Petang ini, Silvia berkutat dengan segala deadline laporan liputannya. Mejanya sangat berantakan, kertas HVS berhamburan di sana sini. Rambut sebahunya sudah terikat tak rapi. Kamera DSLR-nya tergeletak mengenaskan di belakang laptop. Sesekali gadis berambut sebahu itu menyeruput mochacino dinginnya untuk memberi energi pada tubuhnya yang tinggal dua puluh persen.
“Ya Allah, mati gue kalo kagak kelar sore ini!!!” seru Silvia seraya menarik pelan rambut depannya.
“Etdah, kenapa lagi lo?” tanya Krisna, teman wartawannya yang lain.
Gadis itu tak menggubris pertanyaan temannya itu. Dia masih tetap menekuni pekerjaannya. Pesawat telepon yang menempel di dinding kubikelnya berdering nyaring, membuat Silvia terlonjak kaget. Tak lama ponselnya ikut melantunkan ringtone Secret Love Song-nya Little Mix, membuat Silvia lebih kaget lagi.
“Mati gue, matiii...”
Krisna ikut terkejut, menatap bengong tingkah Silvia yang hanya berdiri kemudian duduk kemudian duduk lagi. Dengan gemetar Silvia menerima panggilan telepon di ponselnya, yang dia yakin adalah editornya di sebuah media berita daring.
“Eh Silvia, saya ini mau pulang. Saya nggak mau ya kalau cuma disuruh nungguin hasil wawancara nggak jelas kamu!!!” hardik editornya itu lalu panggilan telepon diputus sepihak.
Seminggu yang lalu Silvia menjanjikan akan membawa sebuah berita untuk dijadikan tajuk berita besok pagi, terkait isu kerusuhan demo massal akhir tahun 2016 yang lalu pada sebuah media berita daring berbasis politik. Silvia mengatakan pada editornya telah menemukan narasumber yang dapat membeberkan siapa dalang dibalik demo tersebut. Namun, Silvia baru bisa menemui narasumber yang ia maksud tadi pagi. Setelah sesi interview dengan narasumber tersebut selesai, Silvia harus ikut acara konferensi pers dengan beberapa pejabat terkait isu SARA yang sedang marak akhir-akhir ini. Karena itulah Silvia belum sempat mereview hasil wawancaranya. Dan sekarang kepala redaksinya ikut meneror Silvia meminta hasil konferensi pers dengan pejabat siang tadi. Membuat Silvia kelabakan, mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
Sudah setahun ini Silvia memang menjadi wartawan lepas di media daring tersebut. Dia ingin mencari uang tambahan untuk mengisi kantongnya yang tak bisa diajak kompromi saat akhir bulan. Sebagai adik yang baik, Silvia juga tidak ingin merepotkan abangnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jangan dikira hidup seorang wartawan itu makmur dan sejahtera, Bung. Mencari berita dan bertemu dengan narasumber sama susahnya dengan mencari pasangan hidup, harus jeli dan tepat sasaran. Butuh waktu banyak, tapi juga diburu waktu ketika harus berhadapan sama yang namanya deadline.
Andaikan ada tawaran menjadi pembaca berita di stasiun televisi tempatnya bernaung, dengan senang hati akan diterimanya. Silvia menyesal kenapa dulu tawaran dari kepala redaksi acara berita dia tolak dengan alasan masih nyaman dengan pekerjaannya saat itu. Kini Silvia akhirnya merasa terjebak dalam zona nyamannya sendiri dan kepala redaksinya itu sudah berpindah divisi, tidak lagi berkecimpung di dunia berita.
Setelah menekan tombol enter di laptopnya dan semua hasil wawancaranya terkirim. Silvia menyandarkan punggung di sandaran kursinya. Pikirannya sudah lelah dan raganya tak kalah payah hari ini.
“Sinting gue lama-lama.”
“Kenapa lagi lo? Koran tua itu nagih janji lo lagi?”
Silvia mengangguk lemas sebagai jawaban atas pertanyaan Hardi, salah seorang kameraman di kantornya yang ikut menemani Silvia selain Krisna.
Istilah koran tua yang dimaksud Hardi adalah sebutan untuk Hesti, kepala redaksi acara News Break di TvM. Semua penghuni kantor menyebutnya koran tua karena memang usianya yang sudah berumur dan belum pernah menikah meski usianya sudah memasuki angka 40, hingga menjadi orang paling senior di dunia jurnalistik yang dimiliki oleh TvM.
“Lo-nya juga nyari gara-gara.”
“Kok gue sih? Gadanta deh lo,” Silvia sebal karena disalahkan di saat kondisinya sedang tak ingin berkompromi atas ucapan tak mengenakkan dalam bentuk apa pun.
“Makanya Via, nyari berita yang mainstream aja deh, nggak usah sok-sokan cari berita yang ekstrem.”
“Berita mainstream duitnya dikit, Har. Kapan gue dapet promosi kalau berita sampah mulu yang gue bawa? Bosen juga lama-lama jadi jongos mulu.”
“Ya tapi realitanya, elu tiap hari gaul ama pejabat tapi status jongos masih setia aja nempel dijidat lo tuh.”
“Anjiiir... Hardiansyah, kata-kata lo itu rasanya bikin gue lebih ngenes dari jones tau nggak. Mana Abang gue udah nanyain promosi gue mulu tiap hari, pertanyaannya bikin perut gue nyeri, lebih nyeri dari PMS, masbroh.”
Hardi tertawa seraya meninggalkan Silvia yang sedang merapikan mejanya dibumbui aktivitas ngedumel sepanjang rel kereta api. Akhirnya dia bisa pulang tanpa membawa beban pekerjaan seperti yang terjadi setiap malam sebelumnya.
“Bukannya lo mestinya udah dapat promosi tahun kemarin ya, Via?” tanya Hardi menghentikan langkah dan memutar tubuhnya menghadap Silvia kembali.
“Nggak tau deh, Har. Gue juga heran. Gue lupa-lupa ingat udah pernah dapat promosi atau belum ya tahun kemarin.”
“Seharusnya sih udah, Via. Coba lo tanya pak Romi lagi.”
Silvia mengangguk dan membalas lambaian tangan Hardi yang kali ini benar-benar pamit dari hadapannya. Sepeninggal Hardi, Silvia mencoba mengingat soal promosi yang disebutkan oleh Hardi tadi. Namun pikirannya tak bisa berkompromi malam ini. Dia tak mampu mengingat apa pun hal yang berkaitan dengan promosi yang harusnya dia dapatkan tahun lalu.
“Baru pulang mbak Silvia?” sapa salah seorang petugas keamanan yang kebagian shift jaga malam.
“Iya pak. Dikejar deadline nih. Mending dikejar cowok cakep, bisa dijadiin gebetan,” canda Silvia, lalu tertawa kecil.
“Bisa wae mbaknya. Ngarep banget kayaknya dikejar cowok malem malem, mbak?”
Silvia tertawa lagi. “Bercanda, Pak. Saya duluan ya. Jaga gedung dengan baik, jangan sampek gedungnya digondol maling.”
“Memangnya motor bisa digondol maling?”
Silvia balas tertawa sambil membenahi ransel yang berada di pundaknya dan berjalan tergesa. I bergegas melangkahkan kaki menuju pintu keluar gedung. Petang ini, rasanya tubuh Silvia harus berteman baik dengan yang namanya lelah. Dia harus berjubelan dengan penumpang KRL. Rebutan kursi, didorong, dihimpit. Aaach, ingin sekali Silvia berkeluh kesah soal harinya yang entah kenapa terasa amat berat hari ini.
“Geraldy mana ya? Tumben dia nggak bingung gue gimana pulang kantornya pas dia lagi lembur? Biasanya dia lebih protektif ngalah-ngalahin bang Vino,” gerutu Silvia saat melangkah lesu keluar dari gerbong kereta.
Akhir-akhir ini Geraldy sedang mencoba jaga jarak dengan Silvia. Geraldy juga tidak lagi ngotot seperti biasa harus mengantar Silvia pulang hingga depan pagar rumah gadis itu. Geraldy dulu selalu rajin menghubungi Silvia, tapi sekarang tiba-tiba menjadi sangat jarang menghubungi.
Komunikasi keduanya makin hari makin renggang sejak Silvia menolak permintaan Geraldy yang entah sudah keberapa kalinya ingin segera diperkenalkan pada Alvino. Geraldy memang sedang memberi ruang dan waktu bagi Silvia untuk lebih mendalami makna hubungan mereka. Namun perubahan Geraldy yang sangat mendadak seperti itu diartikan lain oleh Silvia. Hal itu malah membuat Silvia jadi berpikir kalau kekasihnya itu tidak serius dalam memperjuangkan hubungan mereka.
Lalu hati kecil Silvia bertanya-tanya, untuk apa sekarang dia bertahan? Saat ini yang bisa Silvia lakukan hanya mengikuti arusnya saja. Dia tidak ingin memperkeruh suasana jika mengganggu Geraldy hanya demi memuaskan hatinya yang sedang meragu.
Dalam langkah pelannya menyusuri jalan perumahan yang tidak terlalu ramai, pikiran Silvia berpapasan dengan memori perjalanan cintanya dengan Geraldy. Dia menarik napas panjang tatkala mengingat bagaimana up and down hubungannya dengan Geraldy selama ini. Sebagai kekasih yang mengerti kesibukan kekasihnya, tidak banyak yang bisa Silvia tuntut dari Geraldy. Dia sendiri kerap menuntut Geraldy untuk selalu mengerti kesibukannya, jadi sekarang rasanya impas jika kali ini saja dia mengerti kesibukan Geraldy. Silvia hanya berharap Geraldy lebih sabar sedikit lagi soal abangnya. Ponsel Silvia berdering saat dirinya tengah melamun. Berharap Geraldy yang akan menghubunginya, ternyata bukan.
“Bang Dastan? Tumbenan,” gumamnya menyebutkan nama salah satu sahabat karib abangnya.
“Ya bang?” sapa Silvia setelah panggilan terhubung.
“Di mana lo?”
“Hampir deket rumah. Kenapa?”
“Gue mau minta tolong. Minggu depan ikut ke Jember ya. Perwakilan Alvin. Soalnya dia nggak bisa ikut di acara akad gue.”
“Haaah? Harus banget gue ya?”
“Iya lah harus elo. Adiknya Alvin kan cuma elo. Ya udah gitu aja. Urus deh cuti lo dari sekarang.”
“Bang, seriusan ini?”
“Apa gue kedengerannya lagi bercanda, Via? Gue juga udah bilang sama Alvin. Dia setuju-setuju aja.”
“Ta, tapi Bang ...”
Klik! Sambungan telepon dimatikan sepihak. Ingin rasanya Silvia melempar ponselnya ke atas lintasan rel kereta api dekat rumahnya. Ini sudah untuk yang kesekian kalinya Silvia dibuat dongkol gara-gara panggilan telepon yang diputus secara sepihak.
Di ruang tamu rumah yang Silvia tinggali dengan abangnya, dia menyambut kedatangan Alvino dengan wajah ditekuk. Dia sedang meluncurkan aksi protes pada abangnya.
“Muka apa cucian kotor itu? Kusut banget?” tegur Alvino saat melintasi ruang tengah rumahnya mendapati adik perempuannya sedang duduk bersedekap dan wajah cemberut.
“Bang Vino kenapa maen nyetujuin permintaan bang Dastan tanpa minta persetujuan dari Via? Bulan ini Via sibuk bang. Banyak deadline.” Silvia mulai menggerutu dan melampiaskan keluh kesah yang sebenarnya bukan karena persoalan permintaan sahabat abangnya itu yang jadi dasar alasan kemarahannya saat ini karena memang banyak hal yang bisa dia jadikan alasan untuk marah malam ini.
Alvino mengedikkan kedua bahunya acuh. “Ya gimana lagi, abang harus pulang ke Padang, Via,” ucapnya lalu masuk ke kamarnya.
“Trus kerjaan Via gimana, Bang?” keluh Silvia, berusaha mendapatkan keadilan dari Alvino yang memang jika sudah membuat keputusan tidak bisa diganggu gugat.
“Kamu itu bukan abang suruh berhenti kerja, Via. Bukan masalah yang mesti diributkan kan kayak gini kan?”
Jawaban Alvino membuat Silvia tidak lagi melancarkan aksi protesnya. Wajah gusar Alvino sejak tiba di rumah membuat dia iba. Gadis itu memilih masuk ke kamarnya tanpa bicara apa-apa. Percuma jika harus berurusan dengan mood Alvino yang sedang tidak baik. Apalagi apa yang sedang Silvia proteskan menyangkut sahabat baiknya. Kalah banyak Silvia.
Tubuhnya yang terasa amat lelah, malah membuat Silvia tidak bisa mudah terpejam. Iseng-iseng dia stalking akun i********: Andra. Ternyata Andra baru saja memposting sebuah foto tumpukan undangan pernikahan.
AndraGalvani alih profesi jadi kurir undangan.
View 20 all coments
RikyMong gpp cok, sekali2
AndraGalvani iyalah sekali.emang mbakku mau nikah berapa kali cok?
PeninggiBadanEkslusif sudah teruji kakak. Pakai produk peninggi badan dari kami dijamin tokcer.
AndraGalvani @PeninggiBadanEksklusif kalau sini pakai produk situ yang tokcer, apa ngga tambah kayak pohon pinang tinggi sini?
RikyMong gendeng koen @AndraGalvani ngapain juga kamu jawab komentar spam
AndraGalvani hahaha...gpp lah, kali aja DM nomor hape.
RikyMong wedus, dasar jones kowe.
FerySofyan malam kakak. Kami punya produk yang bisa bikin sukses move on. Mau? @AndraGalvani
RikyMong kasih tau aja kakak @FerySofyan. Kalau perlu ksh gratis.
DianNada terimakasih ya kak. Berkat produk dari kak @FerySofyan aku berhasil move on dari mantan 7th ku. Karena kita balikan. Hahahaha
RikyMong Di @DianNada nyari mati kamu bahas mantan.
DianNada aku rela mati demi mas @AndraGalvani bahagia
FerySofyan kamu rela mati demi @AndraGalvani bahagia. Trus km anggap aku apa?
DianNada cintaku terbagi dua, sayangku terbagi dua, ah ah ah
RikyMong suaramu fales mbakyu.
AndraGalvani sempak kabeh
RikyMong oooh sales mobil beralih jd sales sempak nih
FerySofyan kalau jualan mobil untungnya kurang, jualan peninggi badan aja Dra @AndraGalvani
DianNada super sekali saran anda @FerySofyan
FerySofyan karena nama lain saya Fery Teguh.
Silvia terbahak membaca kolom komentar di foto tersebut. Setelah melihat postingan foto, Silvia stalking postingan Andra yang lainnya. Entah kenapa jiwa keponya mendadak muncul malam ini. Biasanya jika tidak bisa tidur, yang dilakukan Silvia mantengin satu bahkan lebih dari dua forum internet. Lumayan, postingan Andra menjadi hiburan dikala letihnya, pikir Silvia.
Rasa ingin tahu yang tinggi membawa Silvia ke foto yang telah diunggah tiga hari lalu. Sebuah gambar secangkir kopi hitam dan sebuah okulele di sampingnya. Silvia lebih tertarik pada captionnya ketimbang fotonya.
AndraGalvani Kopiku tak lagi menunggu hujan, pagi sore kusedu, kubiasakan. Senja disore itu menghakimi rindu disisa-sisa gelas kopiku.
View 30 all coments
RikyMong raimu nggak pantes nulis puisi.
AndraGalvani bukan puisi itu cok. Itu kata hati.
RikyMong emang hati bisa ngomong? klo bisa ngomong knapa anda msh jomblo? Apa hati anda telah terpotek?
AndraGalvani sesama jomblo haram hukumnya saling bertanya soal alasan mengapa jomblo @RikyMong
DianNada rindu itu pasti untuk mantan 7 tahun km. Fine, cukup tau.
AndraGalvani alih profesi km? Dari polwan jadi dukun?
DianNada profesi apapun itu,aku akan selalu ada utk membantumu move on.
AndraGalvani terima kasih kakak. Sejak menggunakan krim malam dari @DianNada kini kulitku semakin putih seperti tembok abis dicat.
DianNada anda menikung pkerjaan sampingan saya @AndraGalvani
Silvia kembali tertawa. Tak lama sebuah ketukan terdengar di pintu kamarnya. Silvia menahan tawanya agar tak lepas seperti tadi. Dia lupa kalau hari sudah menjelang pukul sebelas malam. Malam ini Stalking akun i********: milik Andra dan membaca kolom komentar di setiap postingan foto maupun video di akun Andra, rupanya lebih menarik ketimbang stalking berita online bagi Silvia.
Kegiatan tadi membuat Silvia menjadi lebih penasaran akan sosok seorang Andra, terutama sindiran di kolom komentar yang hampir sebagian besar selalu membahas tentang mantan tujuh tahun Andra. Tak lupa Silvia memberi tanda hati di beberapa postingan foto yang menurutnya menarik. Silvia yakin, Andra pasti sosok yang menarik dan menyenangkan, tidak sejutek saat pertemuan mereka waktu itu. Silvia jadi mampu melupakan sejenak apakah berita yang dibikinnya susah payah tadi, sudah diposting atau belum di media berita daring tempat Silvia menjadi wartawan lepas oleh editornya.
Kalau dipikir-pikir lagi, misalnya Silvia ikut ke Jember dan menjadi pengiring pengantin, itu artinya dia pasti akan bertemu dengan Andra. Silvia tersenyum sendiri tanpa alasan. Memikirkan hal itu saja sudah mampu membuat Silvia melupakan rasa kesalnya pada Geraldy dan Alvino beberapa waktu lalu.
~~~
^vee^