Episode 4 : MR. Kompensasi dan Perawan Tua

2070 Kata
Episode 4 : MR. Kompensasi dan Perawan Tua *** “Kompensasi!” Kata tersebut terus terulang dari seorang Edward. Pria bertubuh bidang yang juga memiliki wajah rupawan dengan mata sipitnya yang terkadang menggemaskan itu sukses membuat orang-orang yang mengikuti ketar-ketir. “Klomplensasi? Maksudnya apa, toh? Kedengerannya kayak bahasa kuno pas zaman penjajahan para londo?” seorang pria berseragam proyek lengkap dengan helm yang menyertai, menyeringai kebingungan. “Udu(bukan); klomplensasi, Gus. Tapi komperasi! Apa komersasi, ya? Angel bahasane ih (susah bahasanya ih)!” Pria yang di sisinya membenarkan. Awalnya yakin, tapi setelah ia mengucapkan kata-kata andalan Edward selaku atasan mereka, si pria termasuk rekannya itu menjadi tidak yakin. Buk …! Kedua pria tadi menabrak punggung Danang, selaku mandor proyek mereka bernaung. Danang yang boleh dibilang sudah mendapatkan semprotan keras dari Edward yang tengah mereka ikuti mengecek keadaan proyek di sana. “Berisik, ih!” omel Danang sambil mendelik menatap anak buahnya. Danang refleks menghentikan langkahnya, lantaran kini, Edward yang mereka ikuti mendadak berhenti. Edward mengamati tembok yang belum dicat, di hadapan mereka dengan sangat saksama. “Sejak kapan tembok bergelombang, sedangkan biasanya, tembok itu rata?” tanya Edward dan kali ini sambil membenarkan kacamata bening yang selalu menyertai penampilannya. Kedua pria di belakang Danang langsung melongo tak percaya. Mereka turut menatap tembok yang Edward maksud dengan saksama. Memang, jika mereka tatap dengan jeli, tembok tersebut tidak rata dan agak bergelombang. Namun, apakah kasus sepele itu harus dipermasalahkan? Lantaran tak kunjung mendapatkan penjelasan, Edward melirik Danang penuh arti. Tatapan kecewa yang otomatis membuatnya berkata, “cepat bereskan jika kalian tidak mau membayar kompensasi.” Semenyebalkan itu memang Edward. Itu juga alasan semua orang membenci sekaligus takut kepada Edward yang begitu perfeksionis. Mengikuti cara kerja Edward, semuanya harus serba sempurna tanpa terkecuali cara kerja mereka yang tak boleh sampai menyia-nyiakan waktu maupun bahan pokok pekerjaan. Karena sekadar masalah ‘adukan’ campuran semen dan pasir saja, juga tak luput dari pemeriksaan Edward. “Ini semen sama pasirnya dijaga, ya. Gini-gini mahal lho, harganya. Kita pakai bahan-bahan premium. Belinya pakai uang, bukan daun!” celotek Edward sambil bersedekap. “Ayo … ayo. Semuanya semangat. Kerja yang semangat biar cepat beres dan kalian juga terima gaji jelas. Saya pastikan, jika kerja kalian semakin bagus, kalian akan naik gaji!” seru Edward lagi. Mendengar janji manis Edward, semuanya langsung tersenyum semringah. Tentu kenyataan tersebut beralasan mengingat yang mereka tahu dari danang, selain Edward yang mereka akui menyebalkan, pria tampan itu juga pelit dan sangat perhitungan jika menyangkut urusan uang. Dengan semringah, Danang yang awalnya sedang membantu membawa adukan semen dan pasir mendekati Edward. “Naik, gaji, Bos?” Dengan santainya, Edward mengangguk. “Iya. Naik gaji. Masing-masing dari kalian akan mendapatkan gaji tambahan.” “Berapa, Bos? Alhamdullilah … rezeki enggak ke mana!” sergah Danang tidak sabar. “Sepertinya dua ribu cukup. Ya sudah, yang semangat kerjanya!” balas Edward masih menanggapi dengan santai. Danang nyaris menjatuhkan kedua ember berisi adukan yang menghiasi kedua tangannya, andai saja ia tidak sayang nyawa. Sebab harga kompensasi yang harus ia bayar tentu jauh lebih besar dari kenaikan gaji yang Edward berikan. “Dua ribu? Ya Alloh, nih orang pelit banget, sih? Enggak takut dicekik setann gitu, punya harta lebih tapi pelit!” rutuk Danang dalam hatinya sembari meninggalkan Edward. Setelah memeriksa semua keadaan proyek dan letaknya masih jauh dari keramaian karena lahan di sekitar masih kosong dan hanya ada satu proyek lain di pengkolan depan, Edward yang masih berdiri di dekat adukan semen dan pasir, sambil mengamati bangunan proyek, tanpa terkecuali mengamati pekerja di sana, mendadak sesak napas sekaligus bersin-bersin, bengek. Di tengah kenyataannya yang masih berkecak pinggang, Edward mendadak panik. Tatapannya menyisir suasana sekitar dengan gelisah, seolah ada sesuatu yang begitu mengancam bahkan bisa merenggut nyawanya. Dengan cepat, tubuh Edward juga gemetaran bersama buih keringat dingin yang berjatuhan dari ujung kepalanya, ketika teriakan kemayu itu terdengar dan terus terulang. “Jamu … jamunya, Mas ….” “Huazim! Huazim!” Bersin Edward semakin parah seiring jarak wanita penjual jamu berpenampilan khas dan terbilang seksii itu kian mendekati Edward. Bahkan, Edward nyaris sekarat ketika melihat sosok penjual jamu tersebut yang boleh dibilang memang berpenampilan berani. Jarit yang menjadi bawahan kemben dimodif terbuka hingga sebagian paha terlihat, sedangkan bagian kemben juga sampai melihatkan belahan dadaanya. Sungguh, itu racun bahkan kematian bagi seorang Edward! “Mas … jamu, Mas …?” “Danaaaang! Sejak kapan kamu mengizinkan wanita memasuki kawasan sini!” teriak Edward yang buru-buru masuk ke sedan hitam miliknya dan kebetulan terparkir tak jauh dari sana. Danang yang paham situasi, mengenai bos besarnya yang alergi wanita dan bisa jadi matii hanya karena didekati wanita, kocar-kacir menggiring penjual jamu yang juga kebingungan mengamati keadaan Edward. “Itu ganteng-ganteng kok bengek, sih, Mas?” tanya si penjual jamu sambil menatap penasaran Edward yang berlindung di balik kemudi. “Aduh … sudah … sudah. Kan sudah dibilangin, hari ini jangan datang ke sini dulu!” Danang membawa paksa si penjual jamu. “Tapi aku ada obat anti bengek, lho, Mas.” “Tapi pak bos bengek bukan karena sakit, Neng.” “Bawaan dari orok, yah, maksudnya, Mas? Kalau gitu kasih kadal bakar atau kelelawar bakar saja, Mas! Ingat, kelelawarnya yang warna oren dan biasanya cuma ada di hari kliwon!” “Sttt … sttt … udah-udah!” Danang tak kuasa berkomentar lebih. Sebab tak mungkin juga ia menceritakan alasan Edward bisa langsung bengek bahkan nyaris mati hanya karena didekati wanita. Ya, satu hal yang menjadi kelemahan MR. Kompensasi mereka. Sebab jika kesempurnaan selalu menjadi hal yang menonjol dari seorang Edward, wanita justru menjadi maut bagi seorang Edward yang alergi wanita. Memang alergi aneh, tapi itu nyata. Edward mereka sungguh alergi wanita bahkan sekadar menghirup aroma wanita. Penciuman Edward sekaligus instingnya begitu tajam jika menyangkut wanita. **** Sementara itu, di kampung halaman tempatnya tinggal, langkah Embun mendadak terhenti atas gunjingan para warga yang sedang berkumpul di saung. Mereka yang sedang istirahat sambil menyantap bekal nyatanya tengah membicarakan Embun. “Eh, si Embun katanya gagal lamaran, ya?” “Eh, iya … itu si Rustam justru lamaran sama tetanggaku. Si Ayu itu! Kabarnya satu bulan lagi mereka nikahan!” “Ya ampun … padahal sudah masak-masak besar! Sudah woro-woro juga!” “Lah … jadi pasangan Embun kan memang berat, tanggungannya banyak. Pramana saja milih minggat!” “Nah, iya … kita sama-sama tahu, lah, ya. Hidup modal dengkul, kerja siang malam non-stop saja masih kurang. Apalagi kalau sampai harus menanggung beban seberat Embun? Bayangin, adik masih kecil-kecil ada empat. Ibunya sudah sakit-sakitan dan harus bolak-balik berobat. Buat makan sehari-hari saja masih kurang ….” Rasa lelah yang awalnya membuat Embun ingin segera beristirahat dan menyantap bekal yang dibawa, membuatnya tak berdaya. Di balik semak-semak galengan sawah yang nyaris Embun lalui, ia terduduk rapuh seiring air matanya yang luruh, menorehkan kesedian yang mati-matian ia sembunyikan. Berat, tak hanya anggapan mereka saja. Sebab Embun yang menjalaninya juga mengakui. Namun, mau bagaimana lagi? Jika Embun saja tega, siapa yang akan mengurus ibu dan adik-adiknya? Tentu Embun tidak sejahat itu. “Orang-orang bisa dengan mudah meninggalkanku. Bahkan Mas Rustam yang sudah berulang kali meyakinkan kami. Ya, aku ngerti. Ini teguran dari Tuhan agar aku lebih fokus mengurus ibu dan juga adik-adikku. Ibu dan adik-adikku hanya punya aku …,” batin Embun yang menyisihkan keresek bekalnya ke galengan dikarenakan tangannya yang masih kotor lumpur tak ubahnya sekujur tubuh kecuali kepala, sibuk menyeka air matanya. “Kasihan yah si Embun. Terancam jadi perawan tua! Padahal anaknya rajin banget. Tenaganya ngalahin tenaga laki-laki!” Kata “perawan tua” yang sampai mereka sematkan kepadanya, sukses membuat Embun menggeleng tak habis pikir. “Sudah, Mbun … sudah, sabar. Sabar … sabar. Fokus kerja saja. Fokus urus ibu dan adik-adikmu! Rezekimu enggak akan datang tanpa kamu yang menjemput dengan bekerja keras. Ingat, ibu dan adik-adikmu sangat bergantung kepadamu!” Meski sibuk menguatkan diri sendiri, yang ada, tangis Embun justru semakin pecah. *** Hari-hari, Embun dilalui dengan semakin berat. Tak semata karena pernikahan Rustam yang akhirnya digelar penuh kebahagiaan di mana tak berselang lama dari pernikahan, Ayu istri Rustam dikabarkan hamil hingga seisi kampung kembali menyangkut-pautkan kenyataan tersebut dengan nasib Embun. Sebab beban kehidupan yang harus Emban pikul juga menjadi semakin berat, akibat gosip yang terus merebak dan membuat kesehatan Sutri sang ibu ambruk. Embun tak hanya membuat gorengan berikut kue dan akan dipasarkan oleh adik-adiknya, sebab musim tanam maupun panen yang tak lagi berjalan, otomatis membuat Embun harus memutar otak agar ia tetap bisa mendapatkan pekerjaan sekaligus penghasilan. Dan karena tidak memiliki pilihan lain sedangkan kebutuhan semakin membludag, Embun nekat menderes atau itu menyadap nira, suatu pekerjaan yang biasanya hanya dilakukan oleh laki-laki. Sampai-sampai, kenyataan tersebut membuat semua warga geger. Suatu hari, datang seorang pria yang mengajak Embun menikah. Tentu Embun yang sudah memiliki pengalaman gagal lamaran, tak lantas percaya begitu saja. Apalagi parahnya, pria itu memberikan syarat, mengenai pernikahan yang benar-benar akan ada, pria itu sungguh-sungguh akan menikahi Embun, asal Embun meninggalkan ibu berikut adik-adik Embun. Tak hanya satu atau dua saja yang mengajak Embun menikah dengan syarat sama, tapi kelewat banyak hingga detik penyusun waktu membawa Embun ke tahun-tahun yang berbeda. Embun tetap memilih melajang demi keluarga tanpa peduli predikat perawann tua yang terus disematkan kepadanya. “Jadi suami Embun enak kali, ya? Tanpa harus capek kerja buat cari nafkah, dia sudah pinter cari nafkah sendiri!” Tawa itu menyertai candaan pria-pria yang sedang duduk di pos ronda sambil menghabiskan puntung rokok yang membuat suasana di sana dihiasi kebulan asap. Embun yang kebetulan lewat sambil menenteng dua buah jeligen besar berisi nira deresannya, memilih abai. Terdengar tawa yang langsung digantikan batuk-batuk dan sepertinya karena pria yang kiranya berjumlah empat orang itu terkejut sesaat setelah melihat Embun. “Mbun … aku antar, ya?” tawar salah satu dari mereka. “Lihat, Mbun. Hidupmu jauh lebih berharga karena kamu masih berguna. Enggak seperti mereka yang hanya bisa mengolok-ngolok bahkan memanfaatkan kehidupan orang! Berbanggalah karena kamu sudah bekerja keras dan bisa menghidupi ibu beserta adik-adikmu, tanpa belas kasihan orang!” batin Embun yang merasa sangat lega. Lelah yang selalu ia rasa seolah terbalas dengan hasil yang ia dapat dari kerja kerasnya. Senyum hangat itu merekah di kedua sudut bibir Embun menyertai peluh yang sudah membuat tubuh wanita perkasa itu kuyup. Meski ketika Embun tak sengaja menoleh ke seberang jalan dan membuatnya berpapasan pandangan dengan Rustam yang sedang menggendong bayi mungil dan tak lain merupakan anak ke dua Rustam dari pernikahannya dengan Ayu, rasanya ada yang patah, teramat sakit dan meronta-ronta jauh di dalam dadanya. Karena tahun-tahun telah berlalu, luka tak berdarah yang bahkan tak kuasa bersuara itu masih menghuni hati berikut kehidupan Embun. Tak mau berlarut-larut, apalagi Rustam yang turut disertai Ayu berikut anak pertama mereka juga sampai menjadikannya fokus pandang sekaligus perhatian, Rustam menatap Embun dengan tatapan penuh sesal bahkan berkaca-kaca, Embun memutuskan untuk putar balik. Embun melangkah menuju jalan yang berbeda. “Meski aku sadar jalan dan kehidupan kami sudah berbeda, rasanya luka itu masih saja sangat kuat. Ya Alloh … jika memang jodoh ibarat cerminan diri, apakah wanita sepertiku masih boleh berharap memiliki jodoh?” batin Embun. Kembali, tanpa bisa ia tahan, peliknya kehidupan yang harus ia hadapi membuat air matanya berlinang, menguraikan setiap pedihnya kehidupan yang ia simpan rapat dalam diam. *** Di tempat berbeda, di Jakarta, Edward masih menunduk patuh tatkala Zack atasannya sibuk membahas jodoh. “Apa pun yang terjadi, apa pun, pokoknya bagaimanapun, ... kamu harus menikah, Edward. Lihat hubunganku dan Arina. Kami hidup bahagia bahkan sebentar lagi kami akan memiliki anak. Sedangkan mengenai alergimu terhadap wanita, ayo pelan-pelan dilawan.” Zack bertutur penuh pengertian. “Bagiku, kamu bukan orang lain, lho, Edward. Aku sudah menganggapmu seperti saudara sendiri. Begitupun dengan Arina. Bahkan saking care-nya Arina sama kamu, Arina berniat kenalin kamu sama teman-teman wanitanya!” Lanjutan Zack barusan langsung disambut bersin sangat keras oleh Edward bersama tubuh Edward yang sampai terlonjak. Bahkan, tak hanya Zack yang kaget dan refleks mengibaskan tangan kanan di depan wajah. Sebab Edward sendiri juga tak kalah kaget. Menikah dan membuatnya berurusan dengan wanita? Tidak ... tidak, itu tidak ada dalam kamus hidup Edward. Namun .... “Kayaknya punya anak apalagi anak cowok, seru banget, ya? Pulang kerja ada yang manggil; papah, rasanya pasti ... adem,” pikir Edward yang tiba-tiba mendamba kehadiran seorang anak, padahal ia sendiri alergi dan bisa meregang nyawa jika harus berurusan dengan wanita. “Stress kamu, Ed!” umpat Edward dalam hatinya yang mengecam keinginannya sendiri. Bersambung ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN