P.O.S II

2157 Kata
"If anyone feels the most suffering in the world, maybe he should meet me once in a while. I'll show you how to really suffer"- Shereen Senja A -Prince of Sivillia- Kondisi kesehatan Shereen tidak bisa dikatakan baik, semakin hari gadis itu terlihat semakin lemah dan pucat, tapi keadaannya yang lemah selalu tertutup oleh senyuman manis itu. Pagi ini, weekend. Dia punya jadwal check up dirumah sakit, Kinan dengan senang hati mengantarkan sahabat satu-satunya itu. Kadang, Kinan juga khawatir akan kondisi kesehatan Shereen, tapi dia tidak tau penyakit apa yang tengah bersarang di tubuh sahabatnya, Shereen mengunci mulut rapat-rapat dan tidak mau memberitahukannya kepada Kinan. Keluar dengan kaos yang dilapisi sweater coklat, Shereen segera masuk ke dalam mobil yang sudah menunggunya sejak 10 menit lalu. Kinan menyambut Shereen dengan senyuman, meski dengan wajahnya yang pucat Shereen tetap saja terlihat cantik. Wajah polos itu menyimpan banyak pesona.  "Udah?" tanya Kinan, Shereen mengangguk, jemari lentiknya sibuk mengaitkan sabuk pengaman. "Nanti aku temenin atau tinggal aja, Re?" pertanyaan itu meluncur dari mulut Kinan bersamaan dengan mobil yang mulai bergerak maju. "Emangnya kamu mau nemenin aku?" tanya Shereen seraya melirik sahabatnya dengan ekor mata. "Mau dong, masa nggak mau sih" "Boleh deh temenin, tapi di luar aja ya, nggak usah ikut masuk" jawab Shereen, nyengir lebar. Biasanya Shereen hanya ingin diantar lantas pulang sendiri, tapi hari ini entah kenapa dia ingin ditemani oleh Kinan meski hanya diluar ruangan. Shereen tidak pernah mengizinkan Kinan untuk ikut masuk ke dalam ruang check up. "Kebiasaan kamu tuh ya" Perjalanan mereka hanya diisi oleh suara musik, Kinan fokus menyetir sementara Shereen menikmati jalanan kota yang berpolusi. Mereka berdua bersahabat sudah cukup lama, mungkin saat MOS diadakan. Waktu itu Kinan dan Shereen sama-sama terlambat datang, lantas Kinan mengajak Shereen untuk lewat jalan pintas saat upacara pembukaan MOS selesai agar mereka bisa bergabung dengan kelompok tanpa diketahui oleh kakak osis. Cara itu nyatanya berhasil, dan sejak saat itu mereka berdua menjadi teman. "Re, aku mau tanya sesuatu sama kamu. Kenapa sih aku nggak boleh ikut kamu masuk pas check up?" mendapat pertanyaan seperti itu Shereen spontan menoleh, "Akhir-akhir ini kamu juga sering izin tiap pelajaran olahraga, memangnya tubuh kamu selemah itu ya?" Ada alasan kenapa Shereen tidak memberitahukan tentang penyakitnya ke Kinan karena dia tidak ingin Kinan cemas, selain itu kalau Kinan tau pasti dia akan mengusahakan segala cara agar Shereen segera menjalani pengobatan yang lebih intensif. Sementara dia tidak punya banyak biaya untuk melakukan serangkaian pengobatan, bisa rutin check up saja Shereen sudah bersyukur.  Shereen sekolah mengandalkan beasiswa, bunda mewariskan sebuah rumah dan sejumlah uang untuk Shereen. Sementara itu dia tidak punya ayah. Karena sedari lahir hanya bunda yang merawatnya sampai Shereen berumur 8 tahun. Setelah itu bunda meninggal dan Shereen harus hidup sebatang kara. "Shereen!" panggilan Kinan membuat lamunan gadis itu buyar. "Nggak pa-pa, aku cuma nggak pengen kamu tau seberapa lemahnya tubuhku. Jadi, lebih baik kamu nunggu diluar, lagipula aku baik-baik aja kok. Emang akhir-akhir ini sering kecapekan, mungkin karena aku lebih banyak lembur kerja kali ya" "Secapek itu ya, Re, memangnya?" Shereen hanya mengangguk sebagai jawaban. Kinan punya kehidupan yang lebih beruntung dibanding Shereen. Kedua orang tua lengkap, mereka juga bekerja, singkat kata kehidupan Kinan sudah terjamin banget. Tapi keluarga Kinan sangat baik terhadap Shereen, bahkan mereka dulu sempat menawarkan agar Shereen tinggal bersama mereka saja dari pada tinggal dirumah sendirian. Gadis itu menolak, dia tidak ingin merepotkan keluarga Kinan. Kendaraan roda empat itu berhenti dilampu merah, Kinan menoleh.  "Si Reyhan masih gangguin kamu nggak?" tanya dia, penasaran. Gadis cantik berhidung mungil itu tersenyum tipis lantas menggeleng, "Beberapa hari ini dia nggak hubungin aku. Nggak tau deh, mungkin udah nyerah buat minta maaf. Lagian, bukannya lebih baik begitu ya?" Kinan menggaruk rambutnya, mengangguk dengan ragu. "Ya iya juga sih, tapi kayak aneh aja gitu. Kamu pernah curiga nggak sih kenapa Reyhan sering bolos sekolah tapi gak di keluarin?" "Nggak pernah. Lagian, kamu tumben banget bahas Reyhan" Lampu menyala hijau, Kinan menginjak gasnya. Mobil brio putih itu kembali berjalan. "Cuma penasaran aja" "Penasaran apa penasaran nih???" Shereen mulai menggoda Kinan. Pertanyaan itu sukses membuat Kinan gelagapan, Shereen yang melihat kebingungan Kinan hanya terkekeh. Dari dulu sampai sekarang setahu Shereen, Kinan itu teramat sangat membenci Reyhan. Kebencian Kinan memuncak saat Shereen terluka dan masuk rumah sakit karena ulah Reyhan.  Saat itu, cowok titisan setan tersebut bahkan tak meminta maaf ataupun menjenguk Shereen di rumah sakit, justru dia malah menghilang. "Apaan sih, Re. Lagian kamu tau sendiri kalo aku benci banget sama Reyhan" "Kebanyakan orang tuh, hate being love loh, Kin. Awas aja--" "Heh! Aku nggak mungkin jatuh cinta sama dia ya!" "Oh ya? Aku kok ragu ya?" Shereen tergelak hanya dengan melihat raut wajah Kinan dan pipinya yang mulai memerah. "Udah-udah, kamu makin lama makin ngeselin tau nggak" Banyak yang mengakui kalau pesona Reyhan itu bagaikan malaikat, dari segi visual tidak ada cacat sedikitpun. Wajahnya begitu sempurna dengan hidung mancung, kulit putih bersih, bibir tebal serta tatapan yang tajam. Tidak akan bisa ada yang menolak pesona Reyhan, siapapun pasti akan langsung jatuh terpikat pada pandangan pertama.  Reyhan itu anak pindahan yang masuk setahun yang lalu, dari pertama kali masuk saja sudah banyak yang menyukai cowok itu. Termasuk Shereen ini. Tapi sayang sekali, dari banyaknya gadis yang mendekat, Reyhan terlihat tidak tertarik menjalin hubungan dengan siapapun. Setahu Shereen yang pernah stalking dulu, Reyhan juga tidak punya banyak teman. Selain dia suka menyendiri, Reyhan terkenal sering membolos bahkan sampai berminggu-minggu lamanya. Entah apa yang dilakukan Reyhan sampai pihak sekolah tidak ambil sikap sama sekali. Bahkan mereka terkesan tak acuh pada perilaku cowok itu. Brio putih memasuki area parkiran, setelah mobil terparkir rapi kedua gadis itu turun. "Udah bikin janji kan sama dokter Andi?" tanya Kinan, Shereen mengangguk. Dokter Andi adalah dokter yang menangani Shereen, pria berusia 52 tahun itu masih tetap terlihat muda di usianya yang sudah memasuki kepala lima. Kebetulan anak Dokter Andi juga sekolah di SMA yang sama dengan Shereen. "Kamu tunggu disini aja ya, aku nggak lama kok" "Sekali aja kenapa sih, Re. Aku juga pengen lihat kamu ngapain aja di dalam ruangan" "Jangan, nanti kamu nangis pas lihat banyak jarum suntik yang dipasang di badanku" Kinan memasang mulut bebeknya, mau tak mau dia mengangguk, mengalah. Shereen masuk sementara dia akan menunggu di depan ruangan. Kalau bosan biasanya Shereen pergi ke kantin rumah sakit untuk membeli beberapa cemilan. -Prince of Sivillia- Shereen menjatuhkan tubuhnya di sofa, Kinan langsung pulang setelah mengantarkannya sampai dirumah dengan selamat. Kata-kata dokter Andi masih berputar di benak gadis itu.  "Shereen, semakin kamu memaksa maka kondisi kamu akan semakin parah, kamu tau apa akibatnya kan?" Shereen tau, tentu saja dia paham akan maksud ucapan Dokter Andi, jemari lentik itu merogoh kedalam tas, mencari hasil laporan medis dari Dokter Andi.  Netra almond itu menatap selembar kertas, tak lama tetes demi tetes air mata Shereen jatuh mengenai kertas yang ada di tangannya. Di rumah sepi siang itu, Shereen terisak dalam diam.  "Bunda, tuhan sayang banget kan sama aku. Buktinya, Tuhan kasih sesuatu yang bikin aku kesakitan apalagi disaat aku pengen ngeluh, aku nggak bisa karena ingat janjiku sama Bunda."  Shereen hidup dengan sisa-sisa ketegarannya, dia harus bertahan dengan rasa sakit yang setiap malam kerap membuatnya terjaga. Dia hanya bisa berdoa, agar tuhan mempertemukan dia dengan sang ayah sebelum menjemputnya. Harapan untuk sembuh, Shereen tidak punya. Ponsel yang ada di saku Shereen bergetar, bu bos. Wanita galak itu mengirimi nya pesan agar segera berangkat kerja kalau tidak ingin terlambat lagi. Shereen menghela nafas, lantas mengusap air mata yang terasa dingin. Dia melangkahkan kaki menuju kamar untuk berganti pakaian sekaligus mencuci muka agar tampak sedikit lebih fresh. Hati Shereen sakit, bahkan disaat dia ingin bernafas sebentar saja, tuntutan kehidupan tidak memberikannya kesempatan. Kalau kalian jadi Shereen, akankah kalian kuat? Kalau iya, beritahu Shereen alasan kenapa kalian masih kuat menjalani hidup seberat ini.  Tidak punya orang tua, harus sekolah mengandalkan beasiswa, bekerja untuk makan dan biaya pengobatannya, belum lagi penyakit yang ia derita semakin lama semakin menggerogoti tubuhnya dengan begitu ganas. Adakan manusia sekuat Shereen didunia ini? -Prince of Sivillia- Nafas Shereen terengah-engah, pelanggan restoran meledak hari ini. Dia dan beberapa pelayan serta koki di pantry sampai dibuat kuwalahan akan pesanan yang terus saja berdatangan. Bahkan gadis yang saat ini menggelung rambut hitamnya itu tak sempat minum, makan dan minum obat. Dia tak ingin dimarahi lagi oleh bu bos. Setelah semua nampan di meja pantry kosong barulah Shereen bisa menistirahatkan badannya sejenak, dia benar-benar lelah dan butuh istirahat sekarang.  "Shereen" Panggilan itu seperti suara malaikat yang siap mencabut nyawanya kapan saja, Shereen menoleh dan mendapati Mbak Rani tersenyum kearahnya, "Masih ada satu pesanan terakhir yang belum kamu antarkan" Mbak Rani kembali masuk ke dalam pantry, Shereen meniup poninya lelah.  Tak ada pilihan lain, dia harus mengantarkan pesanan itu lagi. Dia mengusap peluh yang membasahi keningnya dengan tisu, lantas meraih nampan berisi makanan itu. Langkah yang semula berat kini semakin berat saat tau meja siapa yang hendak ia sambangi, jantung Shereen berdisko di dalam sana. Entahlah, dia tidak bisa mengendalikan diri. Hanya dengan menatap sosoknya saja, Shereen merasa bahwa dia benar-benar akan jatuh cinta. "Silahkan" Shereen memindahkan makanan yang ada di nampan ke atas meja, aroma parfum yang sosok itu pakai menguar masuk ke indra penciuman Shereen. Wangi nya manly banget. Shereen segera menegaknya tubuhnya kembali, setelah itu dia mundur teratur. "Huuhhhh" Shereen memegang dadanya yang berdebar tak karuan, dia juga mengipasi wajahnya menggunakan kedua tangan. Panas karena barusan dia bertemu dengan pengunjung itu lagi. "Mbak" panggil Shereen seperti desisan ular, mbak Rani yang tengah mencicipi masakannya menoleh. "Apa?" Shereen menarik lengan mbak Rani, mereka berdua mengintip dari celah jendela. "Tau nggak siapa pengunjung yang duduk di pojokan sana?" gumam Shereen sembari menunjuk ke arah pelanggan restoran yang tengah menikmati makanannya. Mbak Rani menyipitkan mata, lantas menggeleng, "Lah, mbak malah baru tau kalau ada pengunjung secakep itu. Eh, tapi kenapa kamu tanya begitu? Kamu suka sama dia?" mbak Rani menutup mulutnya. "Astaga, jadi dia yang kamu pikirkan kemarin?? Waduh, Re, berat-berat" Mbak Rani berjalan ke arah masakannya lagi, sementara Shereen membuntuti di belakang. "Ya gimana dong mbak, barang bagus nggak boleh di sia-siain kan?" "Iya sih, tapi kamu juga sadar diri dong, Re. Kamu cuma pelayan restoran, nah dia dari pakaiannya aja udah beda kasta sama kamu" Tamparan keras dari mbak Rani menyadarkan Shereen akan posisinya. "Sekedar mengagumi tuh boleh, Re. Tapi kalau kamu udah ke tahap suka dan jatuh cinta, itu yang bahaya" mbak Rani mematikan kompornya, dia memutar tubuh menghadap Shereen. "Lagipula, dia perfecto sementara kamu potato, beda jauh!" "Ish! Mbak Rani ngatain aku kentang??" Mbak Rani justru terkekeh, "Udah ah, sana balik kerja" Tak terasa waktu cepat berlalu, satu persatu pelanggan mulai meninggalkan mejanya masing-masing hingga ruangan itu bersih pengunjung. Kini tugas pelayan untuk membersihkan meja-meja yang kotor, Shereen meski capek terus bergerak gesit mengesampingkan rasa lelahnya, apalagi kepala gadis itu mulai berdenyut sakit. Seakan perkataan dokter Andi tadi siang tidak dihiraukan oleh Shereen sama sekali. "Lagi lihat apaan sih, mbak?" Mbak Rani kaget, dia menoleh dan mendapati Cindy teman kerjanya tengah bertanya, wanita berusia 25 tahun itu menggeleng, tangannya kembali mengelap meja pantry yang kotor. "Nggak, aku cuma kagum aja sama Shereen, dia kerjanya bersih dan gesit. Tapi kadang kasihan juga kalau dimarahi sama bu bos" "Wah, ternyata kita sepemikiran, Mbak. Dia hebat tau, nggak ngeluh sama sekali. Aku baru lihat sekali ini ada orang yang nggak pernah mengeluh dan selalu senyum, seakan nggak ada beban yang ia tanggung" "Justru orang-orang yang selalu tersenyum itulah yang punya banyak beban, Cin. Dia menutupi semua kesedihan dan rasa sakitnya dari dunia" Cindy mengangguk, jemari lentiknya menyambar kain serbet, "Aku bantuin dia dulu deh, biar cepet kelar, kasihan" "Hm, gih pergi sana" Dengan bantuan Cindy, pekerjaan Shereen jadi lebih ringan dan cepat selesai. Tepat pukul sebelas malam gadis itu keluar dari kamar mandi dengan tas yang sudah menyangkut di salah satu bahunya, tersenyum menyapa ke arah senior-senior yang masih berbincang di rest room.  "Mbak, aku pulang duluan ya" pamit Shereen, tak lupa sembari nyengir lebar. Mbak Rani mencegah langkah kaki Shereen yang hendak beranjak, tangannya menyambar kotak styrofoam yang sengaja sudah disediakan untuk Shereen karena gadis itu tidak ikut makan malam ini. "Bentar, Re" Shereen menunggu Mbak Rani. "Nih, tadi kamu nggak ikut makan. Jangan lupa istirahat ya" "Iya, Mbak. Makasih ya, Shereen pulang dulu, daaah" Seperti biasa, dia harus buru-buru sampai di halte kalau tidak ingin tertinggal bus. Tapi malam ini sepertinya Shereen akan bernasib sial. Kondisi badan yang lelah, ditambah belum makan plus minum obat adalah kombinasi yang pas untuk membuat tubuh Shereen seakan di timpa puluhan ton bebatuan.  Langkah kaki gadis itu perlahan melambat, satu tangannya dia gunakan untuk memegangi kepala yang mulai berputar-putar. Cairan kental itu kembali mengalir, Shereen menyekanya dengan punggung tangan. Melihat kondisinya saat ini, dia ingin menangis dan mengeluh, tapi kepalanya sakit dan berat, Shereen meringis, nasi kotaknya meluncur mulus di aspal. "Aku mohon, jangan sekarang.." Bruk! Darah terus mengalir dari hidung gadis itu, dia pingsan. Seseorang, segera tolong Shereen atau dia akan bertemu sang Bunda besok pagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN