Part 4 Balapan

1814 Kata
Pagi ini aku diajak joging oleh Papah dan Kak Doni. Sudah menjadi agenda rutin untuk berilah raga saat libur. Mereka mengajak berlari ke Gor. Kebetulan jaraknya tidak begitu jauh. Lumayanlah untuk olahraga lari seperti ini. Sejak kecil aku sudah biasa lari dengan Papah. Jadi kalau hanya ke Gor saja, itu bukan hal berat bagiku. Papah tidak pernah memanjakan ku bagai anak perempuan pada umumnya. Bahkan terkadang perlakuannya kepadaku sama seperti perlakuannya pada Kak Doni. Aku diwajibkan olahraga, bela diri, bahkan sampai mengutak-atik mesin mobil atau motor. Yah, walau tidak terlalu jago dalam hal ini. Hanya tau dasar-dasar penting nya saja. *** Sampai Gor kami beristirahat sejenak. Sepanjang perjalanan tadi, keadaan jalan raya masih cukup lenggang. Hari minggu memang jarang ada orang yang beraktivitas pagi-pagi seperti ini. Tapi begitu sampai Gor, suasana berubah riuh. Setiap hari minggu pagi suasana Gor memang ramai. Banyak yang datang untuk berolahraga bahkan penjual makanan pun berderet rapi di Sepanjang Trotoar. Bagai wisata kuliner, karena berbagai makanan dan minuman ada di sini. Membuat niat awalnya olahraga, malah jadi nimbun lemak. Aku membeli air mineral begitu sampai di sini. Keringat yang keluar cukup banyak, jadi harus segera diganti dengan minum agar cairan tubuhku tidak berkurang. "Din, Itu Will, kan, ya?" tanya Kak Doni menunjuk ke seberang. Aku memicingkan mataku ke arah yang dia tunjuk. Nama Will begitu cepat mengusik perhatianku. "Iya Kak ... Lagi joging juga kali," kataku berusaha santai, saat melihat keberadaan Will di sana. "Wil!" teriak Kak Doni, membuatku melotot dan hampir memukul Kak Doni yang berada di sampingku. Will yang melihat kami, segera merapat mendekat. Ia juga terkejut melihat kami ada di sini. "Lho Kak Doni, lagi joging juga?" tanya Will basa-basi. "Iya nih. Biasa. Olahraga," kata Kak Doni sambil melakukan pendinginan setelah lari. "Eh, Om juga ikut?" tanya Will saat melihat Papah yang berada agak jauh dari kami, ia kemudian menyempatkan bersalaman dengan Papah. "Iya. Kami, kan, the a team. Jadi selalu bersama-sama. Mas Will sendirian aja?" tanya Papah dengan melihat ke belakang Will, dan memastikan kalau Will tidak bersama orang lain. "Sama temen, Om. itu dia," kata Wil menoleh ke belakang, sambil menunjuk orang yang dimaksud. Aku memutar bola mataku, sebal. "Yah, elu! Si buaya darat. Nah, ketahuan nih. Mau cuci mata lo, ya!" sindirku, sinis, saat Alex mendekat. "Ih elu lagi, Din. Sial. Sial," katanya lalu bersalaman dengan Papah dan Kak Doni. Tatapan mata Alex seolah benar-benar menunjukkan kalau kami bermusuhan. "Eh udah dapet berapa nomer hape cewek pagi ini?" tanyaku santai. "Enak aja! Lu pikir hidup gue cuma buat dapatin nomor hape cewek? Mereka lah yang bakal ngejar-ngejar gue!" timpalnya. "Hahahaha... Lah elu pikir? Ada? Yang mau sama elu?" tanyaku lagi, terus mengejeknya. Alex kembali membalas perkataan ku hingga perdebatan kami tak kunjung selesai. Papah, Kak Doni dan Will hanya senyum senyum saja melihat kami yang berdebat dari tadi. "Eh, Din. Kamu janjian ya, sama Will. Kok bisa pas banget sih ketemu di sini. Cieee," Canda Alex, balik mengejekku. "Apa sih? Kebetulan doang ketemu di sini. Nggak ada janjian juga!" elakku sedikit ketus, melirik sekilas ke arah Will yang terus tersenyum menatapku. Aku mengalihkan perhatian dengan menyapu pandang ke sekitar, mencari keberadaan penjual roti bakar. "Nyari apa lu?" tanya Alex. Kak Doni dan Will sedang mengobrol berdua dan terlihat seru. Sehingga aku tidak berani menyela nya. "Roti bakar. Di mana ada yang jual, ya?" tanyaku tanpa melihat Alex. "Mana Gue tau. Cari aja sendiri," katanya sebal. "Ye, sewot," sindir ku," Pah, Dina keliling dulu, ya." Papah hanya mengangguk. Karena masih sibuk melakukan aksi pendinginan. "Will temenin Dina, ya. Dia ini kalau dibiarin sendirian di tempat gini, bakal lama. Semua dia beli," pinta Kak Doni. "Ih, kakak! Apa sih?!" Will mengangguk sambil mengikuti. Kami berjalan beriringan masuk ke dalam Gor yang jauh lebih ramai. "Eh ke sana, yuk. Aku pengen beli itu,"  anakku sambil menarik tangan Will. "Kamu mau yang rasa apa, Will?" tanyaku saat sampai di depan stand penjual jus buah. "Mangga." "Oke. Bu, jus mangga satu, jus alpukat satu, ya," pintaku. Kami berdua masih diam sambil menikmati keadaan di sekitar. Ramai namun aku merasa kosong. Hanya ada aku dan Will yang sedang berdiri berdekatan, berusaha mencari topik pembicaraan agar tidak kaku. Hingga pesanan kami sudah siap. Aku memberikan jus milik Will, dan aku mulai meminum jus alpukat milikku. "Nanti jadi?" tanya Will saat aku meminum jus buah milikku dengan sedotan. Aku hanya mengangguk, meliriknya sekilas lalu menatap ke arah lain. Rasanya masih canggung. Tapi tiba-tiba aku melihat seseorang yang sangat tidak ingin kulihat sekarang. Dari kejauhan, aku melihat Vira ada di kerumunan penjual baju. Sontak aku menjadi muak. Moodku yang sudah bagus sejak pagi, mendadak jatuh hanya karena melihat perempuan itu. "Pacarmu tuh," tunjuk ku dengan dagu, lalu pergi dari harapan Will. Will menoleh ke arah yang ku tunjuk. "Din! Din! Dina!" teriak Will berusaha terus mengejar ku. Hingga saat ia sudah berhasil menyusulku, Will menarik tanganku dan membuatku berhenti berjalan. "Kamu masih marah?"tanyanya dengan terus menatapku nanar. "Enggak!" jawabku ketus. " Bohong!" katanya dengan nada dingin. "Kalau gitu kamu nggak perlu tanya! Baca aja pikiranku!" omelku dengan menaikkan nada bicara, kemudian pergi meninggalkan nya. "Dina!" Will masih terus mengejarku. "Eh ini pada kenapa? Kok main kejar-kejaran gini? Mana itu muka cemberut gitu," cetus Kak Doni menunjuk wajahku. "Pulang yuk, Pah," ajakku melenggang begitu saja. "Ya udah, ayok," sahut Papah langsung mengiyakan yang sepertinya tau aku sedang kesal. "Will ikut balik gak?" tanya Kak Doni basa basi. "Iya, Kak. Kami juga udah dari tadi. Yuk, Lex. Balik!" kata Will menarik kerah baju Alex yang sedang asyik makan cilok. Aku berjalan di depan bersama Papah. Sementara mereka bertiga di belakang kami. Ketiganya asik mengobrol bersama, aku hanya mendengar sekilas-sekilas karena memang masih malas untuk bergabung dengan mereka. Ku gandeng Papah sambil terus berjalan ke arah pulang. "Aku cemburu, aku terluka, saat melihat kau bersama dirinya," teriak Alex dengan menggunakan nada lagu sebuah grup band. Ia cekikikan, di tambah juga sindiran Kak Doni yang membuat mereka berdua klop. Sampai depan Rumah, Kak Doni menyuruh Will dan Alex mampir. Mereka mampir dan mengobrol dengan Kak Doni dan Papah di teras. Aku masuk ke dalam rumah bergegas mandi dengan tampang yang masih kusut. Kesal dan sebal. Selesai mandi aku membuat roti bakar di dapur. Ternyata Will belum pulang san sekarang ada di toilet dekat dapur. Aku pun sedikit terkejut. Tak mau menyapa dan hanya meliriknya saja. "Udah mandi?" tanya Will lembut. "Udah." Saat aku akan kembali ke kamarku, Will malah menarik tanganku dan membuat aku jatuh ke pelukannya. Karena aku tidak siap dengan keadaan itu. Untung roti bakar ku tidak jatuh. "Eh maaf, eum, Din ...," panggil Will gugup lalu melepaskan ku. "Apa?" "Kamu marah soal Vira?" tanyanya. "Enggak." "Cemburu?" "Ih kamu kepedean deh," elak ku. "Akui aja, Din. Nggak apa apa kok kalo memang cemburu," kata Will sambil memamerkan gigi putihnya dengan senyum yang lebar. Aku tidak menjawab dan langsung pergi ke kamarku. Ya Tuhan, jantungku fitnes. Huuaa! ======= Sore ini sesuai rencana semula, Will menjemput ku, kami akan pergi ke Gor. Aku ingin melihat nya balapan seperti yang dia ceritakan kemarin. Sebuah momen yang seru, sepertinya. Suara motornya terdengar jelas sampai kamarku. Aku bergegas mematutkan diri di depan cermin. Dan kini keluar kamar untuk menemui Will. Will sudah ada di teras bersama Mamah. Ia terlihat lebih tampan dengan kaus polo warna putih ditutupi jaket kulit hitam dan sepatu kets yang senada dengan kayanya. "Mah, Dina main dulu, ya," pamitku sambil memakai sepatuku dan duduk di samping Mama. "Iya, hati-hati, ya, " cetus Mamah. Aku selesai memakai sepatu kets, dan kini mengajak Will segera berangkat, karena hari sebentar lagi siang. "Kami pamit sekarang, Tante." Will menjabat tangan Mamah. Begitu juga aku. Mamah melambaikan tangan melepas kami hingga sampai halaman. Will menghidupkan motornya, aku pun membonceng Will menuju Gor. Bukan pertama kali aku naik motornya, tapi entah kenapa aku masih merasa kikuk. Tapi aku tetap berpegangan di pinggang Will. Beberapa teman SMU kami juga menonton balapan hari ini. Mungkin sudah menjadi hal yang lumrah bagi mereka. Kami mendekat ke gerombolan Alex dan teman sekolah yang lain. "Lama amat sih?" gerutu Alex. "Sabar napa!!" Kata Will sama sinis nya. Aku melihat ada Feri di sana, dia melihatku lalu menghampiriku dan membuatku serba salah. "Din ... kamu ke sini juga?"tanyanya "Iya, bosen di Rumah tadi, terus diajak Will ke sini juga sih," ucapku sambil melirik ke Will. Seolah sebagai upaya mempertahankan Will agar tetap di sisiku. Will menggeleng pelan, memberiku kode untuk tidak menanggapi Feri. "Fer... Yuk tanding!!"tantang  Will. Alex menatap kami bingung. Dan aku juga sama bingungnya seperti Alex. "Will, perasaan kamu tandingnya sama Rudi nanti. Kita kan lagi nunggu Rudi," bisik Alex ke Will. Will tidak menghiraukan perkataan Alex dan tetap membawa motornya ke arena balap. Balap liar, merupakan kegiatan yang sering dilakukan teman di kota ku. Entah apa tujuan utamanya, tapi yang jelas, semua hanya untuk saling pamer kemampuan. Mereka bersiap lalu setelah aba aba dimulai, mesin motor dihidupkan. Dalam hitungan 3, motor melaju dengan cepat ke depan, memutari sekitar jalan di Gor. Suaranya mengerikan, dengan laju yang amat cepat. Jantungku dag dig dug tak karuan. Aku takut melihat Will balapan, rasanya tiap belokan membuat jantungku seperti berhenti berdetak. Semula aku sangat bersemangat tapi justru kali ini kakiku seakan lemas, bagai tak bertulang. Aku merasa kecepatan motor mereka terlalu tinggi. Sedangkan mereka tidak memakai baju pelindung khusus. Saat motor mereka makin dekat, kulihat Will yang ada di depan. Lebih cepat dari Feri. Dan akhirnya Will yang menang. Kedua kakiku sampai lemas dan duduk di dekat pembatas jalan di belakang Alex. "Kenapa lu, Din?" tanya Alex heran. Aku hanya menggeleng tak bersuara. "Tenang aja kali, Will mah jagonya di sini. Feri doang mah kecil," kata Alex seolah tau kegugupanku. Will yang sudah selesai kemudian turun dari motornya dan menghampiriku. Ia melihatku heran. "Kenapa, Din?"tanya Will. "Takut lu kenapa napa," Jelas Alex. Aku injak saja kakinya, karena berkata hal yang membuatku lemas lagi, dan Alex berteriak kesakitan. Hal ini membuat Will tersenyum, manis. Manis sekali. "Eum ... mau pulang aja?" tanyanya padaku, ia jongkok untuk mensejajari posisiku. Aku mengangguk, tetapi tiba-tiba saja Vira datang dan bersikap manja ke Will. Ia terus mendekat dan berusaha menempel pada Will. Will justru menarik tanganku dan membuat kami berjalan ke arah motornya. "Balik dulu, ya!" teriaknya ke teman-teman di sana. Vira merengek sambil menghentak hentakan kakinya sebal. Will tidak menanggapinya. Senyum tipis dengan spontan kulakukan. Aku merasa bahagia. "Pulang?" tanyanya sebelum kami naik motor. Vira masih tetap ngotot mengajak Will berbicara, sampai akhirnya Will mulai geram. "Elu! Diem!" tunjuknya ke Vira dengan tampang mengerikan. Will naik motor lalu menyuruhku ikut naik juga. Kami akhirnya pergi dari tempat itu. "Ke mana?" tanyanya. "Hah? Eum, ke mana, ya?" tanyaku balik. "Makan aja, ya. Laper." "Iya." Kami mengelilingi kota mencari tempat makan yang enak dan memilih sebuah cafe yang sering dijadikan tempat nongkrong remaja seusia kami. Itu kata Will tadi. Katanya sih makanannya enak, murah juga. Cocok untuk kantong anak sekolah. Setelah memilih tempat duduk yang pemandanhan nya enak, kami memesan 2 mangkuk bakso & jus alpukat kesukaanku. Will suka jus alpukat juga ternyata. Kami diam beberapa saat. Mau ngobrolin apa yah. Spontan aku berfikir seperti itu. Will tersenyum. Dia kan tau apa yang aku pikirkan. "Kamu kenapa tadi jadi lemes, Din?perasaan kamu semangat banget kemaren pengen liat balapan? Jadinya aku gagal deh balapan sama Rudi." "Nggak tau, aku cuma takut aja." "Takut apa?" "Takut kamu jatuh." Will malah tertawa, ia lantas mengacak acak rambutku, gemas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN