Sepanjang perjalanan, suasana dalam mobil sunyi. Melirik pria di sampingnya, Lily merasa kalau Gregory sepertinya enggan berbincang-bincang untuk mengisi waktu perjalanan. Lelaki itu tampak berkonsentrasi mengendarai mobilnya dengan sangat hati-hati, menjaga kecepatannya konstan dan teratur.
Lampu yang menunjukkan merah di depan, membuat pria itu memelankan kendaraannya dan berhenti tepat di belakang garis zebra cross dengan sangat mulus. Teknik berkendaranya seperti seorang pengemudi yang sedang membawa pejabat penting. Cepat, tapi stabil dan konsisten. Tidak seperti kebiasaannya dulu yang lebih suka memacu adrenalin di jalanan dengan kecepatan tinggi dan melakukan manuver berbahaya.
Memandang lampu lalu-lintas itu, Lily bertanya lembut.
"Sejak kapan kamu menyetir mobil seperti ini? Seingatku, dulu kamu sering terlibat balapan di jalanan, kan?"
Pria itu tidak menoleh tapi tetap menjawab. "Itu sudah lama sekali, Red. Aku masih sangat muda ketika itu."
"Muda? Bukannya waktu itu..."
Perkataan Lily terhenti ketika ia menyadari betapa benarnya pernyataan lelaki itu tadi. Kedua matanya mengerjap pelan dan bibirnya sedikit tersenyum.
"Kadang aku sering lupa perbedaan usia kita, Greg. Sepertinya aku lebih banyak mengingat sosokmu saat aku masih sangat kecil. Kalau tidak salah, waktu itu umurmu sekitar 16 tahun ketika paman Rod pertama kali menjemputmu di kantor polisi, kan?"
Dengusan lembut terdengar dari hidung mancung Gregory. "Aku tidak tahu bagaimana kamu bisa ingat itu, Red. Peristiwa itu sangat memalukan, tapi kamu malah mengingatnya."
"Kalau kamu lupa, saat itu paman Rod dan orangtuaku sedang makan malam di restoran. Kami baru saja akan pulang saat ayahmu mendapat telpon dari kepolisian. Tentu saja orangtuaku akan ikut ke sana, lupa kalau mereka sedang membawa anak kecil di mobil."
Kali ini, suara tawa keluar dari mulut Gregory yang sangat jarang terdengar. Sambil tersenyum, pria itu menoleh dan refleks mengacak-acak rambut merah Lily hingga sedikit terlepas dari gelungannya. Saat sadar dengan tindakannya, ekspresi pria itu perlahan berubah dan ia menarik tangannya.
"Berapa umurmu saat itu?"
"Lima tahun."
Jawaban itu membuat keduanya sejenak terdiam. Kesadaran akan adanya perbedaan usia yang cukup jauh di antara mereka menyadarkan Lily, kalau gap itu tidak ada artinya sekarang. Mereka berdua telah jadi orang dewasa dan sama-sama pernah mengalami banyak hal pahit dalam kehidupan.
Dulu, wanita itu selalu memandang Gregory dengan tatapan mendamba seorang fans pada idolanya. Sosok pria itu gambaran Lily kecil bila memiliki suami saat dewasa. Kuat, pintar dan berani. Selama hidupnya, ia dibesarkan dengan aturan ketat dan tata krama. Tanpa sadar, didikan itu ternyata membuatnya memiliki jiwa petualang yang tidak pernah berani dikeluarkannya. Apa yang ada dalam sosok Gregory adalah apa yang ingin dilakukan Lily dalam hidupnya. Berani menerjang, berani menentang dan hasilnya menang.
Ia bisa lebih dekat dengan Fred, karena pria itu sangat ramah dan menyenangkan. Pria berambut pirang itu membuatnya sangat nyaman, seperti seorang kakak lelaki. Berbeda dengan Gregory, yang dapat membuat jantungnya berdebar dan hatinya merekah bahagia bila lelaki itu menyapanya atau mengelus rambutnya.
Pandangan mata Lily perlahan turun dan mengamati tangan pria itu yang sedang berada di pahanya sendiri. Jari-jari lelaki itu panjang, tapi kuat. Kuku-kukunya dari dulu selalu pendek dan bersih. Kedua pipi wanita itu perlahan bersemu saat mengingat jari-jari itu pernah beberapa kali menyisiri rambutnya. Sampai sekarang, ia masih dapat merasakan pijatan lembut pria itu di kulit kepalanya yang membuatnya melayang.
Membuang arah pandangannya, Lily sadar telah menatap sosok Gregory selama ini sebagai pria impiannya. Simpati yang berubah jadi kagum. Kekaguman yang akhirnya berkembang menjadi cinta. Cinta fans pada idolanya. Hanya bisa melihat, tanpa bisa menyentuh. Hanya bisa mengagumi, tanpa bisa memiliki.
Sekarang, pria itu telah memiliki tubuhnya. Tapi, apakah ia memiliki hatinya? Lily tidak berani menjawabnya.
Lampu yang sudah hijau, membuat Gregory menjalankan kendaraannya kembali. Mereka tidak bercakap-cakap lagi hingga mobil itu masuk ke dalam kompleks perumahan elit dan berhenti di depan sebuah rumah besar bercat putih. Pekarangannya sangat luas dan ditumbuhi berbagai jenis tanaman di depannya.
"Kita sudah sampai. Ayo."
Pria itu membuka pintu dan turun dari mobil. Mengamati rumah di depannya, Lily menelan ludahnya. Entah mengapa, tapi ia mulai merasakan aliran udara yang terasa berat memasuki paru-parunya.
"Lily?"
Panggilan lembut itu membuat Lily menoleh. Ternyata Gregory berada di sampingnya dan pintu mobil telah terbuka. Pria itu menunggunya untuk turun.
"Lily? Kamu tidak apa-apa?"
Menggeleng, wanita itu keluar dan terdengar suara debaman pelan saat pintu mobil itu tertutup kembali.
"Ayo."
Berbeda dengan sebelumnya, pria itu tidak menggenggam tangannya dan langsung berjalan mendahului di depannya. Salah satu tangannya masuk ke saku celana jinsnya dan tampak mengeluarkan serentetan kunci. Sampai di selasar, Gregory berhenti dan memasukkan salah satu kuncinya. Bunyi 'klik' pelan terdengar dan pintu itu terbuka dengan lancar. Wangi khas yang harum mulai menyebar di hidung Lily.
"Setelah bibi Liliana meninggal, ada beberapa hal yang dirubah oleh paman Alexander. Rumah ini mungkin tidak seperti yang kamu ingat dulu."
Tidak menunggu jawaban Lily, tangan Gregory dengan lembut mendorong punggungnya untuk masuk dan pintu itu pun tertutup kembali.
Menatap sosok tinggi pria itu yang sedang berjalan di lorong, ingatan Lily melayang ke masa kecilnya saat ia beberapa kali memeluk lelaki itu dari belakang. Tangan-tangan mungilnya saat itu hanya bisa meraih paha pria itu dan melingkarinya sia-sia. Ia masih dapat mengingat kilasan senyuman dan raut ramah Gregory saat memangkunya ke atas bahunya yang bidang.
Benak Lily bertanya-tanya, sejak kapan kenangan indah itu menghilang? Saat kasih sayang di antara mereka perlahan berubah menjadi kaku dan akhirnya hanya menyisakan rasa benci yang tidak berkesudahan. Dan itu telah berlangsung belasan tahun.
"Kamu mau menyiapkan pakaian paman Alex dulu? Jadi besok kita tidak usah mampir ke sini lagi."
Pria itu membuka pintu salah satu kamar, yang membuat dahi Lily berkerut.
"Papa tidur di sini?"
"Sejak bibi meninggal 6 tahun lalu, paman memutuskan untuk pindah ke lantai bawah."
Informasi itu memberikan tusukan rasa bersalah di hati Lily. Terakhir kali bertemu ayahnya, hanyalah saat menghadiri pemakaman ibunya sekitar 6 tahun lalu. Meski keduanya bukan orangtua kandungnya, tetap saja merekalah yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Sampai peristiwa naas itu terjadi dan membuatnya harus pergi dari rumah belasan tahun lamanya.
Wanita itu merasa ia telah menjadi anak durhaka, yang telah meninggalkan orangtuanya.
"Lily? Kalau rumah ini membuatmu tidak nyaman, mungkin aku bisa langsung-"
Mengerjapkan matanya yang ternyata berair, wanita itu menggeleng.
"Tidak. Aku akan menyiapkan baju papa sekarang."
Melewati Gregory, Lily masuk ke dalam kamar itu. Mengamati sekitarnya, ayahnya ternyata mengatur kamar ini seperti kamar lamanya dulu. Hanya saja, tempat tidurnya jauh lebih kecil. Wanita itu menghampiri lemari dan membukanya. Tidak lama, ia pun menyiapkan beberapa pakaian ganti untuk ayahnya di rumah sakit.
"Biar aku membantumu memasukkannya ke tas."
Cekatan, Gregory menata semua barang-barang itu dalam duffel bag hitam dan menutupnya sempurna.
"Ada lagi?"
"Sepertinya cukup."
Menenteng tas itu di tangannya, pria itu mengangguk.
"Kalau begitu, ayo kita pulang."
Keduanya keluar dari kamar dan berjalan di lorong menuju pintu keluar, dengan Gregory di depannya. Saat melewati sepasang pintu yang mengarah ke halaman belakang, langkah kaki Lily tiba-tiba saja terhenti.
"Lily?"
Bukannya menjawab, wanita itu malah berbelok dan melangkah ke arah pintu yang tertutup itu. Gregory yang berada di belakangnya segera menjatuhkan tasnya dan menarik tangan Lily.
"Red. Ini bukan ide bagus. Lebih baik-"
Menepiskan kasar tangan Gregory, suara Lily terdengar kaku saat wanita itu menjawab tanpa menoleh.
"Aku ingin melihatnya."
"Red-"
"Jangan tahan aku."
Berhenti di depan pintu besar berwarna putih itu, dengan gemetar Lily mendorongnya terbuka. Menahan nafas, pemandangan yang ada di hadapannya masih persis seperti yang diingatnya dulu.
Di depannya, terhampar kolam renang yang luas. Beberapa bangku untuk duduk dan bersantai masih ada di sana. Alat panggang yang dulu sering digunakan keluarga untuk memasak dan mengadakan pesta barbeque bersama para tetangga pun masih setia berada di tempatnya. Semua masih ada di tempatnya seperti dulu.
Yang berbeda, kolam indah itu sekarang kosong dan tidak terurus. Tanaman rambat mulai subur di beberapa tempat yang tadinya bersih dan sering dijadikan tempat berkumpul banyak orang. Lampu temaram di taman itu yang seharusnya menenangkan, justru membuat suasana lebih kelam dan terasa menyeramkan.
Kaki-kaki wanita itu yang perlahan melangkah ke satu tempat yang ada di sana tertahan, karena tarikan dari arah belakangnya. Tampak Gregory memegang pergelangannya dan raut pria itu terlihat khawatir.
"Sudahlah, Red. Ayo kita pulang sekarang. Tidak ada gunanya lebih lama di sini."
Menepiskan tangan Gregory yang mencekalnya, d*da Lily terlihat kembang-kempis tapi ia tidak menjawab. Wanita itu berbalik dan dengan keras kepala melangkahkan kakinya ke tempat yang ditujunya.
Langkah Lily berhenti di pinggiran kolam dan tatapannya mengarah ke bawah. Yang dapat dilihat sekarang hanyalah kolam kosong dengan hamparan ubin yang telah sangat kotor. Terdapat genangan air di beberapa tempat dan juga gumpalan tanah serta dedaunan yang terbawa angin. Jelas kalau kolam ini sudah sangat lama tidak dibersihkan dan diurus. Halaman belakang rumah ini telah terbengkalai belasan tahun.
Wanita itu dapat mendengar suara langkah kaki pelan yang berhenti tepat di belakangnya dan genggaman seseorang di kedua bahunya. Terasa r*masan lembut tangan-tangan itu di sepanjang lengan atasnya.
"Liliana. Sebaiknya kita pulang sekarang. Tidak baik terlalu lama di sini."
Sayangnya, saat ini telinga dan mata Lily tidak berada di masa sekarang. Pikiran wanita itu sekarang sedang berkelana ke masa lalu. Ke masa-masa kelam yang telah menghancurkan kebahagiaannya.
Aliran air jatuh di kedua pipi wanita itu tanpa diketahui pria yang berdiri di belakangnya. Tidak disadarinya, Lily mengucapkan sesuatu yang pada akhirnya diingatnya sangat jelas sekarang.
"Kamu memang membenciku, Rory. Kamu selalu benci padaku."
Pegangan tangan Gregory di bahunya terasa menguat, tapi Lily memberontak lepas saat wanita itu berbalik. Matanya memancar tajam dan kata-katanya semakin dingin.
"Aku tidak salah menilaimu selama ini, Gregory. Aku masih mengingat jelas kata-katamu saat itu. Kata-kata yang penuh kebencian padaku. Karena itu kamu menyakitiku waktu itu, kan?"
Raut wajah pria itu yang datar dan tampak dingin, membuat Lily menutup matanya rapat. Ia merasakan lagi kesedihan dan kekecewaan yang dirasakannya 15 tahun lalu.
Mengusap air matanya kasar, ia berjalan melewati pria itu yang masih mematung di tempatnya.
"Antar aku ke hotel sekarang. Aku tidak jadi menginap di rumahmu."