7

1096 Kata
Waktu berlalu, Rain hanya bisa menangisi nasibnya kini berada di dalam kamar mandi yang gelap dan terkunci dari luar. Bau busuk dari lubang WC juga semakin menyengat membuat Rain juga mual sendiri. Beberapa kali ia muntah -muntah mencium bau dari kotorannya sendiri. Rasa mulasnya mendadak hilang. Sekarang hanya ada rasa takut dan pening. Gimana kalau kamar mandi ini tidak ada lagi yang membukanya. Lama -lama, Rain bisa mati di dalam sini. Hanya tinggal bangkai tengkoraknya saja. Masa iya, ia harus mati dengan cara konyol. Lalu? Semua media akan memberitakan dirinya. Seorang mahasiswi meninggal saat orientasi di Kampusnya. Mendadak hilang dan terkunci di Kamar mandi dengan keadaan setengah polos karena tidak ada air. Oh ... My GOD. Rain mencari akal untuk bisa membersihkan tubuhnya dari bau ini. Ia melepaskan celana jeansnya dan melepaskan celana dalamnya untuk membersihkan bokongnya agar bersih. Rain mengambil minyak wangi yang ada di tas dan menyemprotkan ke tubuhnya terutama bagian belakang. Celana itu ia buang di dalam keranjang sampah yang tertutup dan memakai kembali elana jeansnya. Binder yang Rain bawa juga ikut dijadiakn penyelamat untuk menutup lubang WC. Rain melepaskan beberapa kertas file dan diremas seperti bola lalu dibuang untuk menutup kotorannya dan kloset itu di tutup. Rain segera keluar dari kamar mandi dan berteriak keras dari dalam sambil menggedor -gedor pintu. Namun saya sekali. Hari sudah semakin siang dan sepertinya sudah mulai sepi. Auditorium yang berada jauh dari letak kamar mandi itu tak tjangkau oleh orang yang berada disana. Apalagi di depan lorong sudah diberi tanda bahwa kamar mandi sedang rusak dalam perbaikan. "Dosa apa sih?! Sampai begini kejadiannya. Gak ngenakin banget. Mana lapar lagi!" umpat Rain kesal sendiri. Lihat saja ini sudah pukul dua siang. Rain sudah lama terkunci disana tanpa mendapatkan solusi. Sekalinya dapat solusi, semuanya kayak sudah terlambat. Rain bersandar dibalik pintu kamar mandi. Lama -lama tubuhnya lemas dan terduduk dibawah. "Siapa pun yang nolong Rain disini. Rain mau deh ngabulin apaaun permintaannya. Ini janji Rain," uap Rain pada dirinya sendiri. Sudah tak ada harapan sepertinya selain membuat janji pada dirinya sendiri apapun itu resikonya nanti. Sementara, Dirumah Rain. Hendi dan Reni menunggu kepulangan putri semata wayangnya. "Rain belum pulang, Bun?" tanya Hendi sambil menyeruput kopi hitam di teras depan rumah. "Belum Pa. Katanya pulang malam. Soalnya ada acara pentas seni gitu," jelasn Reni pada suaminya sambil meletakkan satu piring pisang goreng hangat yang enak dinikmati sore hari begini. "Pulang malem? Dari pagi?" tanya Hendi merasa aneh. "Iya. Kemarin bilangnya gitu. Katanya, setelah orientasi perkenalan Kmapus lanjut pentas seni kayak malam keakraban gitu," elas Reni menyeruput teh manisnya. Hendi hanya menganggukkan kepalanya dan kembali fokus membaa koran. Reni juga mulai sibuk menyiram tanaman di depat teras rumahnya. Sebuah mobil sedan berhenti di depan rumah Hendi. Hendi dan Reni menatap mobil yang tak dikenalnya itu berhenti. Seorang lelaki tampan datang dengan membawa bungkusan plastik ditangannya. "Permisi," panggil Dika dari arah depan pagar sambil menatap sopan ke arah Hendi dan Reni yang juga menatapnya. Reni melirik Hendi yang sedang menutup koran yang sedang dibacanya. "Papa kenal?" tanya Reni cepat. "Gak kenal. Siapa ya Bun?" ucap Hendi malah balik bertanya. "Selamat sore Om dan Tante. Maaf ganggu, saya Dika," ucap Dika langsung to the point memperkenalkan diri. Hendi menuruni anak tangga teras rumahnya lalu mendekati pagar besi untuk meluhat langsung pria yang kini sudah berada di depannya hanya dibatasi dengan pagar besi yang membentang secara hirisontal. "Sore Om," sapa Dika lagi dengan sopan. "Kamu siapa? Saya gak kenal," jawab Hendi ketus. Maklum kan, jaman sejarang banyak modus operandi di luar nalar dan kehadian tak wajar untuk mencari keuntungan. Bisa jadi lelaki di depannya ini hanya modus. Pura -pura kenal dan menyapa karena kebetulan Hendi dan Reni sedabg berada di teras rumah. "Makanya mau kenalan Om," ucap Dika begitu yakin. Menurut Dika, dirinya pasti diterima baik oleh kedua orang tua Rain. Dika tamlan, pintar, keren, dan sopan. Apalagi dia seorang dosen muda. Tidak mungkin kan kalau dia diusir secara tidak hormat. "Gak perlu. Maaf, Kami tidak bisa berkenalan dengan orang asing yang ujung -ujungnya minta tolong dan pura -pura kesakitan atau kesusahan. Malah hipnotis saya dan mengambil smeua harta kekayaan saya yang sudah banyak di dalam rumah," tuduh Hendi tanpa peduli Dika merasa tersinggung dan sakit hati. "Lho Om. Memang tampang saya kelihatan kalau kayak orang jahat?" tanya Dika merasa kecewa dengan tuduhan asal Hendi padanya. "Orang jahat itu kebanyakan malah terlihat kayak begini nih. Sopan, sok kenal, sok deket, baju rapi kayak CEO, terlihat tamlan dan cerdas. Wajah bersih. Ini penipu ulung biasanya," tuduh Hendi semakin menjadi. Hendi sudah kesal dan bisa melihat modus model begini. Ujung-ujungnya duit. "Eh .. Om ... Dika gak begitu. Dika cuma mau kenal sama Om Hendi dan Tante Reni. Itu aja kok, gak ada yang lain. Gak niat jahat juga. Apalagi mau ngapain gitu. Sama sekali gak," ucap Dika cepat. Reni ikut turun dan menghampiri Hendi lalu menyenggol tangan suaminya. Bisa -bisanya lelaki ini tahu namanya. "Kamu penguntit ya? Kok tahu nama kita berdua?" tanya Reni semakin menuduh dengan bar -bar. "Enggak Tante. Jangan salah paham. Dika beneran oeang baik. Dika, dosen muda di Kampus Orion. Kampusnya Rainy juga kan?" ucap Dika semakin berani menunjukkan identitasnya. Hendi mengusap dagunya yang tidak brewok. Lalu melirik ke arah Reni yang mengendikkan bahunya. Jujur, masih ada rasa ragu pada laki -laki bernama Dika ini. "Mau kamu apa?" tanya Hendi to the point. "Cuma mau silaturahmi sam Om dan Tante. Mau kenalan aja. Sekalian mau melancarkan niat baik saya," ucap Dika lebih terdengar tenang. "Niat baik yang mana?" tanya Hendi masih tak percaya. Mereka hanya bicara bersahutan dari dalam dan luar pagar. Seperti oeang yang sedang menawar dagangan saja. "Saya mau menikahi Rainy, Om," ucap Dika mantap. Hendi mengerutkan keningnya lalu tertawa sinis sambil melirik istrinya yang juga tertawa lepas sambil mengejek. "Menikahi Rainy? Kamu pikir putri saya perawan tua?" ucap Hendi ketus. Tatapannya semakin tak suka melihat Dika yang terkesan asal bicara dan main -main. "Asal kamu tahu anak muda. Rainy itu sudah punya calon suami. Calon suaminya dokter. Paham?" jelas Reni semakin terdengar kesal nada suaranya. "Tapi saya dosen muda, Tante. Saya lulusan magister," bela Dika pada dirinya sendiri. "Kamu pulang saja ya, Nak. Lagi pula mau tanya Rainy dulu. Rainynya belum pulang dari Kampus. Masih ikut orientasi," ucap Hendi. "Apa? Ikut orientasi? Acara Kampus untuk mahasiswa baru sudah selesai. Acara malam keakraban juga tidak jadi dilaksanakan malam ini. Semua mahasiswa sudah pulang. Saya pemnina acara ini. Lagi pula saya tidak melihat Rainy tadi. Memang absennya ada, tapi dia tidak ikut acara dari awal sampai akhir," jelas Dika yang tahu persis jalannya acara dari awal hingga akhir. "Apa?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN