POV Luna
Keesokannya, pagi pagi sekali aku sudah siap siap karna pak Satya malam tadi sudah memberikan aku jadwal pertemuan dengan klien. Ia menjemputku di depan kamar hotel. Hari ini kami harus menemui klien di rumah sakit. Hanya Sedikit polesan bedak tipis dan lipstik yang tak terlalu mencolok di wajahku, ku sampirkan mantel musim dingin yang dibelikan sepupuku yang pernah tinggal di luar negri. Pak Satya memindaiku dari atas sampai bawah dan tersenyum.
" Cantik " pujinya seraya berlalu. Ku ikuti langkahnya. Ia membukakan pintu mobil dan ternyata ia sendiri yang mengendarai.
" Bohong, kalau wanita secantik kamu belum punya pacar " ujar pak Satya setelah beberapa saat kami diam. Aku menoleh dan mengungkai senyum. Jujur aku merasa tersipu dengan pujiannya tadi.
" Saya nggak kepikiran punya pacar pak " tanggapku sekenanya. Pak Satya ikutan tersenyum.
" Kepikiran punya suami ? " tanyanya membuatku tersudut, batin menjawab sendiri. Saya sudah menikah pak. Ku jawab kembali dengan senyuman. Setelah itu kami saling diam lagi.
" Keputusan cerai saya baru keluar " beritahunya tanpa aku menyinggung hal sensitif itu. Aku menoleh dan memindai wajah sedih di sampingku.
" Saya turut bersedih pak " ucapku, meraba raba apakah ini sopan untuk disampaikan.
" Saya tak bersedih karena ini Luna, saya justru merasa lega karna selama pernikahan. Kami hanya saling menyiksa satu sama lain "
Aku tak bicara lagi dan pak Satya seperti sibuk dengan pikirannya. Kami sampai di rumah sakit, cuaca yang sangat dingin membuat tubuhku rasanya menggigil. Pak satya membuka satu lapisan jaketnya dan menyampirkan ke badanku sambil tersenyum.
" Saya takut kamu sakit " ujarnya yang membuatku tertegun. Tatapan mata itu tak seperti tatapan atasan pada karyawan lagi atau aku hanya baperan saja. Aku menjejeri langkah pak Satya, ia sepertinya sudah tahu ruang mana yang akan ia tuju. Langkahku tertegun melihat sesosok yang sangat ku hafal bentuk punggung dan cepak mekar itu. Ia sedang mendorong kursi roda dimana seorang perempuan cantik sedang duduk di sana. Oh..jadi ini yang dia maksud maksud perjalanan bisnis.
Whatever ! toh kami sudah sepakat kalau pernikahan ini hanya untuk orangtua bukan untuk aku dan dia. Bagaimana bicara cinta kalau setiap bertemu kami selalu adu mulut. Dia laki-laki yang tak mau kalah yang pernah ku kenal. Sejak dulu, ia selalu berusaha menjatuhkan setiap argumenku.
Tapi kenapa hatiku tiba tiba merasa sendu, nggak nggak mungkin...nggak mungkin aku merasakan sesuatu pada Devan, Jelas jelas aku benci dia. Sejak SMA lagi.
" Luna ! " panggil pak Satya, aku masih terpaku di tempatku berdiri, memandang laki-laki itu menghilang di balik sebuah lorong.
" Eh..ya pak " ucaku tergagap. Aku menetralkan suasana hatiku, yang entah apalah namanya ini. Mungkin karena kami menikah, rasanya tidak fair jika ia ada main di belakangku meski pernikahan ini cuma sandiwara.
" Mari, disana ruangannya " pak Satya menunjuk sebuah ruangan. Ku siapkan note yang sudah ku sediakan dalam tas.
Kami masuk ke dalam sebuah ruang rawat inap VIP. Ternyata klien kami adalah seorang pengusaha asal Indonesia tapi sudah lama menetap di Inggris. Ia meminta firma hukum pak Satya untuk mengurus aset aset yang masih ada di Indonesia. Ia sudah bercerai dengan istri pertamanya lalu menikah lagi dan dikaruniai seorang anak yang sekarang tinggal di Indonesia. Ia ingin memberikan sebagian hartanya untuk sang anak, tapi terhalang oleh kehendak istri pertamanya.
Setelah berbincang dengan klien, kamipun keluar. Aku kembali terkejut melihat, kunyuk itu ada di depan taman bersama Mistressnya. Ku rapatkan tubuhku ke samping pak Satya agar Devan tidak melihatku, awalnya pak Satya kaget tapi sepertinya ia tak keberatan kepalaku bersandar di bahunya.
" Excuse me Miss ? is it yours ? " seseorang menegurku. Noteku terjatuh. Aku menoleh bersamaan dengan Devan juga menoleh kepadaku, pas kedua netra kami saling bertemu. Ada raut terkejut di wajahnya. Matanya menyipit melihatku dan pak Satya bergantian. Ia tak mendekati karna perempuan di atas kursi roda mengajaknya bicara.
" Ayo Lun, sebentar lagi jam makan siang " ajak pak Satya lembut. Dia pasti dengar itu. Aku hanya menjawab dengan anggukan. Ku lihat Devan bicara dengan perempuan itu lalu mereka beranjak ke dalam ruangan.
Aku pun berlalu bersama pak Satya menuju parkiran. Pak Satya mengajakku makan siang di sebuah restoran mewah. Aku merasa tersanjung dnegan sikap pak Satya kali ini, tapi ada rasa kuatir juga karna statusku sekarang bukan single, aku adalah istri orang.
Istri dari seseorang yang punya simpanan, aneh bukan. Kami sama sama mengkhianati lembaga pernikahan.
Sore hari sesampai di hotel, hpku berdering. Ku lihat nama suamiku tertera di layar. Enggan rasanya mengangkatnya, pasti cekcok lagi.
" Ya..." jawabku pendek.
" Aku ada di lobi " jelasnya ringkas.
" Truss...." tanggapku seolah olah nggak paham apa yang dia mau.
" Turun ! "
" Mau ngapain ? "
" Aku suamimu Luna ! aku mau bicara " nadanya terdengar ketus. Aku mendengus, masih pengantin baru nggak ada manis manisnya.
" Tunggu, aku ganti baju dulu "
" Nggak usah, apapun yang kamu pakai, bagiku kamu tetap cantik " Ya ampun masih sempat juga nyelipin pujian palsu.
Aku bergegas turun dan menemukannya duduk di sofa lobi hotel sambil membaca koran. Satu kaki naik diatas kaki lain, ia memakai sweater warna biru. Rambutnya sedikit basah di poni. Mungkin terkena salju. Tidak mau munafik, aku juga terpesona dengan ketampanannya. Makanya ia seperti memanfaatkan kelebihannya untuk memanfaatkan cewek cewek yang baperan di sekolah kecuali aku.
" Aku mau kamu berhenti bekerja ! " belum sempat aku mendaratkan b****g, ia sudah memberi titah yang membuat aku kembali berdiri.
" Apaan sih, kok gitu ? Kamu tau kan dari dulu, ini profesi yang aku inginkan "
" Iya itu dulu sebelum kamu punya suami, kalau kamu butuh uang, ini kamu bisa beli apa yang kamu mau asal berhenti bekerja " ia menyerahkan kartu Platinumnya ke tanganku. Semua wanita pasti berbinar jika diberikan kartu itu. Ku henyakkan panggul dengan kasar ke sofa. Aku menatapnya tak senang sambil menyingkirkan tangannya. Hidupku tak bisa dibelinya.
" Apa kita tidak bisa bicara baik baik tentang ini Dev ? aku tahu sekarang kamu suamiku, tapi jangan main perintah seenaknya " ucapku dengan suara berat seperti hendak menangis, aku tidak suka dibentak bentak, apalagi ingat bagaimana ia bicara begitu lembut dengan wanita di atas kursi roda.
Ia terdiam, lalu melempar pandangan. Beberapa saat ia terdengar menghela nafasnya, seperti sedang mengatur emosi.
" Maaf " ucapnya setelah bisa menguasai emosi. Entahlah kenapa ia begitu emosi menemuiku setelah pertemuan di rumah sakit itu. Harusnya aku yang marah marah, siapa perempuan yang ia bersamai selama ini selain aku istrinya.
" Aku mau istirahat dulu " ucapku sambil berdiri, berniat hendak pergi dari hadapannya yang merusak moodku saja. Ia menahan tanganku.
" Mau di ajak kemana ? Besok aku punya banyak waktu " tanyanya lembut. Ku jawab dengan gelengan.
" Please, aku salah. Maaf " ucapnya dengan nada merendah. Aku kembali duduk dan menatapnya dengan cemberut.
" Aku mau buat orang orangan salju " ucapku tanpa melihatnya. Ia mengelus rambutku.
" Besok tunggu aku di sini, Winda, Rana Rani sedang ada di sini " mendengar nama sahabat sahabatku disebutnya, aku kembali sumringah.
" Benaran ? Yeaaa !..." jeritku persis prilaku ciwi ciwi remaja.
" Thanks Honey " ucapku, sikapku sudah tak terkendali, tiba tiba aku mencium pipinya lalu beranjak dari tempat duduk dan melambaikan tangan. Ketika aku menoleh, aku melihat ia meraba pipi bekas ku cium tadi. Ku tepuk jidatku, Ya ampun aku kebablasan. Aku menepuk nepuk bibirku hingga sampai pintu kamar hotel.