"Terima kasih sudah mau menemaniku makan malam, Claire..." ucap Reinaldy dengan nada tulus.
Claire memandangi Reinaldy yang duduk dihadapannya lalu mengangguk pelan. Claire akhirnya mengikuti keinginan Reinaldy. Keduanya berhenti di sebuah restoran yang terkenal dengan steak yang mereka sajikan untuk makan malam bersama. Reinaldy memesan makanan untuk mereka sementara Claire lebih banyak diam dan membiarkan Reinaldy mengatur semuanya.
Sedari tadi perasaan Claire dirundung rasa bersalah. Claire bukan orang yang seratus persen baik. Claire juga pernah melakukan kesalahan tapi seumur hidupnya Claire selalu berusaha melakukan hal baik. Claire sadar kalau ada hukum karma yang berlaku dalam kehidupan ini. Claire mendengar mengenai hukum karma dari tetangganya yang mengajarkannya hal ini.
Claire masih ingat penjelasan tetangganya, Hukum karma adalah hukum sebab akibat tentang perbuatan manusia dalam menjalani hidup ini. Dalam hukum karma menjelaskan bahwa setiap perbutan yang dilakukan pasti akan memiliki akibat. Perbuatan baik akan mendatangkan akibat baik dan sebaliknya perbuatan buruk akan berakibat buruk pula dan didasari hal ini Claire berusaha melakukan hal baik agar segala hal yang baik pula yang kembali padanya.
Namun kini Claire melakukan sesuatu yang buruk. Claire sadar kalau apa yang ia lakukan ini salah dan perasaan Claire benar-benar merasa bersalah pada pria yang ada dihadapannya ini. Claire berusaha menikmati makan malamnya sambil mengalihkan pandangannya ke arah luar. Memandang lurus ke arah Reinaldy jelas membuat perasaan Claire semakin terasa semakin bersalah.
"Aku dan teman-temanku sering kesana..."
Claire menoleh menatap Reinaldy mendengar ucapan pria itu bersamaan dengan datangnya steak yang Reinaldy pesan untuk mereka berdua.
"Club itu adalah club terbesar di Boston dan juga ada fasilitas ekslusif untuk para member mereka. Club itu ada bahkan sejak papaku muda dulu..." Reinaldy melanjutkan ceritanya sambil memotong steak yang ada dihadapannya.
Claire memberanikan diri menanggapi, "Apa yang anda cari dengan datang ke club?"
Reinaldy menghentikan gerakkannya dan menatap Claire beberapa saat, "Hanya kesenangan..." Reinaldy kembali memotong steak di piringnya sambil menatap Claire sesekali. Claire hanya diam. Claire menghela nafas panjang dan menatap steak dihadapannya dengan tatapan kosong.
"Keseharianku selama ini sangat penuh tekanan dan kerja keras, Claire. Tidak mudah menjadi anak dari seorang pengusaha besar. Aku sedari kecil memiliki banyak tuntutan karena aku adalah anak laki-laki satu-satunya dari kedua orang tuaku. Kakak-kakakku semuanya perempuan dan mereka memiliki minat mereka masing-masing..." Reinaldy berucap sambil mengangkat piringnya dan menukarnya dengan piring steak yang ada dihadapan Claire.
Claire kaget dengan apa yang Reinaldy lakukan.
"Makanlah. Aku lihat tadi siang kamu pun hanya makan roti isi." Reinaldy dengan cepat angkat suara saat Claire hendak menolak.
Claire terkejut mendengar ucapan Reinaldy. Bagaimana pria ini bisa tau?
"Jangan banyak melamun. Cepat makan supaya kamu bisa cepat pulang juga..."
Claire pun mengangguk. "Terima kasih."
Reinaldy tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya lalu mulai memotong steak yang ada dihadapannya dan memakannya. Claire menatap Reinaldy lekat-lekat sambil mengeratkan tangannya yang sedang memegang garpu dan pisau,. "Apa bapak tidak bisa mencari kesenangan yang lain? Maksud saya tidak perlu pergi ke club seperti itu."
Reinaldy pun menatap Claire dan menggendikkan bahunya, "Aku tidak tau. Selama ini aku belum pernah menemukan hal yang menarik yang membuat aku senang selain pergi ke club, minum satu dua gelas alkohol bersama dengan teman-temanku dan menghabiskan malam disana. Sejauh ini itu cukup membuatku merasa lebih baik setelah mengahadapi hari yang berat."
Tangan Claire yang sedang memegang pisau pun perlahan meletakkan pisau itu lalu Claire merubah arah pandangannya kembali menatap ke arah club. Tangan Claire yang tadinya memegang pisau kini sudah beralih fungsi untuk menumpu kepalanya dengan tangannya itu, "Saya tidak suka keramaian. Club begitu ramai sehingga saya tidak pernah pergi ke club. Saya merasa energi saya habis saat saya masuk ke dalam club."
Reinaldy tertawa, "Sedari dulu kamu memang lebih suka perpustakaan, Claire. Tidak heran kamu tidak suka hingar bingar dalam club."
Claire merotasi bola matanya, "Apa pasangan anda tidak keberatan anda sering ke club?"
Reinaldy dengan santai menggelengkan kepalanya, "Aku tidak memiliki pasangan, Claire. Bukan berarti aku tidak dekat dengan wanita. Aku dekat dengan wanita dan wanita itu pun aku kenal di club."
Claire tersenyum kecut tanpa sadar. Apa yang Claire harapkan dari pria yang rajin ke club? Tentu lingkungannya pun pasti tidak jauh-jauh dari club. Sebuah hal yang mudah diprediksi. Namun kini yang membuat Claire bingung bagaimana caranya membuat Reinaldy menjauhi club? Pasangan pun Reinaldy tidak punya, tadinya Claire pikir ia bisa menjadikan pasangan Reinaldy sebagai alasan tapi lucunya pria itu bahkan dekat dengan wanita pun seorang wanita yang ia kenal di club.
Claire menghela nafas panjang tanpa sadar. Perasaan Claire saat ini campur aduk karena dirinya merasa menyesal, ia pun merasa bersalah, dan juga merasa kebingungan. Perasaannya benar-benar kacau dan semua karena permainan yang disodorkan Dean Alfarezi yang melibatkan pria yang sedang duduk dihadapannya saat ini.
"Aku senang kita bisa mengobrol santai seperti ini, Claire. Aku tau masa lalu–"
"Boleh kita tidak usah bahas lagi tentang apa yang terjadi di masa lalu? Saya sudah menutup apa yang terjadi di masa lalu," ucap Claire sambil menegakkan posisi duduknya dan mulai memakan steak miliknya. Masa lalu membuatnya sadar bahwa ia tidak ada bedanya dengan Reinaldy. Ia menjadi korban dan sekarang ia membuat Reinaldy merasakan hal yang sama dengan apa yang ia rasakan dulu.
Reinaldy tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Baiklah. Tapi aku berharap kita bisa bersikap santai seperti ini untuk seterusnya, Claire."
Claire hanya diam dan menikmati steak yang ada di piringnya dalam diam. Tidak ada pembicaraan apapun lagi antara keduanya hingga keduanya selesai dengan makanan mereka masing-masing dan Reinaldy mengantarkan Claire pulang ke flatnya. Saat Claire hendak keluar dari dalam mobil Reinaldy, pria itu menahan tangan Claire membuat Claire menghentikan pergerakkannya dan menatap pria itu.
"Kalau kamu keberatan dengan pria yang suka ke club?" tanya Reinaldy dan mendadak pria itu salah tingkah, "Maksud aku apa mungkin kamu memiliki pasangan yang suka pergi ke club?"
Claire terkejut dengan pertanyaan Reinaldy namun tidak lama kemudian Claire mengangguk, "Saya tidak pernah ke club jadi saya merasa saya tidak akan cocok dengan pria yang suka datang ke club. Kehidupan kami berbeda. Saya tidak suka keramaian tapi dia sebaliknya. Jelas kami tidak akan cocok."
Reinaldy hanya diam dan Claire menggunakan kesempatan itu untuk pamit. "Terima kasih sudah mengantarkan saya pulang dan sudah mengajak saya makan malam. Hati-hati dijalan."
Reinaldy tersenyum tipis dan mengangguk. Claire keluar dari mobil dan berjalan lurus masuk ke gedung flat tempatnya tinggal tanpa menoleh ke belakang lagi karena perasaan bersalah menggerogoti hatinya. Claire berjalan lurus kedepan menuju unit flatnya dan saat membuka pintu Claire langsung merasakan kesunyian dan kegelapan yang mencengkramnya kuat. Claire masuk ke dalam flatnya dan kembali menutup pintu.
Claire berada di dalam flat sederhananya dan kegelapan membuat Claire sadar ia tidak mungkin terus berjalan lurus. Mungkin permainan yang Dean sodorkan padanya memang satu-satunya jalan untuk menyelamatkan mamanya. Claire hanya perlu egois. Ia hanya perlu mengesampingkan rasa bersalahnya. Ia hanya perlu menjalankan tugasnya dengan baik dan berharap Reinaldy tidak tergoda untuk datang ke club dan menghancurkan semua yang sudah ia coba usahakan.
***
Dean duduk di sofa sambil menatap tabletnya namun pikiran Dean melayang teringat akan percakapannya dengan Claire tadi. Dean mulai merasa bersalah. Dean yang kemarin berpikir mungkin ini salah satu cara untuk membuat Reinaldy berubah dari kebiasaan buruknya selama ini mendadak merasa kalau ia sudah kelewatan dan mungkin saja permainan ini akan menyakiti banyak orang. Namun sudah tidak ada jalan keluar karena ia dan Claire sudah sama-sama sepakat dan kesepakatan yang Claire lakukan atas dorongannya.
Dean selama ini selalu hidup sendiri. Ia tidak memiliki saudara dan kehadiran anak-anak Reiner Algantara membuatnya mengerti rasanya memiliki seorang saudara. Dean paling dekat dengan Reinaldy karena mereka sama-sama laki-laki dan karena Reinaldy ia merasakan peran sebagai seorang kakak dan memiliki seorang adik. Dean menyayangi Reinaldy sebagai seorang saudara dan Dean ingin yang terbaik untuk Reinaldy.
Dean sendiri khawatir kalau kebiasaan buruk Reinaldy akan membawa masalah di masa depan pria itu sehingga Dean pun turut membantu Reiner Algantara untuk memberi nasihat dan sayangnya nasihat-nasihatnya selama ini seakan mental hilang begitu saja. Kini Dean melihat adanya kesempatan lain dan Dean pikir ia bisa menggunakan kesempatan itu untuk merubah Reinaldy. Dean bukannya baru mengenal Reinaldy. Reinaldy bisa mengelak tapi Dean melihat kalau Reinaldy memiliki ketertarikan pada Claire dan hal ini yang Dean coba manfaatkan.
Dean merasa bersalah dan ada ketakutan kalau permainan ini berakhir dengan buruk. Namun hidup adalah sebuah perjalanan dimana semua hal bisa terjadi. Selalu tersedia banyak kemungkinan dan Dean harap apa yang ia lakukan ini berakhir dengan baik. Dean hanya ingin Reinaldy berubah. Tiga bulan adalah waktu yang cukup untuk seseorang berubah merubah sebuah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru.
"Kak..."
Seseorang menyentuh lengan Dean membuat pria itu terkesiap kaget menoleh, "Kapan kamu masuk?"
Reinaldy mendengus, "Kalo malem-malem jangan bengong. Kamu terlalu sibuk sama lamunan kamu sampe kamu enggak sadar sedari tadi aku panggilin kamu. Apa yang kamu pikirin sampe seserius ini? Apa terjadi sesuatu?"
Dean meletakkan tablet yang ia pegang ke atas meja lalu bersedekap menatap Reinaldy, "Kamu ngapain malem-malem kesini?"
Reinaldy merebahkan punggungnya ke sofa sambil menatap Dean, "Kalo orang nanya itu dijawab dulu bukannya malah kasih pertanyaan balik."
Dean merotasi bola matanya spontan, "Aku sedang memikirkan soal pekerjaan. Jadi ngapain kamu kesini, Rei?"
Reinaldy menegakkan posisi duduknya menatap Dean dan tersenyum, "Aku mau nginep disini. Boleh ya?"
Dean mengerutkan alisnya mendengar ucapan Reinaldy.
"Aku enggak mood ke club dan pulang ke rumah pasti dengerin ocehan mama atau papa yang malah bahas kerjaan. Kalau ke apartemen aku rasanya sepi jadi aku nginep disini, boleh, ya?" Reinaldy berucap dengan nada memohon di akhir kalimatnya.
Dean terkejut, "Kamu enggak mood ke club? Ini aneh sejak kapan kamu enggak mood ke club? Jelas ada yang aneh disini."
Reinaldy tidak menjawab tapi pria itu mendengus mendengar ucapan Dean yang jelas bermaksud mengejeknya.
Dean melihat penampilan Reinaldy yang belum berubah. Ia masih menggunakan pakaian kerjanya hari ini. "Kamu baru pulang kantor?"
Reinaldy menggelengkan kepalanya, "Udah dari tadi tapi tadi aku pergi sama Claire–"
"Kamu pergi sama siapa?" Dean mengkonfirmasi ulang nama yang Reinaldy sebutkan.
Reinaldy mengerutkan alisnya, "Claire.. Ada yang salah?"
Dean terdiam beberapa saat, "Kok kamu bisa pergi sama Claire?"
Reinaldy pun menceritakan bagaimana ia bertemu dengan Claire dan akhirnya ia berhasil mengajak Claire pergi bersama setelah Claire sempat menolaknya. Reinaldy dengan jujur menceritakan apa yang terjadi tadi dan Dean mendengarkan dengan seksama bagaimana cerita Reinaldy sambil memperhatikan ekspresi pria yang sudah ia anggap seperti adiknya itu sendiri. Dari apa yang ia lihat, Dean yakin kalau penilaiannya tidak salah. Reinaldy jatuh hati pada Claire tapi Reinaldy tidak menyadarinya. Tanpa sadar Dean tersenyum.
Perasaan Dean pun membaik. Rasa bersalah yang ia rasakan tadi pun perlahan menguap dan muncul keyakinan bahwa Claire akan bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan Reinaldy bisa berubah menjadi pria yang lebih baik.
"Jadi Claire tau kalau kamu suka pergi ke club?"
Reinaldy mengangguk pelan, "Tapi dia bilang dia tidak suka pergi ke club sehingga pria yang suka pergi ke club tidak akan cocok dengannya."
Dean mengangguk pelan, "Masuk akal. Kita enggak akan bisa nyambung dengan orang yang punya ketertarikan yang berbeda dengan kita..." Dean menjeda kalimatnya, "Jadi kamu sekarang mengakui kalau kamu tertarik dengan Claire?"
***
Claire baru selesai membersihkan diri. Ia duduk diatas tempat tidurnya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Claire mendengar suara getaran ponselnya. Sebuah pesan masuk. Claire menghentikan kegiatannya dan beranjak mengambil ponselnya. Claire membuka pesan yang masuk ke ponselnya itu lalu membacanya.
Hari ini Reinaldy menginap di apartemen saya. Dia tidak pergi ke club karena kamu tidak cocok dengan pria yang suka ke club. Good job, Claire!
Claire terdiam beberapa saat membaca pesan yang dikirimkan oleh atasannya itu. Untuk pertama kalinya Dean Alfarezi mengiriminya pesan diluar jam kerja dan tidak membahas soal pekerjaan. Perlahan Claire duduk kembali di sisi tempat tidurnya dan membaca ulang pesan yang atasannya kirim itu.
Perlahan rasa bersalahnya menguap. Perasaannya menjadi sedikit lebih baik. Setidaknya ia bisa membuat orang lain berubah menjadi lebih baik. Claire kembali merapal mantra saktinya dalam hatinya. Demi mama, Claire... Demi mama...