya dari Luna ataupun keluarga Luna. Kenapa? Karena Arga tidak siap harus berpisah dari Luna seandainya Luna tau. Dan Arga juga ingin melindungi Sarah jika sewaktu-waktu Luna bisa saja menyakiti Sarah. "Mas?" "Hmm?" Luna membenamkan wajahnya pada d**a bidang Arga yang telanjang, setelah mereka menyelesaikan aktivitas yang menyenangkan. "Aku lepas kontrasepsi ya?" "Ya?" Tanya Arga tak fokus, matanya mengerjab beberapa kali. Dia melepas dekapannya di tubuh Luna dan mereka saling berpandangan. "Aku ingin lepas kontrasepsi. Aku ingin hamil." "Apa kamu sudah lepas?" Tanya Arga bingung. "Enggak. Belum. Aku mau tanya kamu dulu, kalau aku lepas dan mau program hamil boleh ya?" "Ngg.. jangan. Bukannya kamu ada penelitian setelah ini?" "Ada. Tapi aku janji akan menjaga dia kalau kita di beri amanah." "Hemm.. jangan dulu ya?" "Kenapa?" "Aku sekarang sangat sibuk, Lun. Nanti kalau kamu hamil dan aku ada di luar kota gimana?" "Papi masa tega biarin aku sendiri disini dalam keadaan hamil sedangkan kamu ke luar kota?" "Lun, kantor cabang lagi butuh aku, oke? Kamu jangan bersikap kekanakan. Aku tidak setuju kalau kamu harus lepas kontrasepsi." Luna rasanya ingin menangis, namun ia berusaha menahannya. Untuk menyembunyikan kesedihannya, Luna mencoba mengalihkan pembicaraannya. "Kemarin sudah bertemu Sarah, Mas?" Arga menahan napasnya untuk beberapa detik sebelum memandang istrinya. "Sudah." "Sarah masih tinggal di rumahnya yang dulu?" "Ya masih." "Dia dan Fabian baik-baik saja Mas?" "Hem iya." Ingatan Arga pun berputar ke kejadian kemarin siang dimana dia mengantarkan anak tirinya itu untuk imunisasi. Dokter sempat berkata bahwa setelah imunisasi terkadang saat malam bayi tersebut akan rewel atau badannya demam. Arga kemarin sebenarnya masih ingin di sana menemani Sarah merawat Fabian. Tapi Sarah menolak dan memintanya untuk segera pulang. Sampai sekarang dia belum bertukar kabar dengan Sarah mengenai keadaan Fabian. Dia melirik ponselnya yang terletak di atas nakas samping ranjang. Ponsel yang sejak semalam tergeletak di sana tanpa di sentuh olehnya. "Hem, Lun, aku lapar. Kamu siapkan makan siang ya?" Bibir Luna mengerucut. "Aku pikir kamu lapar yang itu, Mas." Arga terkekeh dan mengusap puncak kepala istrinya. "Cepat gih. Aku lapar." "Iya iya." Luna turun dari ranjang menuju walk in closet di sana. Dia memilih memakai sebuah daster berlengan spaghetti sebelum keluar dari sana. "Lun." Panggil Arga yang sudah berpakaian. Dia melihat kimono juga lingerie-nya di sodorkan Arga kepadanya. "Kamu nggak pakai bra?" Cengiran Luna membuat Arga mendesah. "Underwear?" Luna menggeleng. "Biar kamu nanti kalau makan aku, nggak repot, Sayang." Arga memejamkan matanya untuk menghalau kesal di lubuk hatinya. "Ya sudah. Cepat keluar." "Iya." Luna mencuri sebuah ciuman di bibir suaminya dan keluar dari kamar. Setelah memastikan Luna benar-benar keluar. Arga segera meraih ponselnya dan mulai menghubungi Sarah. "Iya Mas, ada apa?" Ujar suara lembut di seberang sana. "Bian baik-baik saja kan semalam?" "Iya Mas. Nggak apa-apa, Cuma sulit tidur aja semalam." "Tapi nggak ngerepotin kamu kan?" "Enggak Mas. Tenang aja." "Syukurlah. Kalau ada waktu senggang lagi, aku hubungi kamu ya? Aku tutup, jaga diri kamu baik-baik sama Fabian." "Iya Mas." Arga mematikan sambungan teleponnya, dan meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula, lalu pandangannya tertuju pada ranjangnya yang berserakan akibat pergumulannya bersama Luna pagi tadi. Pergumulan akibat Luna yang memiliki 1001 cara untuk menggodanya, membuatnya mendesah kasar. Dia seperti b******n karena sadar bahwa dalam kurun waktu dua hari, dia tidur dengan dua wanita berbeda yang berstatus sama-sama menjadi istrinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN