Rain langsung menoleh ke arah Dika dan melotot tajam.
"Apa? Nikah? Gampang banget ngomongnya!" ucap Rain bernada ketus sambil melirik sinis ke arah Dika.
"Memang kenapa kalau nikah? Bukankah malah baik? Lagi pula, kamu gak sayang sama dirimu kamu sendiri karena sudah kehilangan kegadisan kamu?" tanya Dika merasa aneh pada rain.
"Bukan nikah solusinya. Tapi lapor polisi!" jawab Rain begitu keras.
"Lapor polisi?" tanya Dika bingung.
"Iya! Lapor polisi! Biar gak ada perempuan yang jadi korban kayak saya!" jelas Rain begitu berapi -api.
"Lho kok jadi mnejalar kemana -mana pembahasannya. Saya ini mau bertanggung jawab atas kejadian malam itu. Kamu hamil atau tidak saya akan tetap menikahi kamu," jelas Dik apada Rain.
"Gak perlu. Saya harap, kejadian malam itu tidak akan membuat saya hamil," jelas Rain menolak permintaan Dika.
"Oke. Kalau tiba -tiba kamu hamil dan kamu minta pertanggung jawaban atas kehamilan kamu. Maka saya tidak akan mau bertanggung jawab lagi," jelas Dika lantang.
"Deal," jawab Rain penuh emosi.
Jujur, Rain belum kepikiran ke arah sana. Pikirannya masih terlalu ABG.
Dika melirik lagi ke arah Rain yang keras kepala. Namun, kata -katanya tadi yang terucap tak benar -benar serius. Dika masih memiliki hati nurani dan tidak akan meninggalkan Rain sendirian. Itu janjinya di dalam hati.
Mobil Dika sudah berada di depan rumah Rain. Rain langsung turun dan melupakan rasa sakitnya. Dika ikut turun dan membawakan tas Rain yang masih tertinggal di mobilnya. Tidak lupa satu kantong obat yang tertinggal di jok mobilnya.
"Papa ... Bunda ..." teriak Rain yang bergegas berlari ke arah pintu utama setelah melewati pagar.
Rumah orang tuanya memang terlihat ramai. Sepertinya ada tamu.
Hendi dan Reni langsung berdiri saat melihat Rain kembali pulang dengan selamat.
"Rain ..." teriak Reni begitu histeris. Wajah Rain memang sedikit puat dan rambutnya agak berantakan.
Reni langsung memeluk Rain dengan erat. Begitu juga Hendi yang ikut memeluk Rain dan Reni. Rasanya keluarga mereka kembali lengkap dan utuh.
Dika ikut masuk ke dalam rumah Rain dan berdiri di teras depan.
"Emmm ... Kok kamu bau sih, Rain. Kayak bau bayi lagi ..." ucap Reni melepaskan pelukan di tubuh Rain.
"Apa? Kayak bayi kenapa?" tanya Rain penasaran.
"Bayi belum mandi terus pup gitu. Persis banget. Iya kan Pa?" tanya Reni menekan hidungnya karena bau.
"Ahh masa sih Bun?" jawab Rain panik. Tapi tadi satu mobil dengan Om Tua itu dan tidak ada komplain apapun.
Rain mencium aroma tubuhnya yang memang agak asem.
Hendi menatap Dika yang ada di belakang Rain.
"Kamu lagi!!" ucap Hendi ketus. Hendi merasa Dika ini bukan orang baik karena memiliki maksud dan tujuan tertentu.
"Malam Om ... Saya Dika. Ini tas dan obat Rain. Tadi habis periksa di Klinik. Saya temukan pingsan di Toilet Kampus," jelas Dika mencoba mengambil hati Hendi, Papa Rain.
"Gak usah basa -basi. Pasti kamu dalang dari semua kejadian ini," gertak Hendi pada Dika.
"Gak Om. Beneran Om, sayan uma mau bantu Rain aja," jawab Dika dengan epat untuk membela dirinya.
Hendi menoleh ke arah Reni dan Rain.
"Kamu gak apa -apa Rain? Dia siapa?" tanya Hendi memastikan.
Rain menggelengkan kepalanya dan mengendikkan bahunya.
"Rain gak kenal. Katanya sih, dosen di Kampus Rain. Tapi Rain kan belum tahu kebenarannya. Rain belum pernah kuliah," jawab Rain begitu sinis menjatuhkan harga diri Dika.
"Kalau saya orang jahat, saya tidak akan mungkin menolong kamu. Untuk apa?" ucap Dika tak mau kalah membela diri.
Reni mengambil tas dan kantong obat itu lalu berbicara pada Dika.
"Tante ucapkan banayk treima kasih sudah mmebnatu Rain dan membawa pulang Rain ke rumah dengan selamat. Sekarang kamu bisa pulang. Disini ada polisi juga, biar masalahnya tidak panjang," ucap Reni ada Dika.
Dika mengangguk pasrah dan menatap Rain seperti ingin bicara sesuatu.
"Saya mau biara sama Rain dulu bisa?" tanya Dika dengan cepat.
"Gak bisa. Kita semua termasuk Rain juga tidak kenal kamu. Jadi kamu mau apa bicara dengan putri saya? Kamu mau kasih pengaruh buruk?" tuduh Hendi pada Dika.
"Gak ada Om. Saya hanya mau bilang sama putri Om. Jangan lupa makan terus minum obat. Cepet sehat ya," ucap Dika begitu lembut dan terdengar sangat peduli sekali.
"Udah kan? Rain kamu cepet naik ke atas!" titah Hendi pada putrinya.
Rain menatap Dika yang masih cemas dengan keadaannya. Kini gelisahnya semakin bertambah.
"Iya Pa," jawab Rain segera membalikkan tubuhnya dan naik ke atas. Reni juga ikut mengantar putrinya ke atas menuju kamar tidur sambil membawakan tas dan kantong obta itu.
"Kamu pulang. Gka usah lama -lama kan berdiri di sini," titah Hendi denagn suara galak.
"Baik Om. Dika pamit. Dika uma mau bilang sam aOm. Dika ini orang baik dan bukan orang jahat seperti Om kira," ucap Dika yang kemudian mencium punggung tangan Hendi.
"Heh ... Apa -apaan ini. Gak usah pakai cium -cium segala. Emang anak mantu," jelas Hendi ketus.
"Kalau bisa jadi anak mantu. Dika siap," jawab Dika spontan dengan wajah serius.
"Apa kamu bilang. Gak ada. Pergi sekarang juga!" usir Hendi pada Dika.
Dika pun segera pergi dari rumah itu dan berjalan keluar menuju mobilnya.
Sesekali menoleh ke belakang melihat Hendi yang berkacak pinggang karena kesal.
"Dia itu siapa Rain?" tanya Reni yang masih duduk di tepi ranjang menunggu Rain yang baru saja selesai membersihkan diri dari dalam kamar mandi. Reni benar -benar penasaran.
"Siapa?" tanya Rain yang terkejut dengan pertanyaan Bundanya. Sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Rain duduk di kursi belajarnya.
"Tadi. Cowok yang pulang sama kamu. Dia tadi siang udah datang mau ketemu kamu. pas kita bilang kamu bleum pulang, dia kayak buru -buru gitu dan bilang mau bantu cari kamu," jelas Reni pada Rain.
"Oh," jawab Rain santai. Rain megambil ponselnya dan menatap satu nomor asing masuk ke notif di pesan singkat.
"Kok cuma bilang oh. Bunda ini penasaran," ucap Reni dengan gemas karena sanagt kepo.
Rain meirik ke aah Bundanya yang malah tantrum snediri dengan rasa penasarannya.
"Kalau penasaran, harusnya Bunda tadi tanya sendiri," ucap Rain pada Reni.
"Rain ... Bunda itu cuma gak mau kamu salah pergaulan treus kamu hamil, nikah muda, dan punya anak. Bunda gak bayangin deh kalau gitu," jelas Reni pada putrinya. Ucapan Reni sudah sangat sering Rain dengar setiap hari bahkan. Reni seperti tidak pernah bosan memberikan nasihat yang sama dan berulang.
Deg!
Dada Rain berdebar dengan sanagt keras mendengan nasihat yang padahal sering sekali di dengarnya. Nasihat itu biasanya hanya masuk ke kuping kiri lalu keluar di kuping kanan. Namun, Kali ini, nasihat itu seperti memberikan tamparan keras untuk Rain. Rain yang tak lagi gadis. Klaau smapai orang tuanya tahu soal ini, tentu akan sangat kecewa sekali.
"Kok malah diem kayak kesambet sih. Kamu kenapa, Rain?" tanay Reni smeakin penasaran.
"Gak apa -apa Bun. Rain cuma apek aja mau istirahat," jela sRain berbohong.
"Gak ada yang di smebunyikan dari Bunda kan?" tuduh Reni pada Rain.
Rain menggeleng pelan dan samar.
"Gak ada Bun," jawab Rain lirih dengan nada penuh keraguan.
"Tapi sorot mata kamu bilang ada yang kamu sembunyikan Rain," tuduh Reni masih ragu pada kejujuran putrinya.
"Rain itu lelah Bun," jelas Rain yang langsung berdiri dan duduk di tepi ranjang.
"Mau tidur?" tanya Reni lagi. reni masih belum puas mendengar jawaban Rain yang ambigu.
Rain mengangguk cepat sambil memegang ponselnya.
"Ya udah. Kamu tidur dulu. Selamat tidur Rain," ucap Reni pelan.
Rain merebahkan tubuhnya dan Reni menyelimuti tubuh putrinya dan mengecup kening Rain dengan penuh kasih sayang.
Reni segera meninggalkan kamar tidur Rain dan turun ke bawah untuk menemui suaminya.
Hendi sudah menutup pintu rumahnya dan kini duudk di sofa ruang tengah.
"Rain mana?" tanya Hendi pada istrinya.
"Tidur Pa. Tamunya udah pulang?" tanya Reni lembut lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil sesuatu dari belakang.
"Udah. Mau piket katanya. Bun ... Laki -laki yang antar Rain pulang itu katanya anak pejabat," ucap Hendi terlihat bingung.
"Kata siapa? Minum kopinya Pa," titah Reni memberikan secangkir kopi untuk suaminya.
"Kata Doni ini. Tapi Doni lupa pejabatnya siapa," jelas Hendi lagi.
"Yaelah Pa. Kenapa jadi murung gitu. Ya udah sih. Masalahnya juga udah selesai," titah Reni pada suaminya.
"Bukan gitu Bun. Tadi kan Papa sempat bentak -bentak laki -laki itu. Takutnya tidak terima," jelas Hendi sedikit panik.
"Makanya lain kali terima tamu tu yang baik, Pa. Papa sih, negatif thinking terus," jelas Reni yang kini membuka toples kue kering dan mulai menikmatinya.
Hendi terdiam dan beruhaa melupakan kejadian sejak siang hingga malam ini.
Di dalam kamar, Rain membaca pesan singkat yang masuk ke aplikasi WA.
"Malam Hujan ..."
Senyum Dika mengembang saat melihat pesannya yang sudah terentang dua pun mulai menyala biru. Itu tandanya, pesannya di baca oleh si pemilik nomor. Terlihat online dan mengetik. Tak lama balasan chat itu muncul. Dika semakin bahagia. Persis seperti ABG yang kasmaran.
"Malam Gaje ..."
Rain terlihat malas menanggapi. Hanya saja Rain penasaran. Kemarin IG -nya ada yang ngepoin dan beberapa kontennya di like tanpa di komentari. Sekarang mendapat pesan rahasia.
"Kok Gaje sih? ya udah gak apa -apa. Asal kamu senang, aku ikut senang. Sudah makan? Sudah minum obat?"
Dika mengirim pesan selanjutnya untuk mengetahui kabar Rain saat ini.
"Oh ... Ini Om Gaje ya?"
Rain segera menutup ponslenya dan mematikan lampu tidurnya lalu memejamkan kedua matanya.
Hari ini sungguh sangat melelahkan sekali.